Larasati (Julie Estelle) terbang ke Praha, memenuhi permintaan terakhir Ibunya, seperti yang tertulis di sepucuk surat wasiat. Di tempat yang jauh dari tanah air, Laras diberikan amanah untuk mengantarkan sebuah kotak dan surat, ada nama Mahdi Jayasri (Tio Pakusadewo) tertera di amplopnya, nama yang asing yang tak pernah dia kenal. Laras hanya tahu satu hal, ia harus mendapatkan tanda tangan pria yang biasa dipanggil Jaya tersebut, barulah ia bisa menerima warisan. Laras punya banyak masalah dan warisan Ibunya bisa sangat membantu. Tapi rencana Laras untuk mendapat tanda tangan dan langsung pulang ternyata tak semudah itu, Jaya tak mau berikan tanda tangannya, menolak kotak dan surat yang sudah Laras bawa jauh-jauh dari Indonesia ke kota yang letaknya di Eropa Timur sana. Surat Dari Praha dibuka dengan begitu menarik, bukan hanya karena setting-nya yang mengambil lokasi di salah-satu kota paling indah, tetapi bagaimana seorang Angga Dwimas Sasongko mampu menggiring saya untuk langsung fokus ke Jaya dan Laras, hingga saya lupa sedang berada di Praha. Kalaupun judulnya berganti jadi Surat dari Linkoping, dan Laras pergi ke Swedia bukannya ke Republik Ceko, saya yakin kisah Jaya dan Laras bakal tetap terlihat sama menariknya.

Hanya saja takdir membawa Laras ke Praha, bukan ke Warsawa atau Stockholm. Dimanapun nantinya penonton diajak berlabuh, toh kita hanya ingin melihat dua sosok yang diawal saling ngotot karena urusan tanda tangan dan kotak kayu. Ini bukan film yang ngajak kita jalan-jalan, lihat pemandangan-pemandangan cantik terus meninggalkan karakter-karakternya berlumut tak terjamah oleh film. Surat Dari Praha tidak seperti itu, Angga sedari menit awal justru ingin mengajak saya mengenal lebih jauh siapa Jaya dan Laras. Skripnya sudah susah payah memberi latar belakang dan kisah yang menarik pada karakter-karakternya, mubazir jika penonton tak dibiarkan untuk menelusuri cerita mereka. Karakternya yang akan jadi obyek “jalan-jalan”, kita dituntun untuk melihat Jaya dan Laras dibalik sikap keras dan egois mereka, kita diajak untuk menelusuri tiap jengkal masa lalu. Jaya yang “terbuang” ke negeri orang karena dulu menolak Soeharto dan diberi label “kiri”, tak saja harus rela kehilangan hidupnya tapi juga cinta. Laras yang tersesat selepas tersakiti, sedang berusaha kembali percaya dengan yang namanya cinta sejati. Pertemuan Jaya dan Laras di Praha bisa dibilang puitis, iyah puitis.

Apa yang dilihat dan apa yang saya rasakan, keduanya kompak berteriak “indah” karena Surat Dari Praha memang indah, seperti cinta yang katanya indah. Walau di dalamnya ada kisah sakit hati, kenangan pahit, dan masa lalu yang getir, pada akhirnya cinta yang akan menyembuhkan sakit, mengobati yang terluka dan juga menghapus kegetiran. Surat Dari Praha adalah film cinta ala Angga, dan di setiap film cinta buatannya, entah itu nantinya ada obrolan tentang kopi ataupun orde baru, Angga selalu mampu menyampaikan rasa. Tak sekedar jadi pencerita yang baik, tapi juga membuat saya yang duduk menonton dapat ikut merasakan, nyeri yang dirasakan Jaya dan bahagianya Laras saat melihat Jaya memainkan lagunya. Rasa itu dibiarkan tumbuh, perlahan membentuk chemistry yang teramat manis, kita bisa merasakan ikatan tersebut. Surat Dari Praha tak pernah memaksa, kita sepertinya dibuat untuk ikhlas terikat dengan kedua karakternya, dua karakter yang tidak saja terlihat menyatu dengan cerita, tapi juga tempat dimana mereka berpijak, apartemen, bar, teater, taman, bahkan jalanan kota Praha.

Kita melihat Jaya tak lagi sebagai seorang turis yang baru kemarin tiba di Praha, tapi orang yang sudah lama tinggal disana, berpuluh tahun. Kita bisa merasakan dari bagaimana dia berinteraksi dengan sekitar, dengan tempat yang biasa Jaya kunjungi, dengan orang-orang yang dikenalnya. Rasa begitu penting, Angga tahu itu, tanpa rasa Surat Dari Praha memang masih bisa bicara panjang lebar tentang cinta, tapi kemungkinan hanya jadi cerita romansa yang kosong. Penyutradaraan Angga memang istimewa, tuturnya tak kemana-mana, walaupun ia bicara politik tapi tak terkesan “teriak-teriak” yang justru malah menutupi apa yang sejak awal ingin disampaikan. Obrolan politik dan sejarah kelam hanya bagian dari cerita si Jaya, cerita yang tak lengkap, toh Jaya sendiri sudah melupakan, dia sudah ikhlas. Semua terungkit lagi karena Laras tiba-tiba muncul di kehidupannya. Saat bicara cinta, Surat Dari Praha pun tidak “bawel”, terkadang dilagukan, sesekali diwakili dentingan piano, atau hanya tatapan dan raut wajah yang apa adanya. Tetapi kita tahu, Surat Dari Praha dengan bahasanya yang sederhana sedang ingin utarakan cinta. Julie dan Tio mengutarakannya dengan mempesona, kita dibuat jatuh cinta dengan mereka, jatuh cinta dengan Surat Dari Praha. Indah, istimewa dan mengesankan!