Eternity, darkness, the black, they were only a piece of the complete puzzle ~ Wolves

Bermodalkan uang 150 ribu di dompet, saya pun berangkat ke GOR Bulungan, bukan untuk olahraga tetapi (akhirnya) menonton salah-satu band beraliran black metal favorit saya, “Marduk”. Sampai di tkp, saya sempet mencari-cari dimanakah gerangan mereka menjual tiket, maklum saya tidak sempat membeli tiket pre-sale jadi mengandalkan beli tiket di venue aja walau lebih mahal. Setelah bertanya sama anak metal junior (istilah apa ini?), maksudnya karena mereka masih smp, sepertinya lho ya, akhirnya saya berhasil menemukan tiket box *horaaay! saking senangnya sampai salah ngasih duit tiket. Tanpa basa-basi lagi, saya langsung masuk ke dalam, penjagaan tidak kalah ketat sama mal dan hotel, saya pun diperiksa (takut-takutnya bawa yang aneh-aneh) “maaf mas biasa hanya mengikuti prosedur” begitulah kira-kira saut orang yang memeriksa saya. “yah silahkan periksa aja mas, maaf-maafan nanti aja lebaran ya” saut saya dalam hati. GOR Bulungan kala itu masih belum terlalu penuh, jam menunjukkan angka 5 di handphone (saya tidak pakai jam), sekitar 500-an orang sepertinya sudah setia menunggu band utama yang akan manggung sambil dihibur oleh band-band pembuka yang tidak kalah metal.

Saya yang baru tiba di GOR Bulungan dan berada tidak jauh dari panggung langsung disambut oleh band black metal asal Singapura, Draconis Infernum. Band yang terdiri dari empat personil dengan dandanan serba hitam dan tidak ketinggalan corat-coret wajah tersebut menyambut para serdadu metal yang baru tiba dengan lagu-lagu gahar mereka, sambil sesekali menyapa penonton Jakarta dengan bahasa inggris. Okay! sebelum lanjut ke band pembuka berikutnya, MC mengumumkan acara akan break sebentar untuk mempersilahkan mereka yang ingin beribadah solat magrib. Hari semakin gelap, dingin, dan GOR Bulungan makin dipenuhi penonton yang didominasi kaos hitam-hitam, tepat di atas panggung, band asal Jakarta sudah bersiap memberikan “pemanasan” sebelum para penonton dibakar oleh Marduk. “Trauma” tanpa bertele-tele langsung menghajar dengan lima lagu andalan mereka, sontak penonton pun disihir untuk headbanging mengikuti iringan gahar sang gitaris, Hella Tanissan; teriakan sang vokalis, Nino Aspiranta; dan gebukan sangar Ramadhani Utomo pada drum.

Band death metal yang sudah merilis empat album tersebut pun sukses membuat saya dan para penonton di Bulungan Outdoor “gerah” semakin tidak sabar dihajar oleh Marduk. Tapi sebelumnya ada band asal Bandung yang menyusul jadi band pembuka, “Hellgods”. Abu Black Ash (Guitar, Vocal), Dedi (Bass), Hariz (Drum), Reza (Keyboard), dan Abah ‘Desecrator’ Supriyanto (Add. Lead Guitar) seakan menyihir penonton dan juga saya yang nyempil di depan kerumunan orang-orang “kesetanan”, dengan musik symphonic black metal mereka. Seperti tidak mau kalah mencuri perhatian dari band-band pembuka lain, Hellgods memainkan nomor-nomor gahar mereka dengan maksimal walau diawal sempat mengalami sedikit masalah teknis, namun secara keseluruhan permainan band yang juga apik ber-kosmetik-ria ini patut diacungi dua jempol dan menjadi band favorit saya pada hari itu selain tentu saja Mortuss dan kawan-kawan.

