Saya belum sempat menonton “Manusia Setengah Salmon”, tapi dari pengalaman mencicipi “Kambing Jantan”, “Cinta Brontosaurus” sampai “Cinta Dalam Kardus”, target penonton film-film Raditya Dika jelas bukan ditunjukkan kepada saya. Jadi wajar ketika asupan humor-humor yang dijejalkan dalam filmnya, kadang hanya menghasilkan garukan di kepala—saya tidak tahu letak kelucuaannya dimana. Saya pernah nyeletuk di review “Cinta Brontosaurus”, film-film Dika tampaknya hanya bisa dinikmati oleh kaum pengikutnya alias followers twitter, mereka yang mengabdikan jari telunjuknya untuk me-retweet ‘markitdur’ (mari kita tidur). Ya saya ingin bisa tertawa seperti barisan cewek-cewek berjilbab yang duduk tepat di atas bangku tempat saya duduk, tapi balik lagi saya bukan sasaran film macam “Cinta Brontosaurus”, yang diperuntukan untuk generasi yang lebih muda—jadi mengakui kalau diri sendiri sudah terlalu tua. Mereka yang suka berkicau tweet-tweet galau atau mereka yang punya nama panjang seperti: Im’ R*ni Cewe Dudul Benci Cwo’ Munafk Yang Suka Ingkar Jnji’ Mmpus Ajja Kcebur Smur Gak ada’ Yang Bntuin Wkakapok, mungkin bisa lebih menikmati film-film Dika. Tapi saya ternyata sudah menarik kesimpulan salah pada waktu itu, saya juga bisa tertawa menonton “Cinta Dalam Kardus” dan diluar dugaan “Marmut Merah Jambu” juga tak segaring yang saya bayangkan. Kesimpulannya yah kaya milih pasangan alias pacar, cocok-cocokan, filmnya Dika juga gitu, kalau sudah ketemu yang pas pada akhirnya bisa duduk dengan nyaman tanpa harus menelan obat penenang.

Jadi kenapa “Marmut Merah Jambu” bisa berhasil dan saya tak perlu (lagi) untuk menenggak obat penenang setelahnya? Well, selain karena formula cocok-cocok-an yang saya singgung di paragraf sebelumnya, apa yang membuat saya akhirnya bisa lebih menikmati film ini adalah porsi tampil Dika yang jauh lebih berkurang. Materi ceritanya kali ini memang memaksa Dika untuk tak banyak menampilkan muka, dia hanya berakting duduk lalu beradu bacot dengan Tio Pakusadewo, dan sisanya Dika kebanyakan flashback menceritakan masa-masa SMA, tentang grup detektif yang dibuatnya bersama Bertus dan cinta pertamanya dengan Ina. Tentu Dika tak harus susah-susah jadi anak SMA lagi untuk memerankan dirinya, sudah ada Christopher Nelwan yang bakal menggantikan posisinya, jadi Dika bisa fokus juga dibalik layar menyutradarai filmnya. Yup, kali ini Raditya Dika tidak hanya menuliskan skrip tapi juga merangkap sutradara, langkah yang menurut saya sih mestinya dilakukan olehnya jauh hari sejak film pertamanya “Kambing Jantan”. Mungkin buku-buku Dika memang sudah seharusnya disutradarai Dika sendiri, mengapa “Kambing Jantan” dan “Cinta Brontosaurus” terlihat gagal di mata saya mungkin karena tidak ada sutradara yang bisa menterjemahkan apa yang benar-benar diinginkan Dika. Balik lagi, formula cocok-cocok-an itu juga berlaku pada Dika, entah karena skrip yang terlalu absurd untuk ditermahkan atau sutradara yang salah menterjemahkan tulisan-tulisan Dika. Kenapa “Cinta Dalam Kardus” bisa berbeda dan berhasil layaknya “Marmut Merah Jambu” dan kedua film Dika lainnya tidak berhasil (hanya untuk mengingatkan kalau saya belum menonton Manusia Setengah Salmon)? Ya, karena kecocokan tersebut, bisa jadi Salman dan Dika memang cocok, tidak saja dalam urusan menggabungkan dua visi yang beda tapi juga pada saat visi tersebut diterjemahkan dalam bahasa gambar.

