It won’t stop bleeding! ~ Johnny

I Spit on Your Grave sebenarnya tipe film yang saya masukan ke dalam daftar film-film yang tidak akan pernah ditonton ulang lebih dari satu kali (seharusnya sekali saja sudah lebih dari cukup), tapi karena nafsu banget buat masukin ini di blog untuk direview, saya terpaksa menontonnya lagi. Alasan saya tidak mau menonton lagi cuma satu, saya selalu miris dan tidak tega melihat adegan pemerkosaan, tidak hanya di film ini. Walau kadang sesadis apapun suatu film—mau itu adegan mutilasi sampai dipotong super-kecil atau isi perut yang dimakan dan “dikeluarkan” lagi lalu dimakan lagi oleh orang lain—saya bisa menikmatinya (mungkin kata yang tepat adalah masih kuat). Tapi tidak akan pernah kuat jika itu berurusan dengan adegan pemerkosaan, apalagi jika sudah berbaur dengan adegan siksa-menyiksa…hati nurani ini seperti ikut tersiksa (bersyukur berarti saya masih orang normal bukan psikopat ya). Film yang dilarang tayang di beberapa negara saat pertama kali rilis ini memang tidak main-main ketika menyorot sebuah pemerkosaan, serius dan begitu detil, Meir Zarchi sepertinya memang membuat ini dengan pesan yang mendalam.

Wajar saja jika Zarchi mengemas film ini demikian “kejam”, mungkin film yang aslinya berjudul “Day of the Woman” ini salah-satu cara Zarchi untuk mengekspresikan dirinya, mencurahkan isi hatinya, mengubah keinginannya untuk balas dendam menjadi sebuah karya yang tidak hanya “mengetuk” tapi juga “menusuk”. Apa yang terjadi adalah, film ini diilhami oleh kejadian dimana Zarchi menolong seorang perempuan korban perkosaan di New York. Perempuan tersebut muncul begitu saja dari semak-semak dalam keadaan mengenaskan, penuh darah, dan telanjang. Zarchi pun mengantarnya terlebih dahulu ke polisi, namun disana polisi bukannya menolong justru malah menginterogasi sang korban yang saat itu sulit berbicara. Adakalanya ketika sebuah keadilan dipandang sebelah mata oleh para penegak hukum dan mereka lebih asyik mencari bukti ketimbang pelakunya, main hakim sendiri sepertinya jadi pilihan dan solusi tepat. Sama halnya ketika Zarchi seharusnya langsung saja ke rumah sakit daripada harus mendengar pertanyaan polisi, ya kadang pikiran itu selalu muncul di benak saya, apakah kita perlu mengemis meminta keadilan? di negara beradab yang hukumnya bisa dibeli seperti membeli kacang.

Kisah Zarchi sendiri sepertinya bisa saja difilmkan, tapi untuk apa memfilmkan tentang polisi yang dideskripsikan Zarchi bahwa mereka tidak pantas memakai seragam, lebih baik ia membuat film yang isinya dijamin membuat “pistol” lelaki kehilangan pelurunya. Maka jadilah “Day of the Woman”, dimana diceritakan seorang penulis majalah bernama Jennifer Hills (Keaton) memutuskan untuk “melarikan diri” dari peradaban dan memilih untuk menghabiskan musim panas di sebuah rumah pinggir danau. Di tempat ini dia juga bisa memulai menulis novel pertamanya. Namun kedamaian di surga yang jauh dari kota yang penuh sesak dengan kesibukan berujung pada malapetaka, berubah menjadi neraka. Empat orang lelaki kampung (salah satunya idiot) mengganggu Jennifer, awalnya mereka memang seperti sedang “menggoda” iseng, penyambutan ala mereka untuk perempuan kota yang suka berbikini sambil menulis atau berjemur di sebuah perahu. Jennifer hanya bisa pasrah ketika mereka berempat secara bergiliran memperkosa dan memukulinya.

Jika boleh memilih, Jennifer mungkin akan memilih untuk dibiarkan mati daripada harus hidup menghirup abu kepahitan lukanya. Sebuah luka yang menyayat-nyayat tidak hanya membekas di kulit tetapi juga merasuk kedalam jiwa, Jennifer seperti hidup dengan jiwa yang sudah mati. Zarchi justru memilih Jennifer untuk hidup, membiarkan saya sebagai penonton yang masih terkoyak-koyak oleh adegan pemerkosaan untuk ikut memilih apa yang harus dilakukan oleh protagonis kita ini. Tentu saja saya yang sudah dehidrasi akan sebuah keadilan yang setimpal, ikut mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi (tak peduli dan malu dengan bulu ketek yang bau) dan dengan keras berteriak “kill them all”, segera saya juga langsung memasang lagu “Kill ‘Em All” dari Metallica. Jika boleh jujur, film ini bukanlah film bertema balas dendam yang terbaik, bahkan bisa dibilang buruk jika dilihat dari sudut teknikal, tapi setidaknya harapan saya akan sebuah balas dendam yang manis dikabulkan oleh si kurus Jennifer (makan yang banyak donk Jen).

Seburuk-buruknya Zarchi dalam mengurutkan adegannya, mengambil potongan gambar, atau merangkai plot demi plotnya, tidak serta-merta membuat saya menghakimi film ini dengan “pujaan” layaknya mengulas film-film lokal yang dipaksa terlihat bagus namun sebenarnya super-buruk. Saya justru dengan tulus berterima kasih kepada Zarchi, karena mau repot-repot membuat film yang mewakili hati nurani. Walau diselipi dengan adegan tak berperikemanusiaan, saya yakin Zarchi tidak membuatnya semata-mata hanya untuk mengeksploitasi kekerasan tapi secara sederhana mentransfer apa yang ada dipikirannya tentang sebuah pemerkosaan yang realistis (entah darimana dia mendapat referensinya). Tentu saja ketika Zarchi mengemas sebuah adegan pemerkosaan dengan begitu realistis, konsekuensinya adalah menonton film ini seperti sedang menonton dokumenter, bukan tentang binatang-binatang lucu di alam liar tetapi keliaran manusia idiot yang memangsa si lemah untuk memuaskan nafsu bejatnya.

Titik didih kemarahan yang bereaksi melihat pemuda kampung “menyantap” Jennifer mengirim saya kembali ke momen-momen saat kekesalan saya tidak tersalurkan, melihat pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan atau masih bebas berkeliaran mencari mangsa baru, entah itu gadis desa yang lugu atau bisa saja anak kecil dibawah umur. Saya sempat membayangkan, Jennifer sepertinya harus membuka layanan telepon untuk melayani korban-korban pemerkosaan yang dijauhkan dari ratu keadilan, pada saat keperawanan mereka tidak bisa kembali, keadilan pun tidak didapatkan. Zarchi juga dengan apik bisa menempatkan sosok seorang idiot diantara tiga lelaki normal, saya seperti melihat sebuah pesan yang tertulis di papan pikiran Zarchi, bahwa level idiot mereka adalah sama rata, hanya orang idiot yang mau begitu saja di cucuk ti**t-nya (bukan kerbau dicucuk hidung lagi), patuh dan merelakan dirinya pada nafsu. Film ini seharusnya jadi menu wajib jeruji besi yang mengurung para pemerkosa, saya makin ngawur saja. Sudahlah terlepas dari kemasan Zarchi yang tidak spesial, film ini adalah hadiah istimewa bagi siapa saja yang rindu akan sebuah aksi balas dendam yang sederhana, namun masih manis untuk dijilati.