Seperti Mama (2013), Lights Out juga sama-sama lahir dari sebuah film pendek, David F. Sandberg punya pekerjaan rumah yang bisa dibilang tidak mudah untuk melebarkan materi yang dia miliki di film yang hanya berdurasi 3 menit, menjadi 80 menit. Tak mungkin Lights Out hanya akan mempertontonkan Teresa Palmer yang terus menyalakan dan mematikan lampu sepanjang film, kan. Walau David memang akan memasukkan ide dasar “dedemit yang terlihat jika tidak terpapar oleh cahaya” tersebut ke dalam filmnya. Belum lagi David tampaknya akan putar otak menyiasati bagaimana gaya menakuti-nakuti yang biasa ditampilkan di film pendeknya, agar bisa tampil efektif untuk film dengan durasi yang lebih panjang. Upaya si “Ponysmasher” untuk mempresentasikan film horor yang layak disebut “horor” tidaklah sia-sia, tingkat seram Lights Out memang tak sampai membuat penontonnya baca ayat kursi, tapi setidaknya saya bisa menikmati cara menakuti yang dibangun David, beserta kejutan-kejutan seru yang sudah disiapkan.

Sepeninggal sang Ayah, Rebecca (Palmer) tidak lagi akur dengan Ibunya (Maria Bello), bahkan tinggal terpisah sendirian di sebuah apartemen sederhana dengan berhiaskan poster Slayer dan Avenged Sevenfold di dindingnya. Jika saja bukan karena ingin menolong Adiknya (Gabriel Bateman) yang diganggu penampakan, Rebecca mungkin tidak akan pernah kembali ke rumah dan bertemu Ibunya lagi. “Sesuatu” yang hanya terlihat jika lampu padam tersebut akhirnya juga meneror Rebecca, dan belakangan diketahui kehadiran makhluk gaib ini ternyata terkait dengan masa lalu kelam Ibunya. Lights Out mengawali paruh pertamanya dengan percaya diri dan tanpa hambatan, plotnya bergerak mulus dan di tengah usaha si David untuk membangun atmosfir, dia sesekali juga tergiur menggoda penonton dengan melepaskan beberapa jump scare yang (untungnya) efektif. Sambil asyik bercerita dan membuat saya terkoneksi dengan karakter di film, David juga perkenalkan sosok pengganggu yang bentuknya cukup mengerikan.

Untuk urusan menakuti, saya cukup menikmati trik demi trik yang ditawarkan di Lights Out, walaupun sebagian adegan horornya ditopang oleh cara-cara nakutin yang tidak lagi baru. Berbekal dedemit item yang doyan gelap-gelapan, David tak hanya menghabiskan durasi film dengan penampakan yang tiba-tiba, tetapi juga peduli untuk membuat penontonnya merasakan nuansa cekam dengan atmosfir yang dibangun tepat. Didukung momen yang pas, segala jump scare pun akhirnya berhasil menyelesaikan misinya dengan baik, yaitu mengejutkan penonton, atau setidaknya membuat mereka yang biasa main handphone selama di bioskop lupa sama gadget-nya, karena kedua tangannya lebih sibuk menutup wajah. Bagi yang sudah terbiasa menonton film-film pendek David, pastinya akan familiar dengan ciri khususnya menciptakan “boo!” yang akan bertebaran di Lights Out, termasuk dukungan teknis pencahayaan remang-remang yang kelihatan artistik sekaligus juga menambahkan dosis cekam dalam setiap upaya David hadirkan horor.

Bagian horor tersaji menyenangkan, Lights Out juga beruntung punya sutradara yang memperlakukan sisi ceritanya sama baiknya, membuat saya peduli dengan karakter-karakternya, dan menghadirkan drama yang tidak murahan. Walaupun ada beberapa bagian di paruh kedua yang terlihat menggelikan, harus saya akui David menuturkan kisah teror dedemit item dengan cara yang mengasikkan. Yah saya memang berharap kadar seramnya bisa lebih menakutkan, namun apa yang sudah dipertontonkan oleh David sudah cukup menghibur. Horor yang andalkan atmosfirnya untuk merangsang primal fear yang dimiliki penontonnya dan tidak melulu bergantung pada penampakan berisik bertubi-tubi untuk ciptakan takut. Saya selalu menyukai film horor yang memilih untuk memakai efek praktikal dan sebisa mungkin menghindari penggunaan dempulan CGI, David melakukannya di Lights Out, hasilnya penampakan-penampakannya tidak cheap sekaligus terasa lebih meyakinkan, membuat saya lebih ikhlas untuk ditakuti.