I wish you were Queen just for today ~ Marilyn Manson

Kesuksesan “Saw” dengan franchise-nya seperti sebuah pembaptis bagi genre yang pada awalnya “tersingkirkan”, sekarang melihat potongan tubuh tercerai berai dan bergalon-galon darah tumpah tepat di layar jadi seperti melihat tayangan berita di televisi saja. “Jigsaw” seakan melegalkan apa yang sebelumnya tabu dan hanya dinikmati segelintir fans. Slasher memang tidak diciptakan oleh James Wan dan kawan-kawannya, karena jauh sebelum “Saw” meneror dengan segala jebakan mautnya, slasher sudah mempunyai judul-judul klasik seperti  Sleepaway Camp, Mother’s Day, My Bloody Valentine, Happy Birthday to Me, yang meramaikan era dimana genre ini mengalami zaman keemasannya di tahun 80-an, tidak ketinggalan juga Halloween-nya John Carpenter yang kala itu bisa dikatakan cukup sukses di box office dan menjadi film legenda sampai sekarang.

Sekali lagi “Saw” bukanlah film pertama yang memperkenalkan pembunuh psikopat yang haus darah, tapi kemunculan film ini di tahun 2004 memang bertanggung jawab mengairahkan kembali sub-genre horor yang satu ini, sekaligus bangkitnya era dimana slasher sudah menjadi komoditas penghasil dolar, darah dan adegan-adegan pesakitan sekarang menjadi komersil. Terbukti franchise “Saw” saja sudah mengantongi lebih dari $800 juta, berasal dari hasil teriakan penontonnya. Well ternyata tidak hanya Hollywood yang tergiur terus mengeksploitasi tema “menyayat” ini, ketika film-film sejenis muncul di Amerika, di luar seperti Perancis, mereka juga tidak mau ketinggalan, anda tentu tahu Frontier(s) dan Martyrs kan? bahkan sekarang Indonesia pun punya “Rumah Dara”.

“The Loved Ones” bukanlah film slasher pertama yang berasal dari Australia, karena sebelumnya ada “Wolf Creek” di tahun 2005, disutradarai oleh Greg Mclean. “The Loved Ones” memang akan tampak seperti film percintaan drama yang klise, lengkap dengan kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan pesta dansa sebagai momen untuk melepas keperawanan. Namun itu hanya akan menjadi pondasi cerita di film yang disutradarai oleh Sean Byrne, sekaligus debut film panjang pertamanya ini. Australia sepertinya ingin punya maskot horor mereka sendiri yang ikonik, lewat Lola (Robin McLeavy), seorang “putri” yang dikecewakan oleh seorang lelaki karena menolak ajakannya ke pesta dansa. Lelaki itu adalah Brent (Xavier Samuel), seorang pemuda sok metal dan depresi yang 6 bulan lalu mengalami kecelakaan bersama sang ayah.

Masih merasa bersalah karena menyebabkan ayahnya tewas dalam kecelakaan tersebut, Brent hanya bisa menebusnya dengan obat-obatan dan bertingkah ugal-ugalan. Ketika dia sedang asyik “bermeditasi”, menyendiri dan menghisap mariyuana, tiba-tiba seseorang menyergapnya dari belakang. Brent pun terbangun dalam keadaan terikat di sebuah kursi dan mendapati dirinya berada di rumah Lola yang sudah dihias ala pesta dansa lengkap dengan bola disko mengantung di langit-langit. Tampaknya Lola sudah mengundangnya secara paksa untuk menjadi pasangan dansanya malam ini, hmm atau melengkapi koleksi hobi pesakitannya menyiksa lelaki ya? Brent yang kebingungan hanya bisa pasrah ketika ayah Lola memeganginya bersamaan dengan Lola yang menginjeksi cairan pemutih agar Brent tidak bisa berteriak. Itu hanya pemanasan, hidangan pembuka, karena Lola sudah menyiapkan “santapan lezat” bagi Brent dan juga penonton. Selamat bersenang-senang!

