Buat elo yang suka sama Kung Fury, kemungkinan besar bakal sangat menyukai Turbo Kid bikinan trio orang-orang sinting, Francois Simard, Anouk Whissell dan Yoann-Karl Whissell ini. Film konyol-konyolan-goblok-goblokan yang punya satu misi, yakni bikin penontonnya ngomong “taik” di akhir pelem. Sebuah tontonan liar, bahkan super-liar, yang ngajak elo berpetualang tanpa perlu banyak aktifitas mikir. Lempar jauh logika dan istirahatkan otak, karena elo nga butuh otak sama logika untuk menikmati Turbo Kid. Film yang kayaknya bikin seorang Nishimura tersenyum lebar di Jepang sana, sampe nelpon sohibnya, Noboru Iguchi dan Tak Sakaguchi, “Bro! ada film keren bingitz nih lo harus nonton!”. Sebagai orang yang ngaku penggemar film yang isinya kepala benyek-muncrat, Turbo Kid jelas kayak ngasih gw sepiring bakwan jagung, filmnya emang cocok sejak awal. Apalagi nih film dibalut tembang synthwave/retrowawe yang aduhai menemani aksi si Turbo Kid ngelawan penguasa jahat bernama Zeus dan antek-anteknya. Klo elo pecinta Dance with the Dead atau Perturbator, kuping elo bakal terhibur oleh Turbo Kid.

Turbo Kid itu jenis film penyeimbang, dalam artian gw nga akan melulu nontonin film mega-blockbuster macam Star Wars: The Force Awakens, atau film-film kelas Oscar kaya The Revenant, sesekali gw juga butuh film “goblok” yang punya niatan murni untuk gila-gilaan. Karena ada waktunya gw bakal berada di titik jenuh dan bosan sama film-film superhero-nya Marvel, adakalanya gw juga males nontonin film serius yang ngajak mikir dari awal sampai akhir, dan saat gw juga lagi engga mau lihat film yang berstatus arthouse, gw akan lebih milih untuk duduk manis menikmati tontonan yang disodorkan film macam Turbo Kid. Walau gw nyebutin Turbo Kid itu film goblok-goblokan, tapi Francois, Anouk dan Yoann tidak sedang membuat film ngasal, terlepas konsepnya yang nga normal, pengerjaan terbilang sangat serius untuk membangun dunia Turbo Kid jadi tempat yang meyakinkan sekaligus juga menyenangkan. Lihat saja setting-nya, sebuah “wastelands”, dunia post-apocalyptic ala filmnya George Miller tapi dengan bujet yang amat terbatas. Makanya Turbo Kid punya ide jenius untuk mengimbangi bujet tersebut, alih-alih pakai mobil modifikasi kayak Mad Max: Fury Road, film ini milih sepeda BMX.

Yoi, jadi Turbo Kid nantinya akan memanfaatkan banyak aksi pakai sepeda BMX, termasuk kejar-kejaran seru ala film Mad Max tapi nga pake kendaraan berbahan bakar bensin, melainkan bertenaga kaki orang alias gowesan. Aksi-aksi ini nanti punya latar belakang yang tak kalah keren dengan film-film bermodal gede, detil pemandangannya yang memanfaatkan teknik matte painting terlihat memukau, dipadukan dengan lingkungan beneran yang sudah dikreasikan sedemikian rupa untuk terlihat post-apocalyptic (banyak tengkorak dan barang rongsokan), tidak berlebihan tetapi tetap menghasilkan rasa sinematik yang bikin gw jilat-jilat bola mata sendiri. Dari penataan visualnya saja Turbo Kid sudah tidak lagi main-main, maka ketika Francois, Anouk dan Yoann mulai beraksi menghancur-hancurkan kepala dan mengeluarkan isi perut orang, gw hanya bisa bengong terkesima dan berteriak “ini film anjing banget!!!” sambil tepuk tangan kegirangan kaya sedang nonton sirkus gajah. Klo kata anak sekarang sih “pecah banget!” (gw nga pernah ngerti kenapa bisa pake kata pecah buat bilang sesuatu itu rame), Turbo Kid tahu bagaimana caranya menggenjot adrenalin gw melesat kencang kaya lagi menaiki sepeda dari turunan yang curam, walau nyemplung kali, gw tetap nyengir hepi.

Sebetulnya gw nga akan terkejut klo Turbo Kid bakal nyumpal mata pake adegan yang tak terpuji, badan kebelah-belah jadi tiga bagian, kepala orang buntung dan benyek kaya burger kena lindes angkot. Ekspektasi gw sejak awal emang ngarah kesana, apalagi gambar-gambar promo dan trailer-nya berlebihan ngeliatin yang begituan, apaan yang begituan? pokoknya pemandangan berdarah-darah biadab yang bikin film Deadpool jadi kayak kartun Upin Ipin. Kebrutalannya tidak ngasal hanya kelihatan sadis, tapi seperti dikoreografikan dengan “cantik”, jadi beragam adegan kematian yang memang mengandung level kekerasan yang ekstrim serta gore beraneka rasa tersebut, mampu tampil maksimum menyodok-nyodok otak penontonnya. Brutal sekaligus memorable. Tapi yang paling membuat gw kaget, Turbo Kid ternyata masih menyisakan ruang untuk hati. Ada chemistry yang amat manis antara Munro Chambers dan Laurence Leboeuf, yang membuat gw peduli sama mereka berdua. Di tengah gambar-gambar yang mengumbar darah, kepala muncrat dan isi perut kemana-mana, Turbo Kid juga memperlihatkan isi hatinya, bisa menyentuh ketika mata gw dihibur oleh kebrutalannya yang ngehe.