Iyah, 2016 memang tahun yang begitu memanjakan para penggemar horor, tapi secara bersamaan juga menyedihkan ketika melirik film horor lokal yang seakan terkubur hingga tak terdengar jeritannya lagi. Kuantitas belum mati, kualitasnya itu yang sakaratul maut, membuat saya melambai-lambaikan tangan dan enggan buang uang 30 ribu lagi. Cukup melihat posternya saja, gairah untuk ditakuti pun sekejap hilang berganti mual. Butuh keberanian untuk menonton film-film horor berotak undur-undur, dengan alasan kesehatan saya memilih mundur. Beda saat masih jaman jahiliyah, saya bisa telan semua film horor yang sedang tayang, dari yang normal sampai film yang diperuntukan untuk non-manusia. Saya tentu saja senang kedatangan film-film horor impor kece, tetapi jauh lebih bahagia apabila produk bangsa sendiri bisa memperbaiki kualitas horornya. Harapan itu untung belum padam, masih ada Danur-nya Awi Suryadi dan kabarnya Monty Tiwa juga akan menggarap adaptasi Keluarga Tak Kasat Mata, tampak menjanjikan. Sambil menanti keduanya, Rumah Malaikat duluan menyapa, salah-satu film horor lokal yang berpotensi kembalikan senyum saya.

Rumah Malaikat sendiri merupakan nama panti asuhan yang dikepalai Ibu Maria (Roweina Umbon), yang menampung anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Dari luar semua tampak normal, tidak ada yang aneh kecuali Bi Arum (Dayu Wiyanto) yang terlihat galak dan misterius. Namun semua berubah sejak kedatangan Alex (Mentari De Marelle), rahasia kelam di panti tersebut mulai terkuak satu-persatu termasuk kabar adanya penghuni tak kasat mata. Alex yang tak percaya dedemit, awalnya menganggap “gangguan” yang muncul adalah hasil keisengan anak-anak panti saja, karena mereka tidak suka dengan kehadiran Alex yang menggantikan guru lama. Kejadian demi kejadian janggal pun bergantian datang, ditambah ada penampakan anak bertopeng yang kian sering “menggoda” Alex. Lama-kelamaan keyakinan bahwa hantu itu tidak ada pun goyah, dan Alex meyakini ada yang tak beres terjadi di Rumah Malaikat. Bicara tata produksi dan bagian artistik, film ini sekali lagi membuktikan, Billy Christian memang tahu bagaimana menampilkan horornya untuk sedap ditonton. Tak hanya cantik, Rumah Malaikat juga memiliki konsep serta ide yang bisa disebut menarik.

Mari kesampingkan dulu penuturan ceritanya, saya mau membahas kemunculan hantu. Daya tarik terkuat Rumah Malaikat adalah hantu-hantunya yang tidak asal desain dan tak sembarangan nongol. Billy menterjemahkan dengan baik gambar-gambar sketsa Ezra dan kawan-kawan menjadi bentuk yang sederhana sekaligus juga seram-manis ketika ditampilkan di layar. Begitupula pada saat tiba waktu si hantu-hantu lucu ini menampakkan dirinya, “taik!” itulah respon saya. Saya suka cara Billy merancang penampakan, contohnya: kaki-kaki mungil di kolong meja (mereka yang sudah menonton pasti tahu adegan tersebut). Kesannya sederhana tapi efektif dalam menciptakan kejutan dan berlanjut timbulkan rasa penasaran. Saya menikmati momen-momen kemunculan anak-anak setan ini, termasuk kala Alex “diganggu” hanya bermodalkan kain putih, sebuah trik yang bisa dikatakan tidak murahan. Alangkah bijaksananya apabila Billy bisa mengurangi sedikit saja jumlah jump scares, khususnya pada paruh pertamanya. Toh, saya pikir kualitas penampakan Billy sudah baik, tidak perlu memaksa setiap saat harus bikin orang terkaget-kaget, ujung-ujungnya malah overdosis.

Porsi jump scares yang berlebihan di paruh pertama Rumah Malaikat berdampak langsung pada makin sempitnya ruang penceritaan dan pengenalan karakternya. Durasi dihabiskan untuk ajang narsis Ezra dan teman-temannya, sedangkan saya tidak diberi kesempatan untuk peduli dengan karakter yang dimainkan Mentari De Marelle. Di paruh kedua, intensitas penampakan memang berkurang, ada niat untuk setidaknya menyampaikan cerita. Alex akhirnya diberi kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak dengan karakter lainnya: anak panti, Ibu Maria, dan Bi Arum. Interaksi yang kemudian cukup membantu bangunan misteri dan menjaga rasa penasaran penonton untuk tetap terkurung, selagi Rumah Malaikat bersiap melepas sisa-sisa penampakannya. Nah, di penghujung durasi sayangnya semua tampak ingin diselesaikan dengan terburu-buru, plotnya terasa kabur, belum lagi motif si karakter antagonis yang diberikan penjelasan ala kadarnya. Sebenarnya kekurangan di Rumah Malaikat termaafkan, kecuali konklusinya yang terlalu menggelikan untuk diampuni.