Saya bukanlah pembaca buku yang jadi sumber cerita dari Teman Tapi Menikah, sebetulnya tidak juga menyukai tema yang dihadirkan oleh drama cinta garapan Rako Prijanto, orang yang bertanggung jawab bikin Dian Sastro klepek-klepek di Ada Apa Dengan Cinta? (2002). Motivasi saya untuk pada akhirnya pergi menaiki ojek online ke bioskop daerah Kalibata, hanya karena digerakkan oleh penasaran semata, membaca testimoni media sosial orang-orang yang sudah menontonnya. Reviewer –reviewer film panutan saya menulis Teman Tapi Menikah bagus, gemas dan cute, berbagai pujaan serta respon positif tersebut kemudian menjadi alasan utama saya, okay saya memutuskan untuk menonton Teman Tapi Menikah. Saya tidak berekspektasi macam-macam, modal yang sama seperti saat membeli tiket Love For Sale (2018). Lalu apakah saya dibuat kecewa? Tidak juga—saya malah puas sudah menyuapi rasa penasaran di awal, meyakinkan diri sendiri kalau film yang dibintangi Adipati Dolken dan Vanesha Prescilla ini memang tak cocok, jadi saya tidak akan menyalahkan Teman Tapi Menikah ataupun menuntut meminta uang 50 ribu dikembalikan karena menyesal.

Ukuran cute orang nyatanya berbeda-beda, Teman Tapi Menikah berhasil banyak menghipnotis penontonnya hingga menyebutnya menggemaskan, tapi saya yang duduk di kursi B9 justru tak bergeming dan beberapa kali merasa mual. Apakah saya normal? Hahahahaha. Saya sekali lagi tidak akan menyalahkan filmnya atau akting Adipati Dolken dan Vanesha Prescilla yang pada akhirnya gagal membuat saya menaruh rasa care kepada hubungan mereka. Semua balik pada selera, saya mungkin memang tidak cocok dengan gaya penceritaan yang disodorkan Teman Tapi Menikah, percintaan berbunga-bunga yang dihiasi dialog-dialog puitis yang menjijikan. Lagipula saya tidak melihat (atau saya buta) ada yang istimewa dari formula percintaan Ditto dan Ayu, bukankah sudah sering film-film lokal sejenis membahas ribuan kisah friendzone dan turunannya. Untungnya, Rako setidaknya mampu mengarahkan Adipati dan Vanesha untuk bermain klop-apa-adanya, dan karena chemistry keduanya inilah, saya kemudian memilih untuk stay lebih lama hingga end-credit menggulung. Teman Tapi Menikah punya dua karakter dengan interaksi yang menarik disimak hingga selesai.

Teman Tapi Menikah serasa hanya milik Ayu dan Ditto, jadi saya tidak heran jika kemudian karakter-karakter lain dianggap numpang lewat seperlunya. Keluarga, teman, bahkan pacar dimunculkan sebentar-sebentar lalu hilang, maklum durasi sudah disesakkan oleh adegan-adegan yang difungsikan untuk membuat momen gemas yang saling bertumpuk. Alih-alih gemas, saya justru geram melihat Teman Tapi Menikah yang mengabaikan banyak detil, tidak saja dalam soal menghantar rasa yakin kalau Ditto dan Ayu itu saling menyukai, tapi juga saat bicarakan soal tata produksinya yang menyepelekan hal kecil, seperti talkshow bersama dengan Sarah Sechan yang punya desain logo ala kadarnya itu. Dibalik sinematografinya yang cukup apik bermain tone dan mood, bertaburan gambar-gambar yang sedap dipandang dan memanjakan mata, sangat disayangkan Teman Tapi Menikah tak bijak mengorbankan sesuatu yang kecil karena dianggap (mungkin) tidak terlalu penting. Saya sedang tidak mencari-cari kesalahan, hanya ingin menyampaikan apa yang saya rasakan selama menunggu Ditto mengungkapkan perasaan sayang kepada Ayu alias Ucha, sahabatnya sendiri.

Rasa geram saya memuncak tatkala Teman Tapi Menikah semakin terasa diburu-buru, perpindahan adegan ke adegannya begitu cepat berlalu tanpa punya niatan untuk membuat saya lebih peduli pada status friendzone Ditto. Baru punya vespa, kok tiba-tiba sudah naik mobil lagi, begitu mudahnya Teman Tapi Menikah untuk memamerkan keberhasilan-keberhasilan Ditto. Alih-alih dibuat lebih dekat, saya justru kian berjarak, padahal pada paruh awal yang diporsikan untuk perkenalan kisah persahabatan Ditto dan Ayu, bagian itu tidak saja menarik, tapi juga sukses membuat saya cepat akrab dengan tingkah laku mereka yang geblek. Adipati dan Vanesha bisa dikatakan menyelamatkan Teman Tapi Menikah, kompaknya akting keduanya menciptakan jembatan chemistry yang cukup kokoh. Sungguh sayang, mereka malah diceburkan ke dalam adukan formula romansa menggelikan yang pendekatannya terasa dipaksakan, demi menghasilkan beraneka momen-momen (yang katanya) manis menggemaskan. Penantian Ditto selama 12 tahun tersebut tampaknya sia-sia, meski Teman Tapi Menikah berakhir bahagia, konklusinya tak tinggalkan bekas apa-apa selain kehampaan.