Membayangkan apa jadinya apabila A Quiet Place disutradarai oleh Yosep Anggi Noen, bukan John Krasinski, mungkin Emily Blunt akan dipaksa untuk beradegan jongkok bergelap-gelapan sambil menahan prat-pret-prot, lalu berbisik “bau tai”, karena takut kepergok aparat, eh maksudnya alien dari gua hantu. A Quiet Place, tidak saja hadirkan sekarung momen mendebarkan yang bakal membuat mereka yang menonton meremas-remas-greget tempat duduk, tetapi juga memunculkan segunung pertanyaan di kepala. Salah-satu yang paling mengganggu pikiran gue adalah berapa banyak orang yang mati karena tak sengaja kentut brat-bret-brot? Yah, detil yang tampaknya sengaja disepelekan, ditinggal tanpa ada niatan untuk menjelaskan. Lagipula batasan durasi sudah disesakan oleh adegan-adegan yang lebih penting ketimbang persoalan kentut, gue maklumi itu, meskipun penasaran bagaimana keluarga Abbott menyamarkan bunyi kentutnya agar tidak terdeteksi kuping makhluk luar bumi yang sekelebat mengingatkan gue dengan Cloverfield. Apakah mereka menemukan cara menyamarkan suara buang angin supaya amat sangat silent, jawabannya masih jadi misteri.

Selama 90 menit, fokus A Quiet Place terkunci untuk menjabarkan beraneka cara bertahan hidup yang dilakukan oleh keluarga Abbott, dari menaburkan sekarung pasir di jalan setapak hingga makan sehari-hari beralaskan dedaunan. Sejak awal film yang diproduseri juga oleh Michael Bay ini memang serius dalam urusannya menyertakan detil-detil kecil yang menarik. Berbagai detil yang nantinya penting dalam peranannya menopang aksi-aksi survival yang lebih besar dan intens. Yah, kepedulian A Quiet Place terhadap detil tidak saja menambahkan dosis keseruan ke dalam formula penceritaannya yang berdiri di atas pondasi premis sederhana, tapi juga membantu penontonnya untuk mengerti apa yang sedang terjadi tanpa harus dicekoki penjelasan panjang lebar dalam bentuk percakapan. Kekaguman gue dengan detil di A Quiet Place dibarengi juga kemunculan tanda tanya sebesar tanaman jagung, berapa banyak orang yang terbunuh karena tak sengaja bersin? Bagaimana keluarga Abbott bisa menahan untuk tidak bersin? Apa mereka akan buru-buru ngibrit ke basement ketika ingin bersin, atau saat tidak tahan lagi mau kentut—jawabannya jadi misteri tersendiri.

Terlepas misteri yang belum terkuak soal kentut dan bersin, A Quiet Place punya banyak atraksi yang bakal membuat mulut gue seakan ikut terbungkam, momen-momen dimana gue diseret paksa untuk tak saja merasakan ketegangan tapi juga terlibat secara emosional. Rancangan teror di A Quiet Place tidak akan berfungsi semaksimal yang John Krasinski inginkan, apabila dia sebelumnya mengabaikan karakter-karakternya. Gue bisa saja tidak peduli sedikitpun dengan Emily Blunt, tapi Krasinski ternyata peduli untuk memberi cukup ruang bagi gue untuk kenal dengan keluarga Abbott, termasuk dengan anak-anaknya, membangun semacam ikatan batin dengan mereka. Pendekatan Krasinski tersebut pada akhirnya tidak saja membuat gue terikat secara sinematik dengan nasib keluarga Abbott, tetapi juga membantu A Quiet Place dalam upayanya membangun teror invasi makhluk yang diceritakan peka terhadap bebunyian ini. Gue sebetulnya tidak ingin spoiler tapi untuk menunjukkan betapa berhasilnya Krasinski merekatkan koneksi batin tersebut, gue sampe terpancing emosi berkata “anjing” saat A Quiet Place dengan bangsatnya mematikan salah-satu karakternya.

Memang sudah saatnya Michael Bay bersama Platinum Dunes-nya berhenti bikin horor remake, toh melalui A Quiet Place ini rumah produksi berlogo padang pasir tersebut membuktikan mampu menghasilkan tontonan horor yang tidak sekedar original tetapi juga laku di pasaran. Meski plotnya agak-agak menggelikan, harus diakui A Quiet Place tahu bagaimana cara menciptakan rasa berdebar-debar yang menyenangkan. Memanfaatkan detil-detil yang sebelumnya sudah disebar, tanpa terburu-buru, teror yang dibangun Krasinski kemudian menerjang tepat sasaran ke jantung, memompa adrenalin sekaligus menguras pasokan oksigen. Krasinski tak hanya memaksa gue untuk sekedar menonton sebuah thriller yang berisikan aksi-aksi menegangkan tiada habis di setiap detiknya, tapi juga memberikan kita sebuah pengalaman sinema yang cukup unik dengan konsep cerdik. A Quiet Place bisa dikatakan berimbang ketika menjejalkan gue dengan “kebodohan” sekaligus keseruan, terornya berhasil menginvasi bangku penonton, ketegangannya bikin gue (hanya bisa) menjerit “anjing” dan “tai” dalam hati. Dag-dig-dug itu bertahan lama hingga gue keluar dari bioskop.