Saya tidak bisa membayangkan jika suatu hari zombie outbreak itu benar-benar terjadi di kehidupan nyata, tapi setidaknya dari sekian banyak tontonan bertema zombie yang selama ini saya santap, dari Dawn of the Dead sampai La Horde, saya mendapat pengetahuan berharga tentang bagaimana selamat dari sebuah zombie apocalypse yang sesungguhnya. Rangkumannya bisa dilihat di Zombieland, Jesse Eisenberg punya kira-kira 33 aturan yang harus dipatuhi, seperti menjauhi toilet umum, jangan sok jadi pahlawan, dan rajin olahraga dari sekarang. Digigit mayat hidup memang mengerikan, tapi film-film zombie kebanyakan juga mengajarkan manusia yang tidak terinfeksi justru malah lebih mengerikan, George Romero di film-filmnya sering menyelipkan pesan satir tersebut. Selain sisi hiburan melihat kepala meledak berantakan, isi perut yang berhamburan, dan bagian tubuh yang terbelah layaknya sobekan roti tawar, sisi yang “menyentil” perilaku manusianya memang selalu menarik sebagai bahan renungan, kedua sisi yang jadi alasan saya menyukai film zombie.
Saya menyukai film zombie minimalis macam Pontypool dan Rammbock, dengan bujet terbatas, Bruce McDonald dan Marvin Kren membuktikan mereka mampu memuntahkan tontonan yang begitu menggiurkan (walau dana ketat), sekaligus menyenangkan terutama bagi mereka penggemar film zombie. Tidak semua film jombi-jombian dengan kemasan indie dan berskala kecil-kecilan itu sampah, ada beberapa yang justru tidak main-main dalam pembuatannya, Deadgirl misalnya. Sejujurnya saya mendambakan akan ada lagi film zombie berbujet blockbuster, dengan skala outbreak menggila yang membuat celana basah. Sejak World War Z arahan Marc Forster di tahun 2013 silam, tampaknya Hollywood tak lagi tertarik memproduksi film zombie bermodal raksasa. Well, sambil menunggu sekuelnya yang konon (rumornya) akan disutradarai David Fincher (whoa!), Train to Busan lebih dulu mengabulkan permohonan kecil saya, gamsahabnida Korea. Film yang diperankan oleh Gong Yoo—sekilas mengingatkan saya dengan Deva Mahenra—bakal seperti penggambaran kekacauan World War Z apabila terjadi di rangkaian gerbong kereta berkecepatan tinggi.
Mengisahkan Bapak dan anak perempuannya yang terjebak zombie outbreak dan harus bertahan hidup menghadapi jombi-jombi di kereta yang seharusnya bakal mengantar mereka ke Busan, film garapan Yeon Sang-ho ini tampak seperti tidak punya waktu untuk berbasa-basi-ria dan menyia-nyiakan durasinya. Tak sampai 30 menit (kurang lebih), setelah dirasa cukup untuk memperkenalkan karakter-karakternya, Train to Busan kemudian mulai mempercepat laju penceritaan dan tensi ketegangan ikut dipompa naik bersamaan dengan tergigitnya petugas oleh salah satu penumpang yang sudah terinfeksi. Tidak butuh waktu lama, kengerian langsung menyebar dari gerbong yang satu ke gerbong berikutnya. Yeon Sang-ho mendesain kekacauan sebuah outbreak dengan amat terencana, hasilnya adalah ketegangan maksimal yang terasa mengasyikkan. Saya tidak terkejut jika negeri ginseng pada akhirnya mempertontonkan film zombie yang segila Train to Busan, karena untuk urusan formula thriller yang seru mereka memang jagonya.
