Music… is not the thing for competition, y’know? it’s for hitting on gal!! ~ Koong

Jika kita mengenal Thailand sebagai negeri penghasil film horor, selain Jepang dan juga Korea Selatan, termasuk satu studio bernama GTH yang kerap menelurkan horor-horor berkualitas macam “Shutter”, “Alone”, atau 2 film antologi horor “4bia” dan “Phobia 2”. Jangan kaget jika negara yang dikenal dengan sebutan negeri gajah putih ini juga jago membuat film-film diluar tema hantu-hantuan, di tahun 2003 Thailand memperkenalkan kita dengan jagoan mereka Tony Jaa yang sukses “menghajar” penonton dengan film bergenre action, “Ong-bak”, yang kemudian dilanjutkan dengan 2 film sekuelnya. Jika itu belum cukup, Thailand punya versi Tony Jaa berwujud perempuan, dia adalah Yanin “Jeeja” Vismistananda, yang kecakapannya dalam bertarung bisa disaksikkan dalam film “Chocolate” dan “Raging Phoenix”. Ok cukup dengan action, belakangan ini Thailand, khususnya GTH sepertinya sedang keasyikan dengan tema komedi romantis.

Tidak hanya laris di negeri sendiri, penonton Indonesia juga tampaknya sekarang tengah kecantol dengan film-film komedi romantis asal Thailand. Apalagi ditambah dengan status “krisis film” yang belum menampakkan kejelasan kapan akan berakhir. Ketika di salah-satu jaringan bioskop “terjebak” memutar film-film yang sudah basi (walau tidak semuanya film jelek) dan deretan film cacat berbau selangkangan yang datangnya dari film-film Indonesia yang hanya numpang lewat itu, kalian tahu film apa dan film siapa. Beruntung jaringan bioskop satunya, dengan cerdik melihat peluang untuk menggiring penonton yang “bosan”, dengan menayangkan film-film alternatif yang asalnya dari Asia. Film komedi romantis Thailand pun sepertinya sekarang-sekarang ini menjadi salah-satu menu utama, bagaimana tidak, semenjak “invasi” film-film komedi romantis Thailand, dengan tayangnya “Bangkok Traffic Love Story” dan “Hello Stranger” (yang berada di bawah bendera GTH). Promosi dari mulut ke mulut menjadi senjata andalan jitu yang menjadikan film-film rom-com (romantic comedy) ini begitu digemari dan meraih status primadona. “Little Comedian” dan “Crazy Little Thing called Love” pun kemudian ikut menyusul mempertahankan hype yang begitu manis, berikutnya ada “SuckSeed”.

“SuckSeed” (Huay Khan Thep) sendiri menyusul kawan-kawan satu genre-nya dengan menjadi film yang sukses bertengger di box office Thailand, bahkan 2 minggu setelah rilis, “SuckSeed” tetap bercokol di puncak sebelum akhirnya digeser oleh film kolosal Thailand “King Naresuan: Part Three”. Bercerita seputar masa-masa SMA yang penuh kecerian, persahabatan, cinta dan juga patah hati, “SuckSeed” akan mengisahkan trio anak-anak “tidak populer” terdiri dari Ped (Jirayu La-ongmanee), Koong (Patchara Jirathiwat) dan Ex (Thawat Pornrattanaprasert), yang memutuskan membentuk sebuah band rock bernama Koong and Friends. Tidak hanya memuaskan ambisi anak ABG yang ingin terkenal, sambil menyelam minum air, Ped dan teman-temannya juga berambisi untuk memancing perhatian cewek-cewek, khususnya Koong yang naksir dengan seorang cewek bernama Ern (Nattasha Nauljam). Koong yang punya saudara kembar, Kay, yang bermain gitar di band yang jauh lebih baik bernama The Arena ini, sayangnya tidak sadar jika sahabatnya Ped yang pemalu diam-diam juga menyukai Ern. Aksi perdana mereka pun sukses membuat sebuah acara anak-anak menjadi kacau dan membuat banyak anak kecil menangis, perjalanan band “Koong and Friends” dan persahabatan mereka pun nantinya tidak hanya diisi oleh kekonyolan tetapi juga terselip tangis.

