Satu lagi film joint venture setelah “Dead Mine” yang rilis lebih dulu di awal tahun 2013. Diproduksi oleh Margate House, studio yang sama yang menelurkan film ber-setting perang kemerdekaan Indonesia ala Band of Brothers—“Merah Putih” (2009), “Darah Garuda” (2010) dan “Hati Merdeka” (2011), yang tergabung ke dalam “Trilogi Merdeka. “Java Heat” yang berembel hasil kerjasama Hollywood-Indonesia tersebut tampak percaya diri dapat merebut hati penonton Indonesia. Dengan bujet yang jika dirupiahkan mencapai hampir 150 miliar, didukung oleh gabungan bintang-bintang bule dan lokal, ada Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Uli Auliani, Verdi Solaiman, Mike Muliadro, Tio Pakusodewo, Rahayu Saraswati, lalu untuk memantapkan citarasa Holiwut-nya, diselipkan Kellan Lutz yang dikenal dari seri Twilight, dan Mickey Rourke (Iron Man 2). Well, saya akui di atas kertas “Java Heat” bisa saja menjadi film yang menjanjikan, setidaknya sih mengungguli film joint venture yang sudah-sudah. Tapi niat Conor dan Rob Allyn untuk membuat film action berlatar belakang Indonesia, khususnya tanah Jawa, Yogyakarta tepatnya, lagi-lagi tersandung oleh penyakit lama, filmnya tenggelam dalam ambisi berlebihan duo ayah dan anak. Potensinya disabotase sendiri oleh skripnya yang salah kaprah dan esekusi yang berantakan disana-sini. Sayang.

Yogyakarta diserang teroris!!!! bom bunuh diri tidak saja memporak-porandakan pesta amal yang dihadiri keluarga Keraton Yogya, tapi juga menewaskan Sultana (Atiqah Hasiholan), putri sang Sultan sekaligus pewaris tahta kerajaan. Di tengah murkanya rakyat yang kehilangan sang putri raja, simpang siurnya berita perihal siapa dalang di balik aksi terorisme, dan penyelidikan yang tidak kemana-mana alias buntu, seorang bule bernama Jake Travers (Kellan Lutz) mungkin menjadi satu-satunya titik terang yang akan mengungkap semuanya. Jake yang mengaku asisten dosen dan kebetulan ada di tempat kejadian, jadi satu-satunya saksi yang melihat tersangka bom bunuh diri, sekaligus dia pun dicurigai terlibat dalam aksi terorisme tersebut. Letnan Hashim (Ario Bayu), dari kesatuan Densus 88, makin menaruh curiga pada Jake ketika mobil yang mereka tumpangi diserang orang-orang bersenjata, Jake berhasil menyelamatkan Hashim, seorang asisten dosen bisa menembak seperti profesional, sungguh tidak mungkin. Hashim pun harus melakukan segala cara untuk membuka mulut Jake, mengetahui identitas aslinya sambil mencari petunjuk untuk menuntaskan kasus bom bunuh diri. Tapi makin ditelusuri, kasus tersebut bercabang semakin pelik dan berbahaya.

Ah, setidaknya “Java Heat” tidak membuat saya terlelap seperti ketika menonton “Dead Mine” yang super-membosankan. Conor Allyn masih mampu “bangunkan” saya beberapa kali dengan suara berisik tembak-tembakan, action memang jadi nyawa film ini. Kapan lagi bisa melihat orang berseragam pakaian adat Jawa, yah lengkap dengan blankon, menembakkan bazooka ke arah sebuah hotel, dibantu oleh iPad untuk mengunci target…agak mengada-ngada memang. Tapi terlepas dari kebodohannya, jika mencerna adegan tersebut tanpa logika, saya bisa bilang salah-satu momen terbaik film ini, adalah adegan penghancuran hotel itu. Untuk menikmati rentetan aksi dalam “Java Heat”, saya memang tak ingin terlalu serius, otak ditaruh jauh-jauh…namun terkadang adegan-adegan action di film ini tetap saja tersaji konyol, jika tidak ingin dibilang bodoh. Niat Conor Allyn menyajikan aksi yang “wah” selalu terpeleset dengan esekusinya yang ternyata membuatnya jadi sebaliknya, melempem dengan koreografi aksi yang tidak terkoordinir baik. Misalnya adegan penyerbuan ke sarang teroris yang justru malah terkesan lucu ketimbang menegangkan. Padahal jika mau, Conor Allyn bisa saja memanfaatkan setting perumahan padat penduduk yang sangat Indonesia banget itu, untuk aksi kejar-kejaran macam di film-film Bourne. Oh tunggu, saya ingat, ada adegan aksi kejar-kejaran macam itu disini, memanfaatkan gang-gang sempit dan melibatkan Kellan Lutz serta polisi-polisi yang mengejarnya, cukup seru, seingat saya.

Set-nya yang Indonesia banget itu memang jadi kelebihan “Java Heat”, orang bule yang bosan melihat Thailand mulu di film, mungkin akan bilang “waaaah! eksotik sekali” ketika menyaksikan rumah-rumah beratap genteng yang saling dempet satu sama lain, dengan dekorasi bermacam bentuk antena, belum lagi gang-gang-nya yang dihiasi tukang bakso, tukang pulsa, dan aneka tumbuhan berpot kaleng cat hahahaha. Tim artistik tahu benar bagaimana menyeting semua apa adanya, membuat penonton lokal, termasuk saya merasa seperti di rumah, dekat dengan setting-nya. Sayang, “Java Heat” tidak pintar memanfaatkan departemen artistik sebagai penopang sebuah sajian aksi yang lebih menarik dan greget. Begitupula ceritanya yang entah inginnya dibawa kemana, terlalu ambisius dan pretensius, semuanya mau dimasukkan, akhirnya justru membuat “Java Heat” kerepotan di penghujung cerita, yah salah-satu korbannya adalah ending-nya. “Java Heat” pun terlihat begitu memaksakan chemistry antara Ario Bayu dan Kellan Lutz, hasilnya niat ingin membangun sebuah buddy-cop movie yang solid pun agak berantakan, seperti joke-joke yang tak tepat sasaran dan jatuhnya justru garing. Semua target “Java Heat” tampaknya banyak yang meleset begitu film mencapai paruh kedua, aksi yang compang-camping dengan selipan drama yang tidak nge-blend, belum lagi diperparah oleh akting para pemainnya yang juga mengecewakan, bintang seperti Mickey Rourke yang aktingnya seperti orang yang kurang bayaran, terus pemain lainnya dibiarkan hanya numpang lewat. Hanya seorang Verdi Solaiman yang bisa memanfaatkan porsi tampilnya yang secuil itu, menarik perhatian, yah seperti biasanya. 98 menit yang cukup melelahkan, walaupun punya beberapa momen menyenangkan, “Java Heat” tak mampu memaksimalkan potensinya, yah film ini seharusnya bisa lebih baik…saya ingin menyukai “Java Heat”, tapi sulit.