Train to Busan, tak sekedar mengangkut ketegangan dalam gerbong-gerbongnya, film Korea tidak bisa disebut “film Korea” jika belum menyusupkan drama yang sanggup mengobrak-abrik emosi penontonnya. Korea memang punya gaya khas yang membuat film horor ataupun thriller-nya berbeda dengan kebanyakan film sejenis dari negara lain. Di tengah rangkaian gerbong yang kacau dan berantakan Yeon Sang-ho tidak ketinggalan menyelipkan adegan-adegan yang bisa dibilang lebih “horor” dari penampakan zombie-zombie beringas nan ganas dalam kereta. Porsi drama tersebut—walaupun agak menyek-menyek untuk selera saya—jadi semacam penghubung yang dibutuhkan sebagai pengikat chemistry, kita tak saja diajak bersenang-senang melihat penumpang kereta berjibaku melawan zombie, tapi juga dibuat peduli dengan karakter-karakternya sampai credit menggulung. Train to Busan memberikan pengalaman jalan-jalan naik kereta yang menegangkan dan mengerikan, tontonan film zombie berskala gila-gilaan yang sudah lama saya idam-idamkan.
simpleaja
aku nonton film ini malah gregetan di beberapa scene yang kaku dan dipaksakan…
OuTbreak
Film ini sedikit banyak mengambil unsur plot manga I am a Hero nya Kengo Hanazawa, beberapa karakternya juga mirip.
Spoiler: Kemungkinan besar nanti baby-nya (di train to busan masih fetus) partially infected, well, kalau film bener2 bulet ngambil alur ceritanya I am Hero, si Gong Yoo disuruh ngambil keputusan hidup-matinya si baby, bakal cut off atau dibiarkan hidup.
Anonymous
Lah orang Gong Yoo nya mati, gmn bs ngambil keputusan -_- Udah nonton belum ya mbz? Kalo belum nonton, pinter banget bilang “sedikit banyak ngambil plot manga X”
hanazawa kengo
yg 1 belum nonton full film train to busan, yg 1 lagi belum baca full manga i am a hero.. jelas busan pake ide2 dari manga i am a hero, dari mulai chaos di kereta, konsep ucapan ngaco sebelum jadi zombie, ngelindungi tangan dari gigitan zombie, pengumuman supaya tetap di dalam rumah dan jangan mudah percaya rumor yang beredar, harapan survivor bahwa militer di satu kawasan bisa nolong ternyata sebaliknya, dll kalau baca dulu full baru kemudian nonton full, kerasa terlalu kental kemiripannya. overall i am a hero manga menurut gue bernilai 9, i am a hero movie nya 6.5.. bagi gue train to busan nilai 7.. kalau gue belum pernah baca i am a hero full mungkin busan bernilai 8.5, berhubung gue hafal banget manga i am a hero (karena termasuk manga paling berkesan bagi gue). walau MUNGKIN “terinspirasi dari manga i am a hero”, salut buat director train to busan.
Hilman
kapan nih sekuelnya rilis?
hanazawa kengo aiamuahiro
kita lihat sekuelnya orisinil atau masih “terinspirasi dari manga i am a hero (aiamuahiro) nya kengo hanazawa” .. menanti ..
andyhardiyanti
Nonton ini karena banyak yang komen situasi di Wuhan sekarang macam film Train to Busan aja, ada juga yang komen mirip film The Flu. Kemarin baru beres nonton Train to Busan yang pertama, sekuelnya belum, The Flu apalagi.
Bagus sih filmnya. Tapi kok malah bikin saya kangen nonton World War Z lagi. Jadi ceritanya saya teringat kayaknya pernah deh nonton film zombie gitu, tapi lupa judul filmnya. Ingatnya ya ada scene salah satu negara yang sudah siap dengan tembok besarnya dan merasa aman dari serangan zombie. Terus nanya ke suami dong, dijawablah kalau itu World War Z.
Tadaaaa.. habis itu saya langsung nonton World War Z. Bukannya nonton sekuel Train to Busan atau The Flu. Wkwkw. Ya ampun ni komen panjang amat ya.
BTW, salam kenal. Tulisannya bagus lho~
Firman Syah
Setuju. Walaupun film dengan “jombi-jombi an” sebagai garis besarnya, film negeri ginseng ini gak lupa juga dengan bumbu drama nya. Setiap death scene yang menurut sebagian audiens klise, i think it has something moral value in it yang dikemas secara speechless.
no name
lha wong bagus banget tauk