Menghadirkan sesuatu yang berbeda untuk film Indonesia memang butuh nyali, walaupun nantinya 3 Srikandi kembali mengandalkan wajah-wajah lama, seperti Bunga Citra Lestari, Chelsea Islan, Tara Basro dan lagi-lagi Reza Rahadian, tetapi setidaknya film garapan Iman Brotoseno—yang skripnya dikarang oleh Swastika Nohara—ini mengusung sebuah tema yang segar, panahan, dikemas dengan gaya biopik ringan. Kita sudah sering dipertontonkan aksi menendang bola ke gawang di film-film Indonesia, ada Hari Ini Pasti Menang, Tendangan dari Langit, Garuda di Dadaku, dan Cahaya dari Timur: Beta Maluku yang di 2014 silam sukses dapat penghargaan film terbaik FFI. Di 3 Srikandi, pendekatan “dari bukan siapa-siapa menjadi sosok pahlawan” kembali diterapkan, bedanya kali ini perjuangan tidak lagi menyorot sebuah tim sepakbola melainkan trio atlit panahan yang mewakili Indonesia di Olimpiade 1988. Kisah Yana, Lilies dan Kusuma dalam mewujudkan impian, bersama pelatih mereka yang gila, Bang Pandi.

Merekrut BCL, Chelsea Islan, Tara Basro dan Reza untuk bergabung di 3 Srikandi, jelas merupakan langkah yang sangat tepat, tidak peduli saya kemudian melihat Reza lagi untuk yang ketiga kalinya tahun ini setelah Talak 3, My Stupid Boss dan Rudy Habibie. Memilih Reza bukan hanya perkara dia memiliki basis penggemar banyak atau mengikuti syarat: jika film mau laris “wajib” pakai Reza. Alasan yang paling sederhana adalah kualitas akting seorang Reza Rahadian, di 3 Srikandi dia sekali lagi menjawab pertanyaan “kenapa Reza lagi Reza lagi?” dengan tunjukkan kelasnya dalam dunia seni peran. Penampilan gemilang yang selalu ditampilkan Reza di setiap filmnya, termasuk di 3 Srikandi sebagai Robin Hood-nya Indonesia yang galak, memang jadi daya pikat tersendiri yang membuat Reza ditaksir oleh banyak produser. Maka wajar berbekal talenta yang luar biasa tersebut, film-film Indonesia mengantri untuk mendapatkan nama Reza terpampang di poster, siapa sih yang tidak mau filmnya dibintangi langganan pemenang FFI.

Namun 3 Srikandi tidak hanya milik Reza Rahadian, disana masih ada Tara Basro dan BCL, bersama dengan Chelsea Islan ketiganya memperlihatkan kekompakan sekaligus performa akting yang sukses membuat karakter tiga srikandi menjadi amat mudah untuk disukai. Kita tidak saja dibuat kagum pada bagaimana Bunga, Tara dan Chelsea mampu menghayati peran masing-masing, tetapi juga skripnya yang memposisikan mereka masih terlihat seperti manusia biasa, tak sempurna dan tidak berlebihan. Kolaborasi akting dan skrip yang baik kemudian hasilkan karakter-karakter yang membuat saya tidak saja menonton, tapi ikut merasakan, saya jadi ikut peduli dengan perjuangan Yana, Lilies dan Kusuma. 3 Srikandi jadi panggung yang mengembalikan ketertarikan saya pada Chelsea Islan. Berperan sebagai Lilies yang enerjik, karakter tersebut tidak hanya cocok dimainkan oleh Chelsea tapi juga memberikan nyawa dan tawa pada film yang awalnya saya kira bakal dipresentasikan serius. Boleh dibilang, inilah penampilan terbaik Chelsea.

Didukung tata produksi yang begitu apik, sinematografi pun cantik, serta scoring dan pemilihan lagu soundtrack yang asyik, saya akan mengangguk jika ada yang menyebut 3 Srikandi adalah film yang juara, dengan banyak kelebihan mulai dari sisi teknis hingga pengembangan ceritanya. Saya menikmati penuturan kisahnya yang bergulir selama dua jam, walaupun tidak semulus wajah Chelsea Islan. Poin kurangnya tetap ada, apalagi ketika durasi mulai mendekati paruh akhir, momen dimana saya seharusnya ikut bersorak mengepalkan tangan tinggi-tinggi ke atas dan berteriak “Indonesia!” tidak terjadi. Klimaks terasa tidak maksimal, padahal bangunan ketegangan kala anak panah milik Yana, Lilies dan Kusuma melesat ke target, sudah cukup menarik dengan tensi yang dibuat perlahan meninggi, tetapi saya seperti tidak diikutsertakan ke dalam pertandingan. Catatan kecil yang bisa diperbaiki di film-film yang mengusung tema serupa nantinya, 3 Srikandi tetap film juara dan salah-satu tontonan yang menyenangkan tahun ini.