Semua band pembuka sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik, sekarang saatnya saya menunggu kemunculan Marduk dari balik panggung. Sambil menunggu persiapan setting peralatan dan tetek-bengek-nya, saya memutuskan untuk meladeni perut yang tampaknya juga tidak sabar untuk diisi. Yah mie rebus dan segelas es the manis dirasa sudah cukup dan saya kembali ke tengah kerumunan penonton, ternyata Marduk belum juga keluar memperlihatkan wajah-wajah seram mereka. Setelah menunggu belasan menit sambil duduk-duduk, akhirnya band yang dari sore saya tunggu pun muncul. Personil band asal Swedia ini satu persatu keluar dari belakang panggung, sang gitaris sekaligus pendiri band ini, Morgan “Evil” Steinmeyer Hakansson; lalu disusul Magnus “Devo” Andersson (Bass); Lars Broddesson (Drum); dan terakhir Daniel “Mortuus” Rosten, sang frontman anyar yang menggantikan Erik “Legion” Hagstedt yang hengkang dari band pada tahun 2003 silam. Dengan atribut serba hitam dan wajah yang dihias coretan hitam, dedengkot black metal ini pun langsung tanpa basa-basi menghajar penonton dengan lagu-lagu yang bertema satanic, kematian dan juga perang dunia ke-2.

Warga metal Jakarta sepertinya memang haus akan acara-acara “hitam” seperti ini, dan terima kasih untuk Pentia Quantum yang sekali lagi jadi oase di tengah keringnya event metal yang mendatangkan band-band metal dari luar negeri. Setelah September lalu saya di hibur oleh kedatangan dedengkot trash metal “Exodus” dan sayangnya melewatkan “Dying Fetus” (keduanya juga didatangkan oleh Pentia Quantum), beruntung kali ini saya bisa menyaksikkan dengan mata kepala saya sendiri dan mendengarkan sampai budek “Marduk” yang malam itu tampil membawakan sekitar 15 lagu. Penonton mengepalkan tangan mereka, moshing, dan headbanging menghiasi area konser yang sudah tertutup oleh sekitar 1500an orang. Lagu-lagu nan cadas seperti “Throne Of Rats” dari album ke-9 “Plague Angel”, lalu “Accuser”, “Baptism By Fire”, dan lagu-lagu hits mereka lainnya sukses membuat penonton di Bulungan Outdoor makin kesetanan.


http://twitter.com/#!/raditherapy/status/13947159867031552

Jika moshing dan headbanging belum cukup memberitahu jika penonton Indonesia itu memang gila (tidak kalah dengan penonton Marduk di belahan dunia lainnya), maka salah-satu penonton langsung mempertontonkan aksi akrobatik guling-guling dari depan hingga ke belakang, semoga Mortuss dan kawan-kawan melihat itu. Pusaran penonton yang menggila ditengah kerumunan pun tidak ada hentinya, moshpit kian membesar dan sesekali menyenggol sebagian penonton yang lebih memilih anteng menikmati Marduk di belakang mereka dan di sisi-sisi panggung. Tapi tidak ada yang tersinggung ataupun marah karena itu sudah jadi bagian konser metal itu sendiri, termasuk tertiban penonton yang melakukan body surfing. Selama saya menonton konser metal tidak ada tuh saya menemukan ada keributan, sekecil apapun, para penonton membaur saling sikut sampai berdarah pun masih tetap enjoy menikmati musik yang bagi sebagian orang berisik dan bukan musik. Begitu juga di Bulungan Outdoor pada malam itu, saya yang sesekali juga terkena senggolan orang “joget” hanya membalas dengan senyum lalu kembali fokus ke atas panggung menyaksikkan kebolehan Morgan bermain gitar.

Mendengar “Wolves” pada malam itu adalah berkah, yup akhirnya saya bisa bernyanyi lagu favorit saya dari album “Those of the Unlight” (1993) bersama dengan Mortuss, walau dalam hati inginnya melihat Legion yang berada di atas panggung memegang mic. Tapi sudahlah toh Marduk sudah berhasil membuat badan saya terasa remuk dan pita suara ini serasa ingin putus, kado termanis yang tak tergantikan. Band yang terbentuk pada tahun 1990 ini memang band tanpa basa-basi yang muncul tanpa salam, Mortuss pelit bercakap-cakap dengan penonton, dan terakhir meninggalkan penonton pun tanpa “encore” dan salam perpisahan. Walau sedikit dibuat anti-klimaks namun terima kasih Marduk sudah “membaptis” Jakarta pada malam itu dengan musik Black Metal negeri Skandinavia. Salut kepada Pentia Quantum yang sukses membawa Marduk keliling dari Makasar, Bali, Semarang, Surabaya, lalu akhirnya sampai ke Ibukota. Konser metal berlabel “Rockaholic 2010” itu pun ditutup dengan para panitia yang sibuk membereskan peralatan di atas panggung. Saya pun pulang dengan mandi keringat dan rasa puas.