Jika kebanyakan tema found footage terjebak di koridor yang sama, biasanya rumah hantu, “Apollo 18” bisa dikatakan menyeret genre ini ke level yang berbeda, premis-nya menarik dengan setting jauh dari bumi, tepatnya di bulan. Memanfaatkan isu-isu teori konspirasi mengenai batalnya misi Apollo 18 ke bulan, penulis film ini, Brian Miller mencoba mengulik cerita tersebut menjadi sebuah film fiksi ilmiah berbalut horor di luar angkasa. Ditangan Gonzalo López-Gallego, yang melakukan debut film berbahasa Inggris pertamanya, sebetulnya “Apollo 18” punya banyak potensi untuk sukses, menjadi film found footage mengerikan dengan berlatar belakang misteri di balik bayang-bayang gelap bulan. Bukan… bukan, tidak ada yang namanya pesawat luar angkasa Nazi di bulan, seperti yang diceritakan “Iron Sky”, omong kosong juga jika para robot alien decepticon bersembunyi disana. Menurut “Apollo 18” ada yang lebih mengerikan ketimbang Nazi dan robot alien yang bisa berubah bentuk.

Setelah dinyatakan batal pada Desember 1974, diam-diam misi Apollo 18 ternyata tetap diluncurkan, berkedok misi peluncuran satelit untuk menghindari perhatian lebih dari publik, dibawah perintah rahasia Departemen Pertahanan. Tim berjumlah 3 orang yang terdiri dari Komandan Nathan Walker, Letnan Kolonel John Grey, dan Kapten Ben Anderson, punya misi untuk menanamkan semacam detektor atau radar di daratan bulan, yang fungsinya untuk memberitahu jika ada serangan dari pihak Uni Soviet. Mereka pun diluncurkan, tanpa tahu misi yang sebenarnya. Nathan dan Ben turun ke bulan, sedangkan Grey tetap berada di orbit. Hari pertama dihabiskan untuk menempatkan detektor dan mengambil sampel batu bulan, Nathan dan Ben sama sekali belum merasakan sesuatu yang aneh, sampai akhirnya mereka dengar suara-suara mengerikan yang tertangkap radio. Ditambah sampel batu yang mereka ambil berpindah sendiri ke lantai. Puncaknya, ketika mereka mengeksplor dataran bulan lebih jauh dan menemukan jejak kaki manusia. Jejak kaki tersebut menggiring mereka ke modul pesawat bulan milik Uni Soviet, bersamaan dengan mayat seorang kosmonot. Kejadian demi kejadian aneh pun semakin meningkat intensitasnya, apakah mereka benar-benar tidak sendirian di bulan?

Tidak mungkin ada hantu, kan di bulan? Pasti alien! tebak-tebakan saya ketika film ini mulai menyorot keanehan-keanehan yang timbul dan tenggelam dengan masih malu-malu. Tebakan bodoh saya ternyata ada benarnya, perlahan-lahan “Apollo 18” akhirnya mengungkap jika memang ada mahkluk asing penghuni bulan yang sedang main petak-umpet dengan Nathan dan Ben. Nah, yang saya tidak bisa prediksi, film ini ternyata cukup membosankan di paruh pertama, terlalu banyak omong kosong yang dilontarkan, cukup untuk membuat saya akhirnya seperti habis dicekoki obat tidur…langsung kantuk ini menyerang. Jika tidak karena rasa penasaran yang cukup tinggi, mungkin saya sudah menyerah duluan dan memilih meninggalkan Gonzalo López-Gallego bersama “Apollo 18” yang membosankan. Untuk film yang berdurasi hanya 90 menit, film yang diproduseri oleh Timur Bekmambetov ini bisa dikatakan terasa lama, saya ingin cepat selesai keluar dari alurnya yang merangkak. Dengan formula horor yang tidak baru, walau didukung pondasi premis yang kuat, “Apollo 18” hanya berakhir menjadi sajian yang serba tanggung.

Padahal “Apollo 18” saya akui termasuk film di genre ini yang pengemasan found footage-nya tidak main-main, teknis dan gayanya mumpuni sekali, seharusnya bisa menopang setiap adegan yang dipersiapkan untuk melontarkan penonton ke luar orbit bulan. Efek visualnya juga tidak murahan, walaupun design alien di film ini tak diperlihatkan dengan jelas. Tapi entah kenapa cerita yang dikembangkan oleh Brian Miller, bisa dibilang malah kekurangan pasokan bagian yang menegangkan, padahal tata suara minimalis (kebanyakan memanfaatkan suara bising transmisi radio saat alien sudah mulai “iseng”, dan suara-suara aneh terdistrosi yang tertangkap kamera Nathan dan Ben) yang menemani film ini sudah menjalankan misinya dengan baik. Sayangnya Gonzalo López-Gallego gagal memanfaatkan komponen-komponen dari pedukung film untuk menghadirkan ketegangan yang diharapkan. Untungnya, pada perjalanannya menuju paruh akhir, “Apollo 18” akhirnya “terbangun”, intensitas itu mulai ditingkatkan, ketegangan mulai terasa menghimpit saat nasib kedua astronot sedang dipertaruhkan. Sudah agak terlambat ketika “Apollo 18” melakukan itu, saya sudah kehabisan kesabaran, rasa penasaran pun kian menipis, film ini seperti sudah kehilangan “gravitasi”-nya sejak awal, tidak ada daya tarik yang cukup untuk bikin saya betah menunggu sampai batu-batu bulan itu mulai berubah bentuk. Saya sudah dibuat percaya jika ini layaknya rekaman asli, tapi tidak percaya jika film ini begitu membosankan. Houston, we have a problem!!