Seburuk apapun film horor Rizal Mantovani, saya haruslah mengakui kelebihan sutradara “Jelangkung” dan “Kuntilanak” ini dalam urusan menciptakan creature atau hantu, konsep dan desain Rizal ibarat permata di antara tumpukan kotoran. Sayangnya tiap usaha untuk menghadirkan sosok makhluk yang terlihat nakutin tidak berimbang dengan bagaimana Rizal mengesekusi filmnya, diperburuk lagi dengan naskah yang biasanya amburadul. Penampakan Wewe Gombel misalnya, walaupun “Wewe” terlihat kurang maksimal dalam upayanya menciptakan rasa takut, sosok makhluk gaib yang katanya suka menculik anak-anak kecil tersebut tampil mengerikan sejak awal. Bahkan “Taring” (2010) yang begitu tumpul pada saat menakut-nakuti, setidaknya memiliki dedemit hutan Werenggini yang unik, sosok makhluk berwujud nenek-nenek yang suka kayang ketika beraksi meneror korban-korbannya. Pada saat film-film horornya yang rilis belakangan ini selalu tampil dengan kualitas amat menyedihkan dan hanya meninggalkan rasa kecewa ketimbang rasa takut, hadirnya makhluk-makhluk gaib unik hasil kreasi Rizal ini kemudian jadi hiburan tersendiri, ada secuil bagian yang bisa saya nikmati.

Sekali lagi saya dibuat terkesima dengan penampakan hantu bergaun pengantin hasil ciptaan Rizal untuk “Demona”, walau wujudnya mengingatkan saya dengan Lucy Westenra (Dracula). Tapi rasa kagum saya terhenti hanya sampai tampilan hantunya, sedangkan sisanya bercampur antara rasa kecewa, ingin marah, sakit kepala dan mual. Saya sebetulnya berharap “Demona” bisa mengembalikan faith saya pada seorang Rizal Mantovani, bahwa dia pada akhirnya bisa membuat film horor yang layak disebut menyeramkan. Saya ingin Rizal membuktikan sentuhan horornya tidak benar-benar hilang dan apa yang saya karang di review “Wewe” itu salah. Well, apa yang kemudian disuguhkan “Demona” ternyata memupuskan harapan saya tersebut, film yang dibintangi Ajun Perwira (Kastil Tua) dan Alexa Key (Garuda Superhero) ini makin mempertegas kalau Rizal memang kehilangan sentuhan horor yang dulu pernah dia miliki, (mungkin) tak akan pernah kembali. Wewe Gombel tampaknya harus berterima kasih pada “Demona”, Lucy Westenra dengan kearifan lokal ini membuat film semacam “Wewe” terkesan masterpiece.

“Demona” yang naskahnya dipercayakan lagi untuk dikarang oleh Anto Nugroho dan Bayu Abdinegoro, yang sebelumnya duduk di bangku penulis untuk “Wewe”, sebetulnya punya potensi yang menjanjikan pada saat hantu bergaun pengantin mulai bergentayangan mendatangi satu-persatu korbannya. Ada beberapa scene yang bisa dibilang mengasyikkan, itu pun karena terbantu oleh desain “Demona” yang menyeramkan. Namun jika dikumpulkan, persentase keasyikan film ini tak lebih dari 10%, potensi horornya yang kecil tak pernah punya kesempatan untuk berkembang lagi, karena terhimpit oleh pesan-pesan anti-narkoba yang nantinya berserakan dimana-dimana. Saya tidak mempermasalahkan film horor yang mau menakuti-nakuti sambil mengajak penontonnya untuk menjauhi dan tidak pakai barang haram bernama narkoba, tetapi “Demona” justru seperti film horