Gw orang yang nga terlalu tertarik dan banyak nga sukanya sama film-film lokal berbau reliji. Pengecualian untuk “Hijrah Cinta”. Sepenggal tweet yang saya ketik pada 29 Juli lalu tersebut, membuat saya bertanya-tanya sendiri kapan terakhir kali saya begitu terkesan dengan film bermuatan dakwah, saya mencoba kembali mengingat-ngingat dan menemukan “Sang Pencerah”. Oh, saya harus balik jauh ke 2010 untuk menemukan film reliji yang saya sukai, dan butuh waktu sekitar empat tahun untuk pada akhirnya menemukan lagi film bertema reliji yang bikin saya ikhlas menontonnya, film itu adalah “Hijrah Cinta”. Entah apa sebutannya, alergi atau apa, tapi saya memang orang yang tidak begitu tertarik dengan film yang berbau-bau reliji, walau tidak sampai benar-benar menjauhi bioskop ketika ada film bertema keagama-agamaan tayang, biasanya ketika sudah mendekati Lebaran. Saya mungkin hanya sudah muak diceramahi, ketika saya datang justru ingin dihibur oleh cerita, bukan kemudian dijejali ceramah tak ada habis hampir sepanjang durasi film. “Sang Pencerah” menawarkan apa yang saya inginkan dari sebuah film reliji, tidak banyak menggurui tapi membiarkan penonton sendirilah yang mengambil pesan-pesan kebaikan dalam film, bukan sebaliknya.

Walau begitu, saya tetap menonton film bertema reliji, beberapa judul saya suka seperti “Ummi Aminah” dan sisanya hanya bikin geleng kepala dan mudah untuk dilupakan. Film bertema serupa harusnya berkiblat pada “Hijrah Cinta”, sebuah film reliji yang formulanya berimbang antara berdakwah dan bercerita, jika film ini bisa menyebarkan pesan-pesan relijius tanpa harus mengorbankan ceritanya, kenapa film lainnya tidak bisa, mungkin yang harus digaris-bawahi bukan tidak bisa tetapi tidak mau. Syukurlah film Indonesia masih memiliki “Hijrah Cinta”, ya film yang mengembalikan senyum saya kepada film-film reliji, padahal awalnya saya agak ragu, tapi keraguan saya langsung hilang di 10 menit pertama film, ini film reliji yang beda. Bercerita tentang kehidupan almarhum Ustadz Jeffri Al-Buchori atau yang sering kita kenal dengan Uje, sebelum dia berstatus ustad gaul dan punya banyak jamaah. “Hijrah Cinta” akan mengajak kita mengenal siapa itu Uje, lebih dekat dari sebelumnya, tak saja soal kebaikannya tapi juga kekurangan seorang Uje ketika dia masih diselimuti kegelapan, budak narkoba. Disutradarai oleh Indra Gunawan, pendekatan film ini begitu membumi dan apa adanya, gelar ustad itu dilucuti sementara, agar kita bisa melihat sosok Uje sebagai manusia, sama seperti kita, yang tidak luput dari salah, khilaf dan dosa.

Kenal atau tidak kenal, seberapa pun info yang kita tahu soal sosok Uje, tidak jadi soal, karena “Hijrah Cinta” bukan film untuk mereka yang tahu banget atau kenal dengan Uje, tapi film untuk semua yang ingin lebih akrab dengan Uje. Termasuk saya yang hanya tahu sepotong-potong kisah hidup almarhum dari televisi dan media online, “Hijrah Cinta” mengijinkan saya untuk tahu lebih banyak, dari saat hidupnya terpuruk dan terjebak dalam kubangan obat-obat haram, hingga pada akhirnya dia dituntun untuk taubat dan menjadi Uje yang kita kenal sekarang ini. Walau menceritakan seorang tokoh nyata yang banyak dikagumi orang, seorang ustad yang diidolakan dan dicintai jamaahnya, “Hijrah Cinta” sejak awal memang bisa dikatakan tak main aman, tapi juga cukup hati-hati agar tidak menyinggung siapapun, terlebih pihak keluarga almarhum. Sekali lagi pendekatan film ini jadi kunci yang kemudian tak hanya mampu mengetuk hati tetapi juga membukakan hati saya lebar-lebar kepada film ini. Jika kemudian “Hijrah Cinta” begitu mudah untuk dicintai, itu karena usaha keras film ini untuk dicintai, ada “usaha” disana, sesuatu yang jarang dilakukan oleh film bertema serupa. Usaha keras tersebut tak hanya diperlihatkan lewat bagaimana film ini menyajikan kisah untuk selaras berdampingan dengan pesan yang ingin disampaikan, tapi juga seluruh elemen film, dari teknisnya yang ciamik hingga performa akting yang hebat.

Tak terbebani untuk banyak berkoar tentang agama, membuat “Hijrah Cinta” jadi lebih leluasa untuk fokus pada apa yang mau diceritakan, ceramah-ceramah itu tetap ada—namanya juga film reliji—tapi menyelip mulus tanpa ingin memaksa untuk ditonjolkan, membiarkan penonton memetik sendiri pesan-pesan baiknya entah itu ketika ditempelkan pada sebuah adegan ataupun disempilkan terucap pada sebuah dialog. Sekali lagi cara film ini menggurui dilakukan sewajarnya dan semanis mungkin, agar apa yang ingin disampaikan juga diserap dengan ikhlas, bukan sebaliknya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Punya struktur cerita yang solid saja memang tidak cukup, beruntunglah “Hijrah Cinta” didukung juga oleh tata produksi dengan detil yang sangat baik. Setting 90-annya benar-benar dibangun dengan rapih dan rinci, membuat kita berasa melompat ke masa lalu. Namun yang jadi daya tarik sebenarnya di “Hijrah Cinta” tentu saja para pemain yang sudah berusaha memaksimal mungkin menghidupkan film ini, termasuk di dalamnya adalah Alfie Affandy dan Revalina S. Temat, keduanya tidak saja dibuat semirip mungkin dengan sosok yang mereka mainkan, tapi juga dengan gemilang sudah menghadirkan performa akting yang membuat kita sangat peduli tak saja pada cerita tapi juga karakter yang mereka mainkan. Berkat chemistry dan juga akting yang mempesona dari keduanya, banyak lahir adegan-adegan yang bukan saja mengaduk-aduk emosi tapi juga menguras air mata. Saya tidak malu ketika harus mengaku menangis ketika menonton “Hijrah Cinta”, untuk film seistimewa dan sebagus ini saya memang tidak perlu malu membasahi pipi dengan air mata yang jatuh dengan tulus.