Ada nama Rudi Soedjarwo nangkring sebagai produser ternyata tidak menjamin kualitas horor yang diberikan oleh Iblis. Bagus atau jelek, seram atau tidak seram nantinya memang akan bergantung pada visi sang sutradara dalam membangun rasa cekam dan ketakutan penontonnya. Hal yang sama terjadi juga di Demonic, yang memajang nama James Wan di posternya, saya berharap setidaknya ada rasa menakut-nakuti ala Insidious atau The Conjuring, tapi kenyataannya harapan hanya tinggal harapan, filmnya jauh dari kata memuaskan alias mengecewakan. Sudah sejak lama sebetulnya saya ingin melihat seorang Rudi Soedjarwo kembali ke ranah horor, karena kalau ditanya apa film horor lokal favorit saya? Film-film horor garapan Rudi Soedjarwo termasuk dalam daftar tersebut, sebut saja Hantu Rumah Ampera, 40 Hari Bangkitnya Pocong, dan Pocong 2. Jadi penampakan Iblis boleh dikatakan sedikit mengabulkan keinginan kecil saya, well sayangnya horor garapan Rano Dimas ini masih sangat jauh dari yang saya bayangkan.

Kasih penampakan di film horor hukumnya bisa dibilang wajib, karena biasanya orang menonton film horor tujuannya, salah-satunya ditakuti oleh penampakan. Tapi kebanyakan pembuat film horor justru terkadang tidak mengerti dan salah kaprah ketika berurusan dengan yang namanya penampakan. Seringkali mereka menjadikan penampakan hanya sebagai jalan pintas, karena terlalu malas untuk membangun atmosfir horor yang proper, hanya mengandalkan taktik jump scare murahan. Penampakan itu diperlukan, hasilnya akan efektif jika memperhatikan kualitas ketimbang kuantitas, ketergantungan akan penampakan malah beresiko membuat penontonnya cepat bosan atau bahkan “overdosis”. Penampakan harus punya batasannya, apakah wajar jika film horor dengan durasi 90 menit dipaksa untuk memiliki 500 penampakan? itu namanya menyiksa bukan ingin menakuti penonton. Saya tak bilang Iblis punya segitu banyak penampakan, tapi jumlahnya memang bisa dibilang tak sebanding dengan tujuannya, yaitu menciptakan takut dan rasa cekam, alih-alih membuat merinding, saya malah meriang dan pusing.

Iblis memang tak separah film-film horornya Nayato, tapi formula menakuti yang dipakai oleh Rano Dimas, dari skrip yang ditulis Almar AS, hanyalah pengulangan dari film-film horor yang sudah ada, formula daur-ulang yang sayangnya terlalu usang. Ambil minum di dapur, dengar bunyi “kreceuk kreceuk kreceuk”, pasang tampang ketakutan, muncul penampakan. Sedang tidur, dengar bunyi “kreceuk kreceuk kreceuk”, pasang tampang ketakutan, muncul penampakan. Lagi nonton TV, dengar bunyi “kreceuk kreceuk kreceuk”, pasang tampang ketakutan, muncul penampakan. Dengar bunyi “kreceuk kreceuk kreceuk”, tampang karakternya di-close up sedang ketakutan, muncul penampakan. Saya tidak sempat menghitung pasti berapa jumlah adegan penampakan yang berulang-ulang tersebut, terakhir hitungan saya berhenti di penampakan kelima. Ketimbang merasa ketakutan dan mencekam, Iblis lebih tahu bagaimana caranya menciptakan efek yang menyiksa. Rasa-rasanya kuping ini mau berdarah dihantam suara-suara berisik yang tidak manusiawi, dan penampakan yang berulang hanya membuat kepala mau pecah.

Fokus dengan penampakan, Iblis kemudian terpaksa mempersempit ruang untuk cerita, padahal film horor juga butuh bercerita, tak sekedar memunculkan demit atau memenuhi durasi dengan tampang Christian Loho sedang ketakutan. Sekian banyak adegan penampakan pun saya pikir jadi tidak berguna, karena selain tak diimbangi dengan bangunan atmosfir mencekam yang layak, pengulangan taktik menakut-nakutinya makin lama hanya hasilkan rasa muak bukannya rasa takut. Saya bisa tahan dengan setumpuk penampakan yang tidak seram, tapi dijejalkan terus menerus ekspresi wajah Christian Loho ketika sedang berakting ketakutan, saya hampir saja melambaikan tangan ke kamera tanda menyerah. Waktu untuk Iblis memperkenalkan karakter-karakternya pun tak tersisa, karena durasi habis untuk mempertontonkan penampakan demi penampakan. Alhasil, karakter yang seliweran di Iblis sama sekali tidak punya latar belakang yang jelas, misalnya saja karakter yang dimainkan Christian Loho, dia punya rumah segede gaban, tetapi apakah dia artis sinetron atau perampok, kita tak pernah tahu. Detil kecil seperti itu saja tak dipedulikan, jangan salahkan jika saya balik tidak peduli dengan Iblis, dengan penampakan-penampakannya, dan dengan karakter-karakternya.