Film dibuka dengan narasi kecil dan gambar seorang anak perempuan, Hushpuppy (Quvenzhané Wallis) yang sedang asyik mendengarkan suara detak jantung hewan-hewan peliharaannya. Walaupun masih punya ayah, Wink (Dwight Henry), mereka tidak tinggal bersama, Hushpuppy yang berumur 5 tahun dibiarkan sendirian saja di rumah, sedangkan si ayah menempati rumah lain yang berada beberapa meter dari lokasi rumah dimana Hushpuppy tinggal. Kita jarang melihat interaksi antara ayah dan anak sebagaimana mestinya, ketika waktunya makan pun, Wink menggunakan seutas tali yang terhubung dengan lonceng, “waktunya makan… waktunya makan”, Wink berteriak sambil membunyikan loncengnya. Saya pikir itu tanda agar anaknya segera memberi makan hewan-hewan peliharaan mereka, ternyata panggilan untuk Hushpuppy. Setelah ditinggal ibunya yang pergi, Hushpuppy memang dipaksa untuk hidup mandiri oleh ayahnya, yang selain pemarah juga memiliki cara mendidik anak yang “unik”. Namun itu bukan berarti Wink tidak sayang dengan Hushpuppy, ketika nanti badai besar mampir mengguyur daerah rawa-rawa Louisiana dan membanjiri rumah-rumah di Bathtub, termasuk tempat tinggal Hushpuppy, kita kemudian akan melihat bahwa Wink ternyata sayang sekali dengan Hushpuppy.

Melihat judulnya saja sudah mengundang rasa penasaran saya, “film apa sih Beasts of the Southern Wild?”, kesan awal seperti sebuah film fantasi-heroik berisi seorang hero melawan monster-monster aneh, setelah melihat trailer-nya sudah jelas bahwa bayangan saya melenceng ribuan kilometer dari kenyataan. Walau tokoh utamanya anak kecil dan ada kata wild, tapi ini bukan sekuel “Where The Wild Things Are”-nya Spike Jonze. Melihat cuplikan adegan di trailer pun tidak cukup untuk modal tebak-tebakan tentang apa film ini sebenarnya, “Beasts of the Southern Wild” tetap simpan misterinya rapat-rapat, termasuk penampakan binatang seperti babi hutan namun bertanduk seperti banteng, sampai akhirnya saya menonton filmnya secara utuh. Oh Benh Zeitlin memang sedikit menyempilkan gaya ala-ala Terrence Malick di debut film panjangnya ini, tapi jangan buru-buru menyimpulkan ini film yang sulit untuk dinikmati karena ditaburi metafora dan simbol. Diadaptasi dari drama satu babak karya Lucy Alibar berjudul Juicy and Delicious, “Beasts of the Southern Wild” justru tidak akan memaksa keras penontonnya untuk mencerna cerita, tapi sejak melihat Hushpuppy muncul di layar hingga film berakhir, penonton serasa dituntun, tangan saya dipegang, kita tidak dibiarkan untuk tersesat. Secara bersamaan juga seperti Hushpuppy yang dibiarkan hidup mandiri, film ini juga membiarkan kita, penonton dan saya untuk “mandiri”, mencari sendiri apa maksud dan pesan-pesan yang ingin disampaikan, di balik visual-visual “Beasts of the Southern Wild” yang memang tak selalu blak-blakan menggambarkan ceritanya, beberapa disembunyikan.

Saya bilang nga apa-apa “Beasts of the Southern Wild” seperti bermain petak-umpet dengan penontonnya di paruh pertamanya, toh kemudian Benh Zeitlin mengungkap jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan saya di awal, tidak sekaligus tapi pelan-pelan. Saya sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di 10 menit awal film ini, eh itu tidak membuat saya kemudian melarikan diri fokus saya terhadap film ini, saya justru sedang asyik mencari-cari makna yang disembunyikan oleh cerita yang juga ditulis oleh Lucy Alibar dan Benh Zeitlin. Tanpa sadar, “Beasts of the Southern Wild” sebenarnya sudah mencengkram saya, mata ini seperti sudah terpaku untuk terus melihat kemana cerita akan dibawa, apa yang akan dilakukan oleh Hushpuppy dan menunggu aksi-aksi beraninya selanjutnya, dan tentu saja menanti dengan antusias perkembangan hubungan ayah dan anak perempuannya, ketika ujian hidup sedang bermain-main dengan nasib mereka, termasuk juga badai besar yang “bertamu” ke Bathtub. “Beasts of the Southern Wild” pun tidak melulu soal menyembunyikan isi ceritanya dengan metafora atau ingin sok-sok menyimbolkan semuanya, beberapa bagian, tidak banyak, memang terkesan “sembunyi” tapi sebagian lagi bercerita apa adanya, tidak menyulitkan saya untuk mengikuti cerita, tidak membuat saya justru tersesat dan malah lelah kemudian tidak lagi peduli pada film. Saya terjebak untuk terus penasaran dengan “Beasts of the Southern Wild”, dan film ini terus menggoda saya untuk tetap betah duduk di kursi baris ke-empat dari depan.

Benh Zeitlin dan “Beasts of the Southern Wild” punya dunianya sendiri, jadi saya tak perlu heran ketika tiba-tiba muncul sekelompok babi raksasa bertanduk berlari-lari menghancurkan rumah-rumah. Saya justru melihat film ini layaknya sebuah kisah-kisah fairytale, yang didongengkan oleh Benh Zeitlin dengan tutur yang enak untuk didengarkan, didampingi oleh visual-visual yang gambarnya seperti sedang berkata-kata membacakan sebuah puisi. Yah, Beasts of the Southern Wild” adalah dongeng yang tidak melulu berbicara soal yang manis-manis, tapi juga berbicara ada kalanya hidup memang tidak semanis negeri dongeng, ada kalanya terkecap pahit. Bersama keindahan gambar dan cara film ini bercerita, “Beasts of the Southern Wild” tampak piawai juga mengajak emosi saya untuk ikut nyemplung, kita akan ikut bahagia saat film ini tersenyum dan tanpa sadar meneteskan air mata saat film ini mulai nyentil sisi sensitif saya. Bersama scoring-nya yang ciamik dan balutan fantasinya yang agak liar, “Beasts of the Southern Wild” mengajak kita untuk melihat kehidupan dari mata Hushpuppy, dan bagaimana dia dengan polosnya menghadapi semuanya, kehidupan yang tampak brutal sekaligus indah dan sang Ayah yang mencintainya. Untuk peran kepolosan itu, Quvenzhané Wallis benar-benar sudah menampilkan aksi aktingnya yang begitu cemerlang, tidak kaku dan seperti tidak terbebani apapun, walaupun di film ini bebannya sebagai anak berumur 5 tahun sepertinya banyak sekali. Indahnya akting yang ditunjukkan Wallis pun membuat film ini makin bernyawa. Kehidupan sudah dipuitisasi oleh “Beasts of the Southern Wild” dengan sangat indah dan juga berhati.