He turned into a big fucking rat ~ Charlie

Ada pertanyaan yang mengganggu saya setelah selesai menonton film ini, apakah film ini termasuk ke dalam kategori film zombie? yah mungkin bagi sebagian orang pertanyaan tersebut sepele, tapi bagi saya justru terbawa sampai ke mimpi (maaf bila berlebihan). Tampaknya pemikiran lama tentang film zombie memang sudah harus bergeser diganti oleh paradigma baru zombie modern. Jika syarat-syarat film zombie itu masih berpegang pada manusia yang mati lalu bangkit dari kubur, maka film seperti “28 Weeks Later” tidak akan pernah bergabung ke dalam list film zombie terbaik saya donk, karena film tersebut tidak membutuhkan orang mati, namun orang hidup tergigit bahkan hanya terkena tetesan darah pun bisa terinsfeksi “virus gila” lalu akhirnya bermetamorfosis menjadi zombie. Proses perubahan menjadi “mayat hidup” pun sekarang cepat, yah secepat mereka yang sekarang diberi “berkah” untuk bisa berlari layaknya pelari olimpiade. Contohnya di film “Dawn of The Dead (2004)”, mereka yang tergigit sudah tidak punya harapan lagi, dalam hitungan jam mereka akan berubah menjadi mahkluk kelaparan tak berotak. Bandingkan dengan versi orisinal dari Romero yang masa “inkubasi”-nya perlu berhari-hari.

Lalu pertanyaan awal apakah “Mulberry Street” masuk ke dalam genre horor? itu sudah pasti, tapi apakah ia masuk ke dalam bagian film zombie? saya pun hanya mengangguk tanda setuju (sambil tersenyum). Sebenarnya tergantung kita mengambil dari sudut mana dan terserah kita mengkategorikan film zombie itu seperti apa, karena setiap orang punya pendapatnya masing-masing toh. Apalagi ketika saya dikejutkan oleh “[REC] 2” yang ternyata secepat itu berganti kelamin…maksud saya plot. Beberapa bulan lalu setelah saya menyaksikkan film tersebut saya langsung ragu untuk menyebutnya sebagai film zombie, tapi sekarang sepertinya saya akan ikhlas saja saat ada ada orang yang bertanya film zombie apa yang bagus? saya akan menyebut film sekuel asal Spanyol ini diantara film-film zombie lainnya. Sekarang yang ada di otak saya hanyalah bagaimana mahkluk-mahkluk ini bertingkah laku, tidak penting asal-usul virusnya (disebut atau tidak disebut), bagaimana rupa “ganteng” mereka, atau mereka gemar menggigit atau tidak. Sudah saatnya saya merangkul pemikiran baru untuk zombie modern dan tak usah lagi bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan “apakah ini film zombie”, jadi sekarang nikmati saja apa yang ada di filmnya…darah…isi perut…dan gore…diskusinya lanjut lagi nanti.

Judul film ini yang memang diambil dari nama jalan di daerah Manhattan mengajak kita mengunjungi para penghuni apartemen yang kelak akan “dikerjai” oleh Jim Mickle (sang sutradara). Kehidupan berjalan sangat normal pada hari itu, masing-masing New Yorkers punya aktivitasnya sendiri termasuk Clutch yang notabennya mantan petinju, melakukan aktivitas rutinnya yaitu memancing lalu diteruskan dengan lari pagi. Hari itu adalah hari yang paling spesial karena anak gadis satu-satunya Casey akan pulang dari tugasnya di Irak. Semua tidak menyadari jika sebentar lagi kekacauan akan “bertamu” datang dari gorong-gorong gelap, kotor, dan sangat bau, dibawa oleh tikus si binatang pengerat. Okay Manhattan sekarang resmi dikejutkan oleh tikus-tikus yang menyerang manusia, tidak hanya satu kasus tapi bertambah setiap detik-nya, pemerintah pun sepertinya kewalahan mengatasi masalah ini sampai harus menutup servis kereta bawah tanah. Mimpi buruk tidak berhenti sampai disitu, mereka yang tergigit ternyata lambat laun berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Clutch dan teman-teman satu apartemennya pun harus pasrah melihat orang yang mereka kenal berubah menjadi “rat-people”. Mereka harus selalu memegang “kunci” untuk bertahan hidup, yaitu jangan sampai tergigit, atau?

