Di Indonesia yang namanya ‘drama’ adalah produk yang gampang dieksploitasi, tak hanya dalam film tapi juga di kehidupan nyata sehari-hari, termasuk lingkup politiknya yang sering dipelintir oleh drama-dramaan. Kita, sudah bisa dibilang terbiasa dengan drama, bahkan penangkapan pejabat yang korupsi pun dbubuhi drama hasil rekaan media, supaya seru ditonton dan menambah rating katanya. Seperti tidak cukup sinetron kita menyuguhkan berlimpah drama, dengan segala macam problema dan konflik dangkalnya, film layar lebar kita, khususnya yang mengusung tema drama seolah tak bisa memberikan sesuatu yang berbeda dari sinetron. Malah kebanyakan drama di layar lebar kontennya me-recycle apa yang sudah sering ditampilkan di sinetron, dari template usang “sudah tertimpa tiang listrik, kesandung kucing lewat lanjut tertabrak odong-odong dan gerobak abang cilok, terakhir tercebur comberan”, sampai diramaikan karakter-karakter jahat alias antagonis yang jahatnya melebihi dari iblis sekalipun. Makin drama, makin bagus, kata “lebih” diterjemahkan mentah-mentah jika berbicara soal drama di film Indonesia. Jika tokoh utamanya punya penyakit, sebisa mungkin visualnya harus terlihat lebih parah walaupun itu hanya pilek, mau itu sakitnya tumor otak ataupun cuma ingusan, visual batuk-batuk darah itu adalah harga mati.

Penyakit dan drama seolah tak terpisahkan dari film Indonesia, disana ada yang sakit, maka bersiaplah dieksploitasi oleh drama, disana ada drama maka bersiap juga untuk dieksploitasi oleh bermacam penyakit parah, tidak lupa batuk-batuk darahnya setiap 5 menit sekali—seperti penampakan hantu di film horor lokal. Selain dibubuhi penyakit, film drama kita belum percaya diri kalau tak memakai tangis-tangisan. Untuk tujuannya memancing penonton untuk ikut tersentuh itu wajar, tapi kebanyakan drama/melodrama kebablasan dalam menyuguhkannya, sedikit-sedikit nangis, banjir tuh film sama tangisan. Memang tidak semua drama kita pakai formula cetek—mengeksploitasi penyakit dan tangis—masih ada film drama yang mengedepankan cerita dan tak terjerumus ke lembah nista. Terakhir saya menonton “Unlimited Love” yang dibintangi Prisia Nasution, walaupun ada HIV-AIDS terselip dalam ceritanya tapi film ini menyampaikan dengan wajar dan dengan takaran drama yang pas. Tidak ada muntah darah, tidak ada adegan pilu tangis-tangisan tiap lima menit, melainkan setia pada cerita. Film drama seperti itu sayangnya jumlahnya amatlah langka, perbandingannya bisa 10 berbanding 1 dari sekian banyak film drama yang rilis tiap tahun. Sulitnya menemukan drama yang bagus itu seperti mencari tukang kerak telor yang sama-sama langka.

“Nada Untuk Asa” tak bisa dipungkuri juga menyertakan adegan tangis-tangisan nantinya, bertumpu pada karakter Nada yang dimainkan oleh Marsha Timothy, yang perannya memang mengharuskan dia untuk banyak menguras air matanya. Tapi toh Marsha menangis bukan tanpa sebab, bahkan saya bisa bilang tangisan tersebut diperlukan tak hanya untuk memancing emosi penonton tapi juga cara Charles Gozali untuk memberitahu kita apa yang dirasakan oleh Nada pada saat itu, membiarkan penonton terhubung dengan karakter tersebut. Karakter Nada memang mudah menangis, disinilah Charles Gozali juga menyampaikan kepada kita bahwa setangguh apapun seorang Nada, dia tetap manusia yang bisa rapuh sekaligus menangis, apalagi kita tahu apa yang sedang dia hadapi. Charles Gozali sejak awal memang tidak punya niatan untuk jualan air mata, tapi lewat adegan tangis tersebutlah Charles memanusiakan karakternya, sesuatu yang dilupakan oleh film melodrama lain dan Charles melakukan hal itu ke semua karakternya di “Nada Untuk Asa”. Memanusiakan tak hanya Nada tapi juga Asa (Acha Septriasa), Wisnu (Darius Sinathrya) dan karakter lainnya, termasuk karakter ‘cadas’ yang dimainkan Wulan Guritno. Perlakuan Charles Gozali pada karakter-karakternya inilah yang membuat saya pada akhirnya lebih peduli dengan mereka, peduli dengan apa yang mereka rasakan dan hadapi.

Walau “Nada Untuk Asa” nantinya membenamkan HIV-AIDS dalam jalinan cerita, tapi Charles Gozali tidak sedang membuat film tentang penyakit, apalagi tergoda untuk mengeksploitasi penyakit supaya bisa mengemis belas kasihan penonton. Tak ada adegan muntah-muntah darah, peran penyakit disini bisa dibilang hanya sebagai “supporting” yang sifatnya membantu, toh kembali lagi “Nada Untuk Asa” bukan film yang menangisi penyakit tapi tentang bagaimana berani untuk hidup. Dimainkan dengan sangat gemilang oleh barisan cast-nya, termasuk penampilan apik Wulan Guritno yang begitu menyita perhatian walaupun porsinya terbilang sekelebat saja. Charles Gozali tak saja sanggup memanusiakan karakternya tapi juga menghidupkan mereka lewat akting maksimal para pelakonnya. Semuanya “dipaksa” untuk bermain bagus, bukan saja Marsha Timothy dan Acha Septriasa yang punya porsi tampil lebih banyak, tapi juga keseluruhan pemain, Charles tak padang bulu soal ini, dari Mathias Muchus hingga Donny Damara yang berperan sebagai dokter. Usaha Charles dan para pemainnya tentu saja ada hasilnya, saya kemudian bisa peduli sekaligus meyakini karakter Nada ataupun Asa betul-betul orang yang sedang berusaha untuk berani hidup. “Nada Untuk Asa” tak sekedar memberikan kita kisah pilu, namun menyodorkan kita juga kisah keberanian dan juga kasih antara keluarga. “Nada Untuk Asa” adalah melodrama yang punya hati dalam menyampaikan ceritanya, tanpa menjual tangis, mengobral penyakit atau menjadikan “berani untuk hidup” hanya sebagai slogan kosong belaka.