Jika Trick ‘r Treat-nya Michael Dougherty meminjam perayaan Halloween untuk dijadikan latar belakang cerita horor antologi, A Christmas Horror Story nantinya mencoba mendongengkan kisah yang tak kalah mengerikan, bedanya ber-setting malam Natal yang seharusnya penuh kegembiraan. William Shatner, yup Kapten Kirk jadi DJ di sebuah stasiun radio lokal setelah gantung setir kapal Enterprise, membawakan acara spesial Natal untuk para pendengarnya di kota kecil Bailey Downs. Selagi asyik memutar lagu-lagu Natal yang ceria, di luar sana “keceriaan” lain baru memulai kisahnya. Sekelompok remaja membobol masuk ke bangunan sekolah mereka untuk menyelidiki kasus pembunuhan aneh yang terjadi setahun lalu. Di tempat lain, sepasang suami istri menemukan bahwa anak mereka yang sempat hilang di hutan, sekarang berperilaku aneh seperti bukan dirinya. Pindah ke lokasi berkutnya, satu keluarga sedang dihadapkan dengan mimpi yang amat buruk, ketika mereka tanpa sadar membangkitkan mahkluk bernama Krampus. Terakhir kita juga akan diajak berkunjung ke kediaman Santa Klaus yang tengah dilanda zombie outbreak, para elf yang awalnya bekerja membantu Santa untuk menyiapkan kado Natal, sekarang justru berbalik menyerang membabi-buta.

A Christmas Horror Story, seperti kebanyakan film horor antologi lainnya, punya satu masalah ketika membawakan banyak kisah dalam satu wadah, kadang tidak semua cerita dihadirkan dalam kualitas yang seimbang, keasyikannya tidak rata terbagi dalam setiap segmennya. Walau nantinya akan ada segmen yang terlihat kurang menarik ketimbang segmen lain, harus saya akui film horor yang digarap keroyokan oleh Grant Harvey, Steven Hoban dan Brett Sullivan ini punya konsep yang tidak biasa. Jika diibaratkan sebuah kado Natal, A Christmas Horror Story ini hadir lebih awal dengan beragam hadiah yang tentu saja menyenangkan, apalagi untuk mereka yang mendambakan sajian horor antologi yang lengkap. Dari kisah yang menyodorkan hantu-hantuan, sampai segmen yang mengajak penontonnya untuk gila-gilaan bersama serombongan zombie berbentuk mini. Saya menyukai bagaimana A Christmas Horror Story menarasikan ceritanya, walau punya empat kisah yang diceritakan berbarengan, tapi setiap segmennya tidak terkesan saling tumpang tindih. Porsinya seimbang dan masing-masing segmen punya trik-trik tersendiri dalam upayanya membangun atmosfer dan teror yang cukup efektif.

Segmen “Ada Hantu di Sekolah” (judul hasil karangan sendiri) mungkin jadi yang paling lemah jika dibandingkan dengan segmen lain, tapi penyampaian horornya harus diakui lumayan membuat bulu kuduk berdiri sejenak. Trik menakut-nakuti sederhana yang nantinya dilepas perlahan-lahan membuat segmen yang satu ini masih tetap punya daya tariknya, dan asyik untuk diikuti hingga misteri terkuak. Sedangkan untuk segmen “Jangan Bikin Krampus Marah”, keunikannya terletak pada desain sang mahkluk yang terkenal suka menghukum anak-anak bandel ini. Penampakannya begitu mengerikan dengan tanduk dombanya yang besar, perut kotak-kotak (mungkin sering nge-gym), dan senjata rantai berkait runcing yang siap merobek kulit dan mengoyak daging para korbannya. Cukup mengasyikkan ketika melihat Krampus mulai beraksi mengejar-ngejar mereka yang punya dosa, walaupun sekecil mencuri korek gas. Gedung DPR mungkin harusnya dijaga oleh Krampus, supaya orang-orang terhormat yang katanya wakil rakyat tersebut tak ada yang berani korupsi, nyolong uang rakyat yah siap-siap dimakan Krampus.

Segmen “Santa vs. Zombie” bisa dibilang tak saja yang paling gila tapi juga favorit saya dari kesemua segmen yang dihadirkan oleh A Christmas Horror Story. Begitu mengasyikkan ketika melihat Santa mengayunkan tongkatnya ke kepala elf yang sudah berubah jadi mayat hidup bergigi tajam. Santa tak lagi digambarkan orang tua berjanggut putih nan baik hati yang suka berbagi hadiah, di film ini kita akan dipertontonkan sosok Santa yang badass, layaknya gabungan Danny Trejo di film Machete dan Rutger Hauer di Hobo with a Shotgun. Segmen terakhir yang bakal saya bahas adalah “Oh Mama, Oh Papa” (makin ngaco karangannya), kisah paling mencekam dari keseluruhan antologi A Christmas Horror Story. Segmen satu ini tak hanya pandai memanfaatkan dongeng tentang mahkluk berjuluk changeling, tapi tahu bagaimana membangun rasa cekam sekaligus pelan-pelan menebarkan terornya. Walau rupanya yang seram tak pernah diperlihatkan, tapi saya sukses dibuat merinding hanya dengan menyaksikkan prilaku si anak yang creepy serta aneh, apalagi ketika memamerkan senyumnya. A Christmas Horror Story, walau masih punya kekurangan di setiap segmen ceritanya, tetapi masih bisa dikatakan sebuah horor antologi yang menghibur sekaligus juga menyenangkan.