Film ini jelas tidak mendapat gelontoran dana yang sangat besar, bisa dilihat dari nuansa B-movie yang menyelimuti kemasan film ini. Namun bujet kecil tampaknya tidak jadi halangan bagi Jim Mickle untuk menyelesaikan “Mulberry Street” yang merupakan film keduanya setelah “The Underdogs” di tahun 2002. Sebaliknya Jim juga ternyata mampu menyuguhkan horor yang mumpuni dengan ide yang cukup menyegarkan, lewat naskah yang juga ditulis oleh Nick Damici (pemeran Clutch). 84 menit rasanya sudah cukup bagi Jim untuk bermain-main dengan warna-warna gelap, kamera yang bergerak-gerak, dan zombie-zombie bermuka tikus. Jim memang pintar untuk memaksimalkan semua sumber daya yang ada ketika filmnya punya bujet yang terbatas, make up misalnya, balutan luka dan permak zombie tikus tidak akan terlihat murahan atau palsu, karena film ini toh para zombie ini selalu beruntung berada di area gelap untuk menyembunyikan kekurangan yang ada. Corak gelap pada filmnya tidak hanya menguntungkan “this rat bastards” tapi ternyata tidak mengganggu keasyikan saya dalam menonton, justru membuat mood untuk menonton makin bertambah bersamaan dengan ketegangan yang kian memuncak.

Walau tidak se”meriah” film-film zombie seperti yang saya sebutkan diatas, setidaknya film ini tidak jatuh ke jurang yang isinya film-film busuk, atau menyaingi “Rise of the Dead” sebagai film ter-“masterpiece” versi saya. Semua yang tersaji serba terbatas ini toh akhirnya bisa menghibur, banyak hal yang bisa menjadi atraksi hiburan seru di film yang merupakan bagian dari 8 Films to Die For tahun 2007 ini. Zombie-zombie yang gesit memainkan perannya dengan baik sebagai pemacu adrenalin sekaligus sumber rasa ngeri lewat prilaku agresif dan nakalnya dalam memangsa korban-korbannya, cipratan darah dan ceceran daging pun jadi menu spesial ketika mereka mulai berulah. Jim juga mampu mengurung saya dengan porsi ketegangan yang pas, apalagi lewat serangan “claustrophobic” yang terus dilancarkan-nya, bayangkan saja diruangan apartemen yang sempit ditemani oleh moncong tikus. Jim mengemas ketegangan tersebut dengan tidak berlebihan, sederhana namun usahanya terasa lumayan “menampar”. Skenario pun bisa teresekusi baik dengan pernak-pernik pengambilan gambar yang tidak terlihat amatir.

Paket hiburan ini pun dilengkapi dengan akting Nick Damici yang juga terlibat dalam penulisan naskah, dia memerankan tokoh utama Clutch dengan performa pas, yang notabennya menjadi tokoh sentral yang menghubungkan kita dengan semua penghuni apartemen termasuk membawa kita ke suasana drama dan horor secara bersamaan. Lewat dirinya saya terasa ikut berdialog dengan sesama penghuni apartemen yang memang punya beragam sifat dan kelakuan. Bisa dibilang walau tidak menampilkan permainan akting yang “meriah”, setiap pemainnya bisa menyumbangkan porsi akting terbaiknya yang pada akhirnya bisa mendukung mood dan keseluruhan film untuk tidak lesu. Sebagai sosok horor yang berniat menampilkan sesuatu yang “fresh”, film ini seharusnya bisa tersaji lebih nikmat, lebih menakutkan, dan lebih “sakit”. Premis yang berkembang memang tidak terlalu mengecewakan, tapi seperti kekurangan bumbu “manis” di dalam racikannya. Lewat ending yang sangat tidak “Hollywood”, usaha Jim kali ini masih bisa saya acungi jempol.