Kesepuluh film horor found footage yang masuk ke daftar ini tak sekedar dipilih karena alasan personal dan kecocokan, tapi juga menurut gue layak disebut yang terbaik diantara sekian banyak judul yang memakai sudut orang pertama ketika menyampaikan ceritanya. Selain penceritaan yang menarik, bagaimana film-film ini membangun kepercayaan adalah modal terpenting, membuat penonton yakin apa yang mereka tonton merupakan sebuah kebenaran, memanipulasi fiksi serta kebohongan jadi fakta yang terlihat nyata. Caranya pun beragam, memanfaatkan rekaman berita televisi hingga laporan kesaksian orang-orang yang terlibat, atau memaksimalkan akting sampai keluar ingus demi memikat keyakinan penonton. Film horor found footage tentu saja harus punya momen-momen menyeramkan, mengerikan dan menegangkan, kesepuluh film ini pun bisa dikatakan punya trik ngehe dalam membangun kecemasan sekaligus ketegangan, mendatangkan teror dan rasa takut yang justru bersumber dari imajinasi penontonnya sendiri, bukan dari penampakan orang gila, dedemit dan monsternya. Kesepuluh film yang pada akhirnya tinggalkan kesan menyenangkan.

–> Bagian Pertama <—

The Taking of Deborah Logan (Adam Robitel, 2014)

The Taking of Deborah Logan adalah contoh ketika found footage diperlakukan dengan baik, dan bukan hanya sebagai cara instant untuk bikin film horor murah, tapi jadinya malah murahan. Dengan konsep yang matang dan esekusi yang tidak saja benar tapi juga kreatif, film found footage toh bisa juga terlihat menarik dan tak hanya bawa pulang pusing doang karena efek kamera goyang-goyang. Debut penyutradaraan dari Adam Robitel ini bisa dikatakan mengembalikan martabat film-film found footage, yang akhir-akhir ini dipermalukan oleh mereka yang tak tahu bagaimana cara membuat film found footage yang beneran seram.

Lake Mungo (Joel Anderson, 2008)

Dokumenter yang sederhana tanpa dramatisasi berlebihan, namun justru efektif merangkul penontonnya untuk merasakan apa yang dirasakan keluarga Palmer. Joel juga tidak berhenti dengan satu twist dan puas dengan bukti-bukti rekaman dan foto-foto yang membuat bulu kuduk kita merinding berdiri. Lake Mungo juga punya kejutan-kejutan lain yang siap berteriak “booo” dan kita akan loncat dari tempat duduk. Pengambilan gambar yang sunyi, gelap, lalu ditambahkan dengan beragam rekaman “asli” dan foto kemunculan Alice kemudian menyatu bersama penceritaan, menghasilkan horor found footage yang sangat mengerikan.

The Poughkeepsie Tapes (John Erick Dowdle, 2007)

Video rekaman yang berisikan penculikan anak kecil yang sedang asyik bermain, sampai aksi potong-potongan, sebetulnya akan terlihat jadi biasa saja, tapi The Poughkeepsie Tapes kemudian berasa begitu amat real dalam mempresentasikan segala tindak-tanduk sang pembunuh, tidak saja karena akting si serial killer dengan dialog-dialog meyakinkan nan sakit jiwa, melainkan juga ketika Dowdle dengan cermat menambahkan atmosfir yang tepat ke dalam setiap adegannya. Perasaan tidak enak, terganggu, perih, nyeri, marah, benci, semua menjadi satu, salah-satu tontonan bertema mokumenter ter-anjing yang pernah saya tonton.

The Blair Witch Project (Eduardo Sanchez, Daniel Myrick)

Bangsatnya The Blair Witch Project ada pada kesederhanaan esekusinya, namun begitu efektif ketika tiba waktunya membangun atmosfir dan hadirkan suasana horor yang meyakinkan. The Blair Witch Project mengingatkan gue kalau horor juga bisa sangat menyeramkan, tanpa harus beberkan apa yang memang sudah seharusnya tidak terlihat oleh mata. Justru dengan cara memanfaatkan suara nan gaduh yang datangnya entah darimana, ditambah ekspresi meyakinkan Heather, semua sudah cukup untuk pada akhirnya memicu ketakutan saya secara spontan memproses bayangan-bayangan yang menyeramkan di kepala gue sendiri.

Noroi (Koji Shiraishi, 2005)

Noroi seperti mengawinkan timur dan barat, namun tak menghilangkan citarasa lezat tradisi horor timur, gaya horor Asia yang di-blair-witch-project-kan dengan mengadaptasi genre found footage yang pada waktu itu tidak sepopuler sekarang (terima kasih kepada Oren Peli dan berseri-seri Paranormal Activity). Noroi tidak sekedar memberikan tontonan horor yang menyeramkan, tapi sekaligus jejalkan trauma menyenangkan ke dalam otak. Koji Shiraishi seperti dewa yang menaiki kereta kuda dan turun dari langit (mungkin bareng Yoshihiro Nishimura), Noroi adalah kitab sucinya, dan gue adalah penyembahnya yang paling setia.