Terdorong ekspektasi yang cukup besar dan menggebu-gebu, saya memang ingin “Kampung Zombie” tak sekedar jualan status sebagai film zombie pertama tetapi juga membuktikan Indonesia juga mampu memberikan tayangan bertema mayat hidup yang layak ditonton dan dibanggakan, bukan malah nantinya berlindung memanfaatkan statusnya dan berharap penonton bakal maklum dengan iming-iming alasan “namanya juga film zombie pertama”, jika filmnya jelek. Setidaknya buat seorang zombie enthusiast seperti saya, “Kampung Zombie” tak perlu keluar dari aturan yang ada untuk sok-sok-an membuat sesuatu yang berbeda, memberi rasa lokal boleh saja dan justru dianjurkan, tetapi aturan sebuah film zombie yah tetap harus diikuti—terserah mau pakai pakem zombie berjalan atau berlari-lari seperti di “Dawn of the Dead” (2004). Kalau melirik lagi ke belakang, “Kampung Zombie” sebetulnya tak sendirian di tema zombie-zombie-an ini, di tahun 2006, Raditya Sidharta membuat “The Rescue” yang jadi salah-satu segmen di antologi horor ‘Takut: Faces of Fear’. “Rengasdengklok” karya sutradara Dion Widhi Putra pun sempat meramaikan dunia per-zombie-an lokal di tahun 2011 silam.

“The Rescue” dan “Rengasdengklok” adalah bukti kalau Indonesia bukannya tak pernah mencoba membuat film zombie, tapi memang masih terbatas hanya pada lingkup film pendek saja. Film panjang? hampir bisa dibilang tidak ada, kecuali jika “Pengabdi Setan” (1982) arahan Sisworo Gautama Putra yang punya status cult itu dikategorikan masuk ke dalam tema film zombie juga. Ketika zombie tak lagi milik orang Amerika dan tema mahkluk pemakan otak menjadi mainstream dan mendunia berkat kesuksesan serial televisi “The Walking Dead”. Maka sudah saatnya Indonesia juga punya film panjang bertema zombie, setidaknya nantinya ada variasi tontonan horor di bioskop yang sekarang masih didominasi dedemit bercita rasa lokal yang martabat keseramannya sudah lama luntur. Jangan mau kalah dengan negeri tetanggga yang sudah membuat “Zombi Kampung Pisang” (2007) dan “KL Zombi” (2013). Saya tentu saja senang ketika mendengar berita bakal ada “Kampung Zombie”, akhirnya kita punya film panjang bertema zombie, rasa senang saya tapinya bukan tanpa kegelisahan. Apakah iya kita mampu buat film zombie? Billy Christian sepengetahuan saya memang penggemar film zombie jadi setidaknya ada harapan dia tidak akan merusak sesuatu yang sangat disukai.

Walau sudah mencoba meyakini “Kampung Zombie” bakal baik-baik saja, tetapi tetap saja saya masih saja gelisah dan kegelisahan saya itu terbukti ketika credit title menggulung tanda film selesai. Dikembangkan dari ide “Mati ½ Hidup”-nya Billy Christian, apa yang kemudian ditawarkan oleh “Kampung Zombie” memang tak sepenuhnya membuat saya kecewa, namun presentasinya jelas menjauhi apa yang ada di bayangan saya. Tak perlu muluk-muluk disuguhi kualitas cerita yang bagus-bagus amat atau tetek-bengek pendalaman karakter, saya justru berharap “Kampung Zombie” tidak punya itu semua. Saya tak peduli jika ceritanya tampak bodoh sekalipun, asalkan nantinya film yang juga disutradarai oleh Helfi Kardit ini sanggup menyuguhkan aksi-aksi membantai zombie yang mengasyikkan atau menghadirkan kebrutalan zombie-zombie-nya saat menghabisi para survivor-nya. “Kampung Zombie” di beberapa bagian memang masih memberikan adegan seru nan menegangkan, apalagi ketika nantinya Axel Matthew Thomas, Luthya Sury, Kia Poetri, Ali Mensan dan El Jalaludin Rumi harus dipaksa bermain petak umpet dengan para mayat hidup penghuni kampung zombie.

Paruh pertama setidaknya masih bisa meyakinkan saya jika “Kampung Zombie” bisa mengasyikkan, walaupun saya cukup terganggu dengan kelima karakternya. Entahlah El dan kawan-kawan seperti kurang luwes dalam memerankan survivor di tengah kepungan zombie, akting mereka pun tak hanya kurang menghidupkan karakter yang dimainkan tetapi juga tak cukup meyakinkan saya jika mereka itu ingin selamat dan keluar dari kampung tersebut dalam keadaan lengkap. Sampai akhirnya “Kampung Zombie” tiba di paruh keduanya, saya sepertinya harus bisa mengikhlaskan jika film ini memang tak seperti yang saya harapkan, saya pasrah saja dengan apa yang disuguhkan Helfi Kardit dan Billy Christian. Saya sudah tak peduli dengan karakternya apalagi dengan ceritanya yang memang sejak film ini dimulai tak bisa diharapkan. Saya sekarang hanya ingin melihat ada adegan seru yang melibatkan para survivor melawan segerombolan zombie, sayangnya kata-kata seru dan asyik tersebut tertinggal di paruh pertama dan sisa durasinya bisa dikatakan hambar. Saya bisa memaafkan kekurangan “Kampung Zombie” dalam hal lain, semua tertutupi dengan usaha keras film ini dalam membangun set yang tak murahan, didukung oleh desain zombie dengan beraneka ragam bentuk. Tapi saya tidak bisa memaafkan dosa “Kampung Zombie” yang sudah seenaknya bikin aturan sendiri agar salah-satu karakter bisa lolos dari maut dengan mudah.