Duduk di bangku sutradara, tampaknya memberikan Dika keluasaan lebih untuk menterjemahkan skripnya sendiri, yang berarti dia bisa “sesukanya” di “Marmut Merah Jambu”, untungnya sesukanya Dika bisa dipertanggung-jawabkan, bukan berarti filmnya malah jadi lebih aneh bin absurd daripada sebelumnya. Filmnya kali ini tak saja cocok—walau tak sepenuhnya dibuat untuk saya, targetnya tetap untuk mereka yang doyan menggalau seharian di media sosial—tapi juga secara penulisan skrip, Dika memperlihatkan kemajuan yang signifikan ketimbang film-film sebelumnya, lebih rapih menurut saya dari babak ke babaknya. Dengan film yang didukung skrip yang lebih kece, “Marmut Merah Jambu” kemudian bergulir mengasikkan tanpa saya harus terpaksa merasa betah dijejalin humor garing ala Dika. Oh ngomong-ngomong soal unsur komedi yang meng-cover hampir seluruh durasi film, “Marmut Merah Jambu” bisa dibilang punya lucu-lucuan yang lebih universal, tidak terjebak melulu menyuapi selera humor mereka yang memang fans Raditya Dika dan kegaringannya tapi juga non-fans seperti saya. Menonton “Marmut Merah Jambu” ibarat menonton “Malam Minggu Miko” season pertama, tak semua episode-episodenya lucu tapi setidaknya beberapa episode masih bisa saya tanggapi dengan, tawa ketimbang season kedua yang luar biasa garing. Miko eh maksud saya Dika, dari dulu lo emang seharusnya nyutradarain film lo sendiri deh, terbukti “Marmut Merah Jambu” bisa lebih menyenangkan, mungkin karena lo juga lebih gembira bikinnya, secara lo sutradaranya sekarang, iya nga.

Terima kasih kepada duo Christopher Nelwan (sebagai Dika remaja) dan Julian Liberty (Brandal-Brandal Ciliwung) yang memerankan Bertus remaja, kehadiran mereka berdua bisa dibilang yang membuat “Marmut Merah Jambu” jadi makin menyenangkan, ketimbang harus menatap akting Raditya Dika selama 90 menit. Saya bukan seorang haters atau apapun sebutannya, tapi jujur saya memang tak suka dengan akting super-datar ketika memerankan dirinya sendiri itu, setelah “Marmut Merah Jambu” saya lebih prefer Dika tetap dibalik layar ketimbang lagi-lagi harus berakting, dia jauh lebih baik ketika menyutradarai, yah tampil untuk beberapa menit boleh tapi untuk satu setengah jam, saya harus segera membeli obat penenang tambahan. Balik lagi ke Christopher dan Julian, meng-casting dua pemain ini adalah langkah benar nomor dua yang dilakukan film ini, kesatu tentu saja keputusan Raditya Dika untuk menyutradarai filmnya sendiri. Kekompakan Christopher dan Julian sebagai dua orang sahabat tak saja dalam urusan asmara tapi juga kecupuan mereka di sekolah, begitu mencuri perhatian sejak awal. Jika biasanya film-film Raditya Dika berusaha untuk lucu tapi gagal di mata saya, kali ini tampaknya Dika tahu harus melakukan apa, termasuk pada Christopher dan Julian, hasilnya kelucuan-kelucuan yang disodorkan berhasil memancing tawa. Walaupun di paruh pertama saya tetap agak kesulitan untuk mencerna komedi yang coba disajikan “Marmut Merah Jambu”. Dika tampaknya sudah lebih belajar dari film-film sebelumnya, untuk tak berusaha melayani egonya dan malah bikin humor yang dilontarkan ke penonton justru jadi kadaluarsa sebelum disantap. Di “Marmut Merah Jambu” formula komedinya lebih matang, wajar dan manusiawi, didukung juga oleh skrip yang lebih rapih. Masih menjual curhat-colongan, galau dan keapesan Dika dalam soal asmara, tapi setidaknya bahan jualan Dika kali ini dibungkus lebih baik dan “Marmut Merah Jambu” memang menyenangkan.