Satu hal yang perlu diperhatikan, “SuckSeed” punya durasi yang bisa dibilang memakan waktu alias panjang, 130 menit, tetapi bagi yang sudah pernah menonton film bertema serupa, sepertinya sudah tidak kaget lagi, karena film-film bertema komedi romantis asal Thailand memang sudah terbiasa berdurasi cukup panjang. Sebetulnya tidak akan jadi masalah serius jika Chayanop Boonprakob, yang melakukan debut penyutradaraan dalam film ini, bisa menjaga saya untuk tetap “terjaga” melewati menit demi menit lika-liku kisah persahabatan Koong, Ped, dan Ex, band rock mereka, serta kisah cinta ketiganya dengan cewek yang mereka sukai. Ok nyatanya Chayanop lebih memilih melebarkan film pendeknya “Suck3/2Seed” menjadi 130 menit yang bisa dibilang mudah membuat saya cepat bosan. Dengan alur tidak cepat dan tidak juga lamban, cerita “SuckSeed” saya akui menjanjikan petualangan band rock SMA yang menyenangkan, itu terbukti di paruh awal film ini ketika “Koong and Friends” baru saja mulai melangkah.

Chayanop di paruh awal “SuckSeed” masih terlihat sanggup mengontrol filmnya untuk menarik, mengisinya dengan fakta-fakta betapa cupunya Koong dan bandnya. Kemudian sambil mengikuti perjalanan “Koong and Friends” yang berkerikil, Chayanop menambah humor-humor renyah yang gampang dicerna lalu ditertawakan, yah kira-kira satu jam di awal film saya masih bisa mendengar tawa saya sendiri. Lalu lama-lama karena komedi yang dihadirkan sudah bisa ditebak dan begitu-begitu saja, tawa itu mulai menghilang dari wajah, yah walau tidak sampai sepenuhnya hilang, karena “SuckSeed” masih punya momen-momen yang bisa dikatakan kocak. Sama halnya dengan komedinya yang makin lama menjadi membosankan, daya tarik cerita pun lambat laun mulai luntur ketika saya sepertinya dipaksa untuk menunggu karakter Ped mengutarakan isi hatinya dan dia masih saja tetap bungkam. Ped memang kenyataannya dibentuk untuk tidak selamanya diam, dan ketika mulutnya terbuka soal hati, disitulah Chayanop menambahkan konflik baru, setelah konflik-konflik menarik sebelumnya yang melibatkan persaingan band dan ketika Koong mengutarakan perasaannya kepada Ern.

“SuckSeed” tidak sepenuhnya payah dan Chayanop juga tetap bisa fokus pada plot utama dengan selingan pernak-pernik subplot tambahan, sayangnya cara film ini bercerita bisa dibilang terlalu melelahkan. Tapi “SuckSeed” masih memiliki hal-hal unik lainnya yang sanggup menonjol, setidaknya bisa menambal beberapa celah yang membuat film ini membosankan. Contohnya saja, selipan animasi-animasi kreatif ala “Scott Pilgrim vs. the World” dan yang paling unik adalah bagaimana film ini mengemas segmen musikalnya, tidak hanya menyajikan adegan yang diiringi lagu yang telah disiapkan, namun grup-grup musik yang mengisi soundtrack juga ikut muncul sebagai cameo, terutama vokalis dari masing-masing band, ditambah semua ditampilkan dengan konyol. Jika saja “SuckSeed” bisa lebih menekan durasi dan memadatkan cerita untuk tidak mengulur-ngulur terlalu lama, mungkin hasilnya bisa lebih baik. Apalagi “SuckSeed” didukung oleh bintang-bintang muda yang sanggup memberikan performa terbaiknya, termasuk soal bermain alat-alat musik, khususnya Nattasha Nauljam yang permainan gitarnya bak rocker sejati. Tapi sekali lagi “SuckSeed” tidak sepenuhnya “sucks” sebagai sebuah film hiburan.