Apa jadinya jika anda terbangun dalam tubuh orang lain yang sama sekali tidak dikenal? dan punya misi menyelamatkan dunia? Colter Stevens (Jake Gyllenhaal) mengalami hal tersebut, ketika dia tiba-tiba terbangun di sebuah kereta dalam tubuh seorang guru sejarah bernama Sean Fentress. Panik? iya tentu saja Colter panik, apalagi seorang perempuan, Christina Warren (Michelle Monaghan), yang duduk didepannya langsung mengajaknya berbicara padahal Colter sama sekali tidak mengenalnya. Colter pun segera menjelaskan bahwa dia tidak mengenal Christina dan dia sudah salah orang. Colter salah, Christina toh memang mengenal dia sebagai Sean, sebelum Colter sempat mendapat jawaban tentang apa yang terjadi, tiba-tiba kereta yang ditumpanginya meledak. Apakah cerita berakhir? belum, Colter sesaat kemudian sudah berada di tempat yang berbeda, sebuah ruangan berbahan baja, gelap, dan dia duduk di sebuah kursi yang mengikatnya, Colter seperti di dalam kokpit pesawat luar angkasa, saya kira begitu.

Sampai akhirnya seorang Kapten bernama Colleen Goodwin (Vera Farmiga) menjelaskan kalau Colter sedang berada dalam sebuah “Beleaguered Castle”. Apapun itu, Colter yang ternyata pilot helikopter di kesatuannya di angkatan darat, sekarang sedang dalam misi dibawah kendali program bernama “Source Code”. Lewat program ini, Colter bisa masuk ke tubuh orang lain, dalam kasus ini dia masuk ke tubuh Sean Fentres. Perintahnya jelas, Colter harus menemukan sebuah bom di dalam kereta, bagaimana caranya? well prajurit kita akan dibawa kembali ke situasi yang sama, dimana dia terbangun dalam kereta yang sama dengan variasi aktifitas di dalamnya yang tidak berbeda, termasuk mendengarkan kembali obrolan Christina yang persis sama. Colter hanya punya waktu delapan menit di kereta tersebut untuk menemukan bom yang tersembunyi, lewat dari itu, maka BOOOM! kereta meledak, penumpang mati, termasuk Colter dan Christina, kabar baiknya adalah Colter akan kembali ke awal. Apakah ini semacam omong kosong militer? Eksperimen untuk menguji prajuritnya, atau memang “Source Code” ternyata lebih complicated dari sekedar sebuah permainan simulasi “temukan bom dalam kereta”.

Pernah kesal dan membanting stik konsol playstation karena kalah atau lupa di-save, lalu harus mengulang permainan dari awal lagi, padahal sudah mati-matian menyelesaikannya ditambah bosnya ganjen total dan sulit dibunuh. Mungkin itu yang dirasakan oleh Colter, apalagi ia masih bingung kenapa ia bisa ada ditubuh orang lain, dalam kereta yang akan meledak, dan “dikerjai” oleh orang-orang yang hanya bisa dia lihat dari layar monitor di ruangan bernama “Beleaguered Castle” itu. Colter kesal, beda lagi dengan penontonnya, “Source Code” adalah permainan yang menarik, sebuah petualangan sinematik yang apik di-develop oleh seorang Duncan Jones, orang yang sama yang “memelintir” kita dalam film sci-fi berbalut thriller “Moon”. Kali ini arena permainan Duncan bukan stasiun yang letaknya 300 ribuan kilometer dari bumi, tetapi sebuah kereta penumpang yang sedang melaju menuju Chicago. Melihat judulnya yang kelihatannya rumit, “Source Code”—belum apa-apa saya sudah membayangkan mata kuliah pemrograman di bangku kuliah dulu—ternyata tidak berniat menjejalkan kita dengan teori-teori fiksi ilmiah yang bikin otak ngejelimet hanya untuk menyombongkan diri bahwa ini film fiksi ilmiah. Sebaliknya Duncan mengemas “Source Code” untuk mudah dimengerti, nga percaya? sueeer!

Ya, isi keranjang “Source Code” memang berisi berbagai teori “pemanis” fiksi ilmiah, termasuk didalamnya ada mekanika kuantum, yang kaitannya dijadikan pondasi untuk mendukung teori program yang membawa Colter bolak-balik dari dunia nyata ke “dunia” yang terbatas hanya 8 menit. Jangan buru-buru manyun dulu, karena sekali lagi Duncan punya cara yang menarik dan tidak membosankan dalam urusan menjabarkan filmnya, termasuk juga menjelaskan setiap teorinya dan apa kaitannya dengan kejadian-kejadian yang akan menimpa Colter. Skrip yang dari awal memang sudah cerdas, thanks to Ben Ripley, diracik sedemikian rupa agar terasa makin brilian setelah berhasil divisualkan. Oke kita akan diajak berkali-kali melihat adegan yang sama, tapi Duncan tentu tidak mau melihat penontonnya keluar dari kereta lebih cepat. Maka walau urutan kejadiannya sama tapi dengan editing dan pengambilan gambar yang variatif serta kreatif, kunjungan kita ke kereta yang sama akan makin menarik dan menarik saja. Apalagi tiap Colter kembali ke dunia 8 menit itu, kita akan diajak pula dalam petualangan menegangkan mencari bom dan pelakunya, sekaligus melihat pola unik interaksi antara Colter dan Christina.

“Source Code” tidak hanya memfokuskan dirinya untuk bermain-main dengan teori fiksi ilmiah, atau mengajak penonton ikut tegang mencari-cari dimana bom dan pelakunya saja tetapi merangkul kita untuk ikut merasakan hubungan batin dengan Colter sendiri serta hubungannya yang “hangat” dengan Christina, dimainkan dengan manis oleh Michelle Monaghan. Disana bukan hanya tersaji visual hiburan dengan visual efek minimalis saja, “Source Code” menaruh apa yang saya namakan “hati” kedalam ceritanya, maka dengan mudah, secara bertahan lewat aksi Colter yang diperankan luar biasa meyakinkan dan memikat oleh Jake Gyllenhaal, film ini secara perlahan membuat kita terekat-erat bersama jalinan ceritanya. Walaupun jika dihadapkan head to head dengan “Moon” saya masih lebih menyukai “kesunyian” yang ditampilkan film debutan Duncan Jones tersebut. Saya akui “Source Code” adalah karyanya yang tetap sama-sama jenius, menciptakan sajian fiksi ilmiah yang membuat kita tidak takut untuk mencicipinya karena racikannya begitu nyaman untuk dicerna. Sama seperti “Moon” yang punya twist cemerlang, “Source Code” punya twist yang tidak kalah mind-blowing. Tapi sejujurnya bukanlah ending atau twist tersebut yang membuat saya mencintai hasil karya anak dari David Bowie, namun bagaimana Duncan Jones mengkontruksikan filmnya dari stasiun A ke stasiun B dengan brilian dan berhati.