Saya bukan orang yang anti sama film romansa Indonesia, barangkali umur saya memang sudah tidak cocok dengan kebanyakan film cinta-cintaan yang kemarin-kemarin rilis. Saya memilih tidak menonton London Love Story, alasannya karena sasaran film yang dibintangi Michelle Ziudith tersebut memang ditujukan untuk penonton yang lebih muda (bukan “remaja” tua seperti saya). Saya sudah pernah mencoba Magic Hour, dan jujur saya hanya kuat menonton setengah film saja. So, film romansa itu sama seperti orang berpacaran, butuh kecocokan. Buat apa saya paksa-paksa menonton, kalau hanya berujung mendapat secarik kertas berisikan resep dokter. Di tengah ramainya film romansa remaja yang formulanya hampir mirip-mirip, kalau tidak masalah rebutan gebetan, diselingkuhi sahabat sendiri, atau kisah kasih yang bertepuk sebelah tangan, sinema Indonesia bisa dikatakan darurat film romansa berstatus dewasa. Maksudnya bukan yang tiap lima menit sekali buka-bukaan terus main tidur-tiduran. Akan tetapi film romansa yang plot dan konfliknya lebih berbelit, mendalam, dan dengan konklusi yang tidak instan.

Mereka yang belum mengenal kerasnya hidup, mungkin akan lebih memilih film-film romansa remaja berkonten ringan, untungnya masih ada Kapan Kawin? dan Test Pack untuk saya. Lucunya, Raksasa Dari Jogja seperti sebuah gabungan dari keduanya, formula film remaja yang penuturannya lebih dewasa ketimbang film-film sejenis. Monty Tiwa seperti memperlakukan film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Dwitasari ini layaknya dia mengarahkan film–film cinta dengan target penonton sudah berumur. Konsep tersebut tampaknya membuat saya kemudian merasa cocok dengan Raksasa Dari Jogja, walaupun cerita ringan dan masih tetap klise ala film-film romansa remaja pada umumnya, tetapi Monty mampu mengemasnya untuk terlihat apa adanya dan bahkan terasa realistis, tak romantis yang terlalu berbunga-bunga ataupun manis yang malah bikin kita jadi kena penyakit diabetes. Penceritaan Raksasa Dari Jogja pun tidak melulu berseri-seri penuh dengan kisah percintaan, kisah keluarga yang cukup kelam pun nanti akan membuntuti kemanapun Bian (Karina Salim) melangkahkan kakinya.

Ada latar pahit dibalik wajah manis Bian, yang sejak kecil hidup dalam bayangan kekerasan Papanya (Ray Sahetapy). Tak tahan lagi, Bian pun pergi meninggalkan kemewahan di Jakarta dan mengungsi ke rumah Budenya (Dewi Irawan) di kota Jogja. Di kampus, cewek mungil ini lebih banyak diam dan menutup diri, sampai pada akhirnya dia bertemu dengan Gabriel (Abrar Adrian), si raksasa yang bakal membuat Bian kembali tersenyum. Saya cukup menikmati Raksasa Dari Jogja di paruh awal adalah pertanda bagus, karena kemudian saya peduli menghabiskan sisa durasinya dengan ikhlas dan senyum. Keistimewaan Raksasa Dari Jogja saya akui bukan berasal dari cerita, tapi justru pada karakter-karakternya, bagaimana Monty memperlakukan karakter, bukan sebagai patung seperti buatan Bian, tapi menampilkan mereka sebagai manusia yang bernyawa. Cerita yang terlihat biasa akhirnya menjadi semakin menarik untuk disimak hingga durasinya habis, tidak hanya alasan penuturan kisahnya yang mengalir dengan asyik, tetapi juga karena tiap penokohan yang dimainkan apik oleh para pemainnya, khususnya karakter Bian yang dimainkan gemilang oleh Karina Salim. Dari berakting canggung saat bertemu Gabriel, hingga nantinya saya melihat seorang Karina Salim yang sangat berbeda ketika tiba waktunya untuk murka.

Raksasa Dari Jogja tak pernah memaksa penontonnya untuk menyukai karakter-karakternya, kita dibuat peduli dengan sendirinya. Begitupula ketika Bian dan si “monster” dimunculkan berduaan, mereka romantis apa adanya, tidak ada kesan palsu dalam hubungan keduanya. Keromantisan yang diracik dengan rasa sangat pas, tidak kelewat manis ataupun diramaikan oleh dialog-dialog puitis murahan. Kecanggungan yang diperlihatkan oleh Bian dan Gabriel tak sekedar menggelitik, lucu dan menggemaskan, tapi juga turut membantu bangunan chemistry diantara mereka berdua. Saya tidak berharap Raksasa Dari Jogja untuk jadi kisah romansa yang dalam, sekali lagi filmnya menyesuaikan target penonton remaja yang tidak butuh cerita yang berat, tapi setidaknya Monty sudah menyajikannya untuk bisa dinikmati orang seperti saya, yang sebetulnya sangat alergi dengan film romansa yang penuh gombalan berbusa-busa. Raksasa Dari Jogja adalah tontonan hiburan berhati, menghadirkan sudut-sudut kota Jogja yang dimanfaatkan dengan sangat baik untuk mempercantik visualnya sekaligus menambahkan rasa romantis.