Review Surat Kecil Untuk Tuhan

Gita Sesa Wanda Cantika atau akrab dipanggil dengan nama Keke, umurnya masih muda, 13 tahun, tapi dia harus menghadapi kenyataan hidup yang pahit, dokter memvonisnya menderita penyakit kanker langka, kanker jaringan lunak (Rhabdomyosarcoma). Kisah nyata perjuangan Keke untuk bertahan hidup pun akhirnya dilirik Agnes Davonar, yang kemudian semangat hidup Keke ditorehkan dalam sebuah tulisan, yang bisa dibaca secara online di blog Agnes. Karena banyaknya pembaca, maka tulisannya di blog dipindahkan dalam bentuk novel, lahirlah “Surat Kecil Untuk Tuhan” yang pertama kali terbit di tahun 2008. Melalui rumah produksi Skylar Pictures, novel tersebut akhirnya diangkat ke layar lebar, dengan judul yang sama, bangku sutradara pun dipercayakan kepada Harris Nizam, film ini merupakan debut pertamanya di dunia penyutradaraan. Sebagai Keke, dipilihlah Dinda Hauw, yang akan melakukan debutnya di dunia akting di film SKUT ini.

SKUT, Sebuah film yang mengusung tema drama ini sudah bisa ditebak, pastinya akan banyak menyiapkan adegan-adegan yang memaksa penontonnya untuk banjir air mata. Tapi membuat nangis saja tidak cukup, jika tidak dibarengi oleh cerita yang seharusnya juga bisa memaksa penontonnya untuk betah di dalam bioskop, tidak perlu terlalu banyak “ceramah”, tidak perlu punya beban ingin menginspirasi, semua itu bisa didapat jika saja cerita dengan sendirinya bisa menghibur hati penontonnya. SKUT sebetulnya memiliki jalan cerita yang menjanjikan, tapi saya akui agak “terpeleset” dalam memasukkan detil-detil yang sebetulnya diperlukan untuk menambah variasi cerita, well karena saya tidak membaca novelnya, saya tidak tahu apakah memang sudah dari sananya seperti itu atau film ini lebih mementingkan menceritakan bagian-bagian sedihnya saja, atau hubungan ayah-anak yang tampaknya berulang kali ditekankan kalau mereka begitu dekat.

Review Surat Kecil Untuk Tuhan

Membuat film terlalu cengeng memang tidak ada salahnya, tapi SKUT tampaknya lupa memberikan momen pemancing air mata tersebut untuk terlihat se-natural mungkin, tapi sebaliknya begitu kaku di beberapa bagian, khususnya adegan yang mengandalkan para pemain tambahan, ya sahabat-sahabat Keke misalnya. Detil-detil seperti inilah yang saya maksud di paragraf sebelumnya, oke disana terdapat air mata, tapi saya tidak merasakan emosi yang cukup untuk merangsang air mata saya sendiri untuk menetes, setidaknya sih membuat mata ini berkaca-kaca. Menggelikan kadang melihat bagaimana para sahabat Keke ketika mencoba menangis, berbarengan, kaku, dan terasa sekali dibuat-dibuatnya. Detil lain yang menurut saya “kabur” adalah dua orang kakak Keke yang perannya disini justru kurang maksimal, datang dan pergi, kadang diceritakan, kadang diacuhkan. Alhasil konflik yang dicoba dibangun dari masalah antara ayah Keke (Alex Komang) saya bisa katakan malah menjadi hambar. Anehnya yang justru sering terlihat di layar dan cukup menyita perhatian adalah supir pribadi keluarga, aktingnya cukup menghibur, perannya sudah jelas, di beberapa adegan dia “penyokong” momen-momen sedih dan lucu.

Punya kekurangan, SKUT juga memiliki kelebihan, saya begitu terkejut ketika melihat tata rias wajah Keke ketika kankernya mulai parah menyerang wajahnya, saya tidak akan menggambarkannya disini, karena tidak ingin mengurangi efek kejutan pada saat kalian melihatnya di bioskop. Hasil kreasi make up yang bisa dibilang tidak mengecewakan dan justru saya akui bagus sekali, jangan bayangkan riasan tempelan bedak, tisu, dan jeroan kambing di film-film horor idiot yah, karena jauh kualitasnya. Mungkin hasil make up tersebut akan sia-sia saja jika tidak didukung akting maksimal dari Dinda Hauw, yang di film ini harus merelakan rambutnya dipangkas habis sampai botak. Totalitasnya dalam debut film pertamanya ini sudah sepantasnya diacungi dua jempol, ditambah lagi dengan dibarengi performa yang bisa dibilang mumpuni. Sebagai Keke, Dinda mampu menarik simpatik penonton untuk terus mendukung tokoh utama sampai film selesai. Sayangnya sekali lagi pemain-pemain disekelilingnya tidak bermain sebaik dia. Alex Komang juga bermain biasa saja sebagai ayah Keke, tapi lebih baik ketimbang di “True Love”. Ranty Purnamasari yang berperan sebagai Ibu Keke bisa dibilang lumayan, memerankan peran Ibu yang emosinya selalu meluap-lupa, walaupun porsinya terbatas di film ini.

SKUT bukan persoalan bagaimana ending-nya, kita tahu apa yang akan terjadi dengan Keke pada akhirnya, namun bagaimana Harris Nizam mampu memindahkan kata demi kata di novel ke dalam jalinan cerita yang menarik. Sebetulnya untuk sebuah film drama, durasi 105 menit itu cukup pas, Harris Nizam pun bermain dalam tempo yang “aman”, tapi tetap saja saya merasa film ini agak membosankan dan pada saat film menginjak paruh pertama saya begitu sulit untuk menikmatinya, untungnya perubahan terjadi ketika saya diajak memasuki fase dimana cerita mulai menampilkan kondisi Keke yang mulai memburuk dan kisah inspiratif tentang semangat hidup pun dimulai. Gambaran Harris Nizam sebetulnya juga tidak se-inspiratif itu, tapi setidaknya bisa mengajak penonton untuk merasakan derita dan semangat Keke, itu pun lagi-lagi terbantu oleh akting Dinda Hauw yang cukup cemerlang. Jika saja film ini bisa membangun ceritanya dengan lebih alami, tidak terlalu banyak tangis yang menjadikannya film tercengeng tahun ini, lebih memperhatikan detil, dan musik pengiringnya dibuat lebih pas, mungkin saja SKUT jadi bisa lebih menarik lagi. “Surat Kecil Untuk Tuhan” tidak sebagus yang saya bayangkan, tapi masih layak tonton untuk melihat bagaimana totalitas Dinda Hauw bertransformasi menjadi Keke, bagi yang suka menangis di bioskop, film ini mungkin cocok.

Rating 2.5 Bintang