Untuk seseorang yang selalu “haus darah” (saya bukan vampir apalagi keturunan lintah), saya kemudian dipaksa untuk jujur, A Copy of My Mind memang bukanlah film yang saya harapkan bakal dibuat oleh Joko Anwar. Sebagai pengagum Pintu Terlarang—film yang menginspirasi saya untuk menulis review—saya rindu film berdarah-darah ala Joko, Modus Anomali pernah jadi obatnya, tapi sekarang saya kumat lagi. Sambil menunggu bau amis darah, tak ada salahnya menikmati manis yang ditawarkan A Copy of My Mind, film yang mempertemukan seorang pekerja salon kecantikan bernama Sari (Tara Basro) yang punya cita-cita bisa beli home theater, dengan Alek (Chicco Jerikho) si pembuat terjemahan DVD bajakan. Wah! premisnya saja sudah begitu puitis, karakternya tidak biasa, tetapi anehnya juga terasa begitu dekat. Dunianya familiar, bukan soal salon (saya mah apa atuh, tak pernah tersentuh perawatan salon), tapi film dan file berekstensi SRT. Saya juga seperti Sari, doyan nonton, pernah mimpikan punya perangkat bioskop di dalam rumah, dan beberapa kali harus ikhlas membaca subtitle yang hancur lebur.

A Copy of My Mind tidak sekedar hadir dengan penokohan yang membuat mereka yang menonton merasa dekat, setting-nya pun terasa tidak asing, termasuk toko DVD bajakan yang nantinya mempertemukan Sari dan Alek. Mengingatkan saya, dulu pas masih kuliah bisa 2-3 kali dalam seminggu main ke Kuningan, habiskan waktu berjam-jam untuk bolak-balik cover DVD yang terbungkus plastik, sambil bertanya “gambarnya sudah bagus?” ke mbak-mbak penjaga lapak. Kedekatan ini yang nantinya membuat saya begitu mudah untuk masuk ke dunia Sari dan Alek, lalu nantinya terbawa hanyut oleh romansa sederhana yang dihadirkan A Copy of My Mind. Joko membuat film cinta yang apa adanya, tidak memaksa Sari dan Alek untuk berdialog indah hingga mulut mereka berbusa, tanpa berucap kata penuh puisi pun, kita pada akhirnya dibuat percaya kalau Sari dan Alek memang saling mencintai satu sama lain. A Copy of My Mind tak memberi saya adegan romantis yang berlebihan dan justru malah terlihat memuakkan, Joko membiarkan kedua karakternya membangun kemesraan tanpa dipaksa untuk kelihatan jadi manis.

Keintiman yang terjalin indah antara Sari dan Alek pun semakin membuai mata berkat kejelian Ical Tanjung (Lovely Man) dalam menangkap gambar dan momen cantik di A Copy of My Mind. Sinematografinya tak saja jadi ikut terpancar manis, tapi juga membantu mengantarkan rasa yang ingin disampaikan oleh si pembuat film. Seperti bangunan asmara yang ditampilkan sederhana, gambar-gambarnya A Copy of My Mind juga dibiarkan mengikuti keadaan aslinya. Jakarta yang bising, kotor, sesak, dan kacau tapi dipertontonkan dengan bingkai yang indah. Real tapi juga sedap dipandang. Kesemrawutan kota yang seringkali dimanfaatkan sebagai latar kemudian menciptakan warna tersendiri untuk A Copy of My Mind, layaknya balkon tempat Sari dan Alek biasa memadu kasih, background-nya hanya berhias untaian kabel listrik yang bergelantungan tak beraturan. Terkesan seadanya, tapi itulah yang ingin diperlihatkan Joko di film ini, kisah cinta yang organik, visualnya pun tak pakai pemanis sintetis tetapi dibiarkan tampil alami.

A Copy of My Mind tahu pentingnya sebuah chemistry, karena penonton tak hanya butuh diyakinkan tapi juga ikut merasakan. Tara Basro dan Chico Jerikho mampu melakukan itu, meyakini kita bahwa keduanya memang sedang dimabuk asmara, sekaligus menghantarkan rasa langsung ke penontonnya. Tara dan Chico tak saja menampilkan permainan akting yang mempesona, tapi juga suguhkan chemistry yang “seksi” pada hubungan Sari dan Alek. Setiap kali melihat mereka berduaan, dopamin dalam tubuh seperti ikut bereaksi, menciptakan rasa senang yang amat menggebu-gebu. Sari dan Alek tidak hanya terlihat humanis, terasa dekat dengan penonton, tapi juga karakter yang bisa membuat kita pada akhirnya peduli pada nasib hubungan mereka. Ketika Joko menceburkan keduanya ke dalam masalah, kepedulian tersebut kian terasa dalam dan mengikat, kita sudah dibuat jatuh hati pada Sari dan Alek, hingga kita berharap untuk melihat mereka baik-baik saja di akhir film. Saya jarang bisa dibuat suka dengan film romansa, bukan berarti tidak berhati, A Copy of My Mind membuktikan kalau saya ternyata masih punya yang namanya hati, saya bisa dibuat jatuh cinta, jatuh cinta dengan film ini.