“Sapa suru datang Jakarta… sapa suru datang Jakarta”, kalau saja Etty (Fitri Tropica) tidak tergiur bekerja di Jakarta dan tetap tinggal di Bandung, mungkin ia tak sampai perlu mengecap pahitnya dikhianati. Tapi mungkin sudah jalannya begitu, jika Etty tidak ke Jakarta, apa iya ia bisa jadi Etty yang kita lihat di akhir cerita? setiap orang punya takdirnya masing-masing, berikut juga ujiannya. Etty adalah perempuan yang ulet, tidak pernah kehabisan akal, dan pantang menyerah, sedari kecil bakat untuk survive sudah ada dalam diri Etty. Dari berjualan bekalnya sendiri agar bisa punya uang untuk jajan pas SD, bekerja di event organizer acara-acara metal, sampai pada akhirnya jadi karyawan paling berprestasi di kantornya. Etty kemudian punya satu kesempatan untuk lebih bersinar lagi, ketika bosnya merekomendasikan Etty untuk bergabung di kantor pusat di Jakarta. Kesempatan itu tidak disia-siakan, sayangnya orang tua Etty baru mengijinkan anak mereka pindah ke Jakarta apabila Etty sudah punya suami alias menikah dulu. Untungnya seperti sudah siap sedia, ada Riky (Yogi Finanda), teman sejak kecil Etty yang ternyata memendam rasa selama ini, akhirnya mereka menikah. Pengantin baru pun pindah ke Jakarta, Riky mendapat pekerjaan baru dan Etty bekerja di perusahaan yang diinginkan. Semua seperti sebuah happy ending, tapi cerita Etty baru saja di mulai, babak baru kehidupannya baru saja akan memunculkan berbagai kepahitan, ujian dan rintangan. Siapkah Etty?

“Berlian Si Etty” memakai template yang entah sudah dipakai berapa kali oleh tidak saja film Indonesia, tapi juga FTV, tentang dari hero jadi zero, dari something terus mendadak nothing, untuk kemudian cerita punya alasan untuk memasukkan sebuah plot kebangkitan untuk menjadi something (lagi). Klise? “Berlian Si Etty” saya akui memang klise tapi bukan itu yang menjadi alasan kenapa saya kemudian bilang “ah basi, membosankan!”, melainkan kemasan film ini yang rasa-rasanya seperti sebuah seminar motivasi. Walau terganggu kartu parkir saya yang hilang entah kemana dan pada akhirnya agak acuh dengan beberapa menit awal “Berlian Si Etty”, saya belum menemukan kartu parkir tersebut, masa bodoh dan kemudian memilih untuk duduk tidak peduli dengan si kartu bodoh. Akhirnya saya bisa menikmati film secara utuh, dan “Berlian Si Etty” cukup menyenangkan untuk ditonton, awalnya. Sebuah sajian ringan yang sejak saya duduk, arahnya sudah bisa tertebak mau dibawa kemana, ah selama film ini masih bisa menghibur saya, saya akan pura-pura bodoh tidak sadar jika template-nya memang sudah agak kadaluarsa. Paruh pertamanya yang khusus dijadikan ajang perkenalan dengan tokoh Etty, memberikan saya cukup waktu agar bisa “klik” dengan si tokoh utama, satu-satunya alasan yang bisa membuat saya bisa klik dengan keseluruhan filmnya yang memang berfokus pada Etty. Jika saya tidak peduli pada Etty, saya tidak lagi punya alasan untuk menonton film ini, simple.

Saya tidak buru-buru keluar bioskop, itu tandanya saya peduli dengan Etty, tapi tak terlalu suka dengan kesuluruhan “Berlian Si Etty”, yang sejujurnya seperti sedang menghadiri seminar motivasi yang membosankan. Oke, menyampaikan nilai-nilai positif kehidupan itu jelas saya dukung, dan menyempilkan pesan-pesan kebaikan dalam film itu tidak salah, sah-sah saja. Namun “Berlian Si Etty” sayangnya terkesan memberikan terlalu banyak ruang untuk “berceramah”, yang pada akhirnya justru menyempitkan ruang bagi saya untuk menikmati sebuah film, sebuah cerita. Disana ada konflik, tapi karena sudah banyak durasi yang diambil film ini untuk ceramah motivasi, konflik itu pun tersaji ala-kadarnya, bermain “aman” untuk tidak mencoba sesuatu yang baru, dan malas untuk setidaknya mengembangkan konflik yang ada menjadi lebih menarik lagi. Bukan berarti konflik tersebut membuat si tokoh utama jadi bulan-bulanan bad luck, beruntung juga “Berlian Si Etty” tidak jatuh berguling-guling ke dasar film-film yang doyan menimpa sang tokoh utama dengan tangga dan menceburkannya ke got, kemudian dibiarkan tertabrak truk penyedot kotoran. Yah, “Berlian Si Etty” tidak sampai segitu hina dalam mempermainkan konflik dan tokoh utamanya, namun tidak ada sesuatu yang gregetnya sanggup membuat mood ini tak tertidur pulas, yup, kok perasaan saya datar-datar saja selama film bergulir.

Selalu ada waktu untuk memotivasi penonton, tapi “Berlian Si Etty” malah kok tidak punya waktu untuk filmnya sendiri, untuk memotivasi cerita agar lebih berjalan apa adanya tanpa dipaksa dijejalkan berbagai petuah-petuah kebaikan. Akhirnya, lihat saja film ini terasa hampa begitu kita melihat karakter-karakter lain, yang peranan di film seperti hanya numpang lewat saja. Kalau giliran pas menyampaikan “pesan moral”, “Berlian Si Etty” jagonya, tapi ketika sampai giliran untuk disuruh hadirkan interaksi antar karakter, yah seadanya saja. Saya peduli pada Etty, tapi film ini tidak peduli pada chemistry yang harusnya ada antara Etty dengan suaminya, Etty dengan sahabat-sahabatnya, satu-satunya interaksi yang asyik hanya ketika Etty dalam satu layar dengan orang tuanya. Jadi ketika tiba waktunya konflik pecah antara suaminya dan sahabatnya, saya tidak merasakan apa-apa, datar saja. Beda ketika konflik Etty melibatkan orang tua, ada rasa “tidak nyaman” yang bergelut di dalam. Fitri Tropica sudah memerankan Etty dengan baik, dalam porsinya saat harus ber-drama-drama dan sekaligus melontarkan banyolan, saya tertawa kok pas porsi komedinya mulai beraksi dan kembali akan manyun pada saat film ini balik bersiap-siap mau ceramah lagi. Saya lega ketika akhirnya lampu bioskop menyala, tidak saja karena “Berlian Si Etty” berarti sudah selesai menceramahi saya, tapi saya bisa mencari si kartu parkir yang hilang tersebut. Senang karena kartunya ketemu, tapi sayang “Berlian Si Etty” tidak membuat saya keluar dengan senyum, untuk film yang menyantumkan sebuah desain judul yang kreatif, saya tidak menemukan hal baru dan asyik untuk dibawa pulang… saya tidak menemukan “berlian” di film ini.