“Apaan sih?”, itu ungkapan kali pertama saya melihat trailer “Mama Cake”, sebuah film yang bercerita tentang kue bernama brownies, tapi lihatlah poster filmnya ada ledakan, halilintar, gunung meletus, dan… sapi. Mungkin banyak yang mengira, yah termasuk juga saya, kalau “Mama Cake” hanya sebuah film nga jelas yang ingin coba meniru-niru gaya film “Scott Pilgrim vs. The World”-nya Edgar Wright, atau apakah ini film bencana, kiamat, atau sebenarnya film tentang sapi? Well, jika maksud si sutradara, Anggy Umbara, ingin membuat film yang “unik”, jelas dia sudah berhasil melakukan itu. “Mama Cake” sudah membawa saya ke sebuah petualangan, awalnya memang serasa aneh, seperti melihat brownies untuk pertama kalinya, kue dengan tampang “tidak kue”, tapi begitu digigit sekali, saya justru ingin menghabiskan satu kotak penuh brownies. Apa yang nantinya disodorkan “Mama Cake” memang agak “melenceng” dari film-film komedi lokal yang biasanya seliweran di bioskop tanah air. Dalam artian positif, Anggy Umbara berani untuk tampil berbeda, dengan resiko ditinggal penonton yang selama ini nyaman saja dijejali komedi yang itu-itu saja.

Jika tidak dari sekarang dikasih pilihan, kapan lagi? saya melihat “Mama Cake” hadir untuk tujuan itu, memberi penonton Indonesia sebuah alternatif tontonan sebuah film komedi, jenuh yang begitu, sekarang ada yang begini. Rakha (Ananda Omesh), Willy (Boy William) dan Rio (Arie Dagienkz) ditakdirkan untuk menjadi sahabat, ketiganya punya perbedaan, Rakha seorang yang anti-mainstream, Willy yang sok ganteng adalah seorang playboy cap kadal, dan Rio, yang satu ini paling spesial nga pake telor. Bertiga selalu bersama, termasuk ketika Rakha diamanahkan untuk beli brownies kukus “Mama Cake” oleh ayahnya, pesanan nenek Rakha yang sekarang terbaring di rumah sakit. Sebenarnya cabangnya ada di Jakarta, tapi neneknya minta yang langsung dari Bandung, maka berangkat ketiganya ke kota kembang. Dengan niat hanya membeli brownies, kecuali Rio yang juga punya niat “kopi darat” dengan teman facebook-nya, ada saja nantinya rintangan Rio untuk mendapatkan brownies yang seharusnya mudah, lalu kembali pulang jam satu siang sesuai permintaan sang Ayah. Dari menabrak laki-laki gondrong misterius hingga mobilnya Rakha hilang di tengah perjalanan. Awalnya hanya ingin membeli brownies jadi sebuah petualangan bagi Rakha, Willy dan Rio, dimana mereka menemukan arti persahabatan dan juga kehidupan yang sebenarnya, pengalaman yang tidak terlupakan.

Bagi saya ini juga pengalaman menonton yang tidak terlupakan, apalagi ketika saya disajikan salah-satu opening credit film terbaik tahun ini. Jarang loh film Indonesia, yang niat memperlakukan sebuah pembuka film seperti “Mama Cake” ini. Dikemas dengan bermacam visual grafis dan komik, yang nantinya di sepanjang film memang kita akan “dimanjakan” dengan elemen-elemen komik, dari menyempilkan sketsa para karakternya sampai membelah suatu adegan menjadi beberapa frame. Well, agak aneh sih pada awalnya, apalagi film ini juga menambah semarak layar dengan hadirnya kalimat-kalimat yang sengaja “ditempel” selagi para karakternya berdialog atau ketika ada adegan perkelahian, akan ada tempelan “bag-big-bug” di layar, mirip komik Batman. Tentu saja menjadi menarik, ketika permainan visual yang tak biasa di film Indonesia ini, ternyata juga memiliki misi “terselubung” (dalam arti positif), agar Anggy yang juga berperan dalam penulisan filmnya dapat lebih mudah untuk menyampaikan pesan-pesan relijius. Saya tak menyangka jika “Mama Cake” adalah film yang bernafaskan reliji, tapi akan jadi wajar jika saya kembali melirik band bernama Purgatory, dimana Anggy adalah salah-satu personilnya, sebuah band yang boleh dibilang sangar, membawakan lagu-lagu metal tapi dengan lirik yang relijius, berisikan tentang Islam, hari kiamat, kematian, dan juga perang Uhud.

Jika Anggy bisa berdakwah sambil ber-metal-ria, sah-sah saja jika ia pun berdakwah di filmnya sendiri, dan Anggy pun tahu bagaimana menyampaikan pesannya untuk membaur dengan jalan cerita, dibungkus sangat anak muda banget, dengan visual yang berwarna-warni, dilapisi drama romansa dan dihiasi oleh komedi. Walaupun saya akui jika sisi relijius tersebut diterjemahkan agak ambisius, jadi kesannya film terlalu menggurui, tapi saya masih bisa mentolerir “sedikit” kesalahan Anggy dalam debut filmnya ini, toh pada akhirnya ketika “Mama Cake” dibuat dengan hati, semua akan jadi terasa enak dikunyah di mulut. Biarpun nantinya “Mama Cake” berdurasi 143 menit, saya malah tidak merasa film ini selama itu, walaupun sebetulnya ada beberapa bagian yang bisa saja dibuang agar filmnya lebih “empuk” lagi. Tapi, serius  saya merasa “Mama Cake” tidaklah membosankan, karena Anggy mampu mengolah komedinya untuk enak ditertawakan, menyempilkan kejutan-kejutan konyol dan konflik nyeleneh menarik yang tidak disangka, walau di beberapa bagian terjadi pengulangan dan kekonyolannya agak absurd. Begitu pun dengan drama romantis, Anggy bisa mengaduk formulanya untuk jadi “gurih” menyentuh sisi paling sensitif saya, melumuri hati dengan adegan-adegan menyenangkan. Bersama dengan para karakternya yang dengan mudah disukai, dengan “kebodohannya” masing-masing, “Mama Cake” dengan keunikannya tak hanya mampu menghibur tapi juga memberi “sesuatu” yang baik untuk dibawa pulang, terima kasih Anggy Umbara.