Jika film-film sejenis “The Loved Ones” ini biasanya tidak mempedulikan kemasan plot cerita karena terlalu fokus bagaimana caranya menyayat-nyayat keberanian penontonnya, maka “The Loved Ones” bisa dibilang salah-satu dari film ber-genre slasher yang punya cerita yang lumayan terkemas rapih. Walau klise dengan segala drama ala film-film cinta remaja dan agak lama ketika memperkenalkan karakter Brent, tetapi semua itu terbayar ketika film ini memasuki babak kedua, babak dimana semua berubah menakutkan. Tapi memang tidak begitu menakutkan bagi saya, ah mungkin karena saya terlalu keterlaluan berekspektasi film ini akan menghadirkan aksi-aksi yang luar biasa kejam yang datang dari seorang “twisted princess” bernama LOLA. Dia bersama keluarganya sudah sukses menghadirkan sebuah contoh keluarga kecil bahagia tetapi sakit jiwa, hubungan ayah dan anak yang sangat akrab—bisa dibilang terlalu akrab sepertinya—ketika mereka berdua sama-sama memuaskan nafsu liar menyiksa korban-korbannya, termasuk Brent.

Sean Byrne yang juga menulis cerita “The Loved Ones” ini sepertinya memang ingin apa yang disajikannya masih dalam batas ditolerir oleh perut, bersahabat dengan mata, dan terkontrol untuk tidak terlalu sadis, tergantung dimana kita meletakkan benchmark. Tiap adegan sakitnya memang diperlakukan manis oleh Sean Byrne, visual-visualnya cukup berani menantang nyali penonton untuk melihatnya. Uniknya pernak-pernik kekejaman tersebut dihias dengan warna yang ceria, mungkin karena tampilan ruangan yang diset ala tempat dansa dan juga Lola yang disulap seperti putri yang menunggu pangeran “charming” lengkap dengan gaun berwarna pink hadiah dari sang ayah. Semua keceriaan tersebut pun berbaur dengan pernak-pernik kekerasan, kesadisan, dan kekelaman yang muncul silih berganti di paruh akhir film ini. Sean Byrne pun tidak serta merta lupa pada sub-plot yang dari awal sudah disisipi, asyik dengan plot penyiksaan demi penyiksaan, dia juga meneruskan berbagai cerita yang turut mendukung keseluruhan film, seperti hubungan Jamie (Richard Wilson) dan Mia (Jessica McNamee) misalnya, sebetulnya tidak terlalu penting tapi memperkaya cerita untuk tidak melulu soal kesadisan (saya kadang plin-plan, inginnya total sadis tapi sekarang justru condong ke cerita hahaha).

Porsi gore, brutal, sadis, memang jadi unggulan Sean Byrne, menarik memang, namun justru karena ada pola cerita yang tidak kacangan juga yang membuat film ini tampil beda dan menarik. 84 menit pun tidak hanya diisi oleh aksi brutal “Daddy dan Princess” tetapi juga performa kuat yang ditampilkan pelakon-pelakonya, terutama Robin McLeavy yang berperan sebagai putri yang tersakiti, gadis yang terpaksa mengambil hati pria yang dia sukai secara brutal, dialah Lola. Robin sepertinya tidak hanya menginjeksi korbannya dengan pemutih agar mereka tidak bisa teriak tetapi juga berhasil menginjeksi penonton dengan obat bius agar kita nantinya terpesona dengan “kemanisannya”. Lola memang manis, ceria, tetapi juga pahit ketika dia sudah menguasai berbagai alat tukang, bersama dengan John Brumpton yang berperan sebagai ayahnya, mereka berdua menampilkan kolaborasi yang apik sebagai duo penyiksa yang klop, dari segi kegilaan dan juga akting tentunya. “The Loved Ones” pun secara keseluruhan tampil tidak mengecewakan walau saya sebenarnya masih meminta hidangan “lezat” yang lebih, tapi saya tidak akan maksa karena Sean Byrne sudah lebih dari cukup untuk membuat mata ini kenyang dan membuat adrenalin ini terhibur dengan kesadisannya. I love you, Lola!

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/17734803524689922