Kapan terakhir gw kesel pas nonton film horor? pertanyaan itu langsung muncul seketika setelah “Goodnight Mommy” menyudahi kengeheannya. Well, menonton “Demona” juga bikin kesel sih hahahaha, tapi bukan kesel kayak gitu maksudnya, bukan kesel karena filmnya bego. Film arahan Veronika Franz dan Severin Fiala ini tipikal film horor yang sanggup bikin gw pengen banget banting-banting DVD player sama TV-nya, ngelempar tempat tidur dan nonjokin tembok ala Iko Uwais di “Berandal”. “Goodnight Mommy” bisa dikatakan dalam satu daftar dengan film macam “Funny Games”-nya Michael Haneke, “Eden Lake”-nya James Watkins dan “Kidnapped”-nya Miguel Ángel Vivas. Kalo udah pernah nonton judul-judul film yang gw sebutin itu, pasti tahu kesal macam apa yang gw maksudkan. Pokoknya lebih mengesalkan ketimbang melihat orang-orang ngomong sendiri di sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”. Tentu saja, “Goodnight Mommy” bukan saja soal bisa bikin kesel orang, tapi film horor yang sejak awal juga jago memikat, walau cara bertuturnya membutuhkan kesabaran yang ekstra. Ciri khas film-film horor yang diimpor dari Eropa, pelan-pelan kemudian mencengkram tanpa kita sadari.

Mampus, mampus dan mampus! Gw kayaknya udah lumayan lama nga ngomong kasar-anjing-anjingan waktu nonton film horor, “Goodnight Mommy” nga cuman mampus dalam urusan memancing gw naik darah, bikin emosi dan ngajak ribut, tapi juga mampus ketika berbicara bagaimana Veronika Franz dan Severin Fiala sanggup membuat gw pada akhirnya ikut kena tipu daya mereka berdua. Untuk film horor yang bagus, gw merelakan untuk ketipu, gw ikhlas dibohongin, bukan untuk mendapatkan kepuasan semata ketika twist-nya terungkap, tapi mencoba menikmati apa adanya film ini tanpa capek-capek banyak nebak, walau gw akuin salah-satu daya tarik “Goodnight Mommy” terletak di tebak-tebakannya. Mereka yang ngaku banyak nonton film horor mungkin bisa menebak langsung twist-nya semenjak menit-menit awal, tapi buat gw twist nomor sekian, sebuah bonus. Toh gw nonton “Goodnight Mommy” bukan untuk cari film horor dengan twist keren (saja) tapi juga mau merasakan pengalaman yang diberikan oleh Veronika Franz dan Severin Fiala. Gw akhirnya bisa mengacuhkan twist-nya dan berteriak peduli setan, walaupun twist-nya bisa ketebak duluan, gw akan tetap bilang “Goodnight Mommy” ngehe karena apa yang udah gw dapat, pengalaman horornya, titik.

Seperti Elias dan Lukas (dua karakter anak kembar di film ini) yang doyan main-main—petak umpet, berenang di danau dan jalan-jalan lihat kuburan—Veronika dan Severin pun suka “bermain-main”. “Goodnight Mommy” tidak akan memberi kita banyak informasi, membiarkan penonton terlena dan sibuk menebak-nebak dengan petunjuk yang disamarkan dengan rapih. Menonton “Goodnight Mommy” tak hanya membutuhkan kesabaran tapi juga kejelian dalam melihat banyak hal, termasuk gesture setiap pemain dan kemana arah mata mereka ketika berdialog. Veronika dan Severin bisa dibilang sanggup mengendalikan penonton, gw kayak dipaksa untuk berpikir sesuai dengan apa yang mereka inginkan, menempatkan banyak perangkap yang kemudian berhasil memperdaya gw untuk percaya pada apa yang gw lihat di layar. Veronika dan Severin bisa menciptakan ilusi, yang tak saja menyembunyikan fakta yang sebenarnya tapi juga mempermainkan pikiran penonton kalo Ibu Elias dan Lukas itu memang monster jahat, lalu kemudian kita dengan mudahnya bersimpati dengan anak-anak yang bertampang polos.

“Permainan” Veronika dan Severin nantinya akan membuat gw melupakan alur “Goodnight Mommy” yang terasa merangkak, tanpa sadar gw sudah beradaptasi dengan cara tuturnya yang lamban, begitu gw berhasil masuk dalam cengkraman film ini. Durasinya tak akan terasa lama, toh kita akan dibuat sibuk oleh Veronika dan Severin, tak saja sibuk menerka-nerka tapi juga memperhatikan tiap simbol dan petunjuk yang dibeberkan tak terburu-buru. Separuh pertama dimanfaatkan dengan sangat baik oleh “Goodnight Mommy” untuk menyiapkan semuanya, dari menggiring penonton untuk meyakini kalo yang terlihat jahat itu memang jahat, sampai membangun atmosfir yang tepat agar kita yang menonton juga memiliki rasa tidak menyenangkan, kesepian dan juga kehilangan. Didukung oleh tatanan scoring yang serba minimalis dan creepy, “Goodnight Mommy” benar-benar ingin membuat kita merasakan, tak hanya nuansa cekamnya yang mencekik, tapi juga apa yang dirasakan oleh mereka yang hadir di layar, entah itu rasa bersalah atau rasa marah yang terpendam. Kengehean “Goodnight Mommy” memang terletak pada bagaimana Veronika dan Severin melibatkan perasaan penonton, menyeret kita secara emosional dan mampu menampilkan adegan-adegan brutalnya tetap terkesan tak dilebih-lebihkan. Porsinya cukup untuk pada akhirnya men-trigger gw untuk berteriak anjing sekencang-kencangnya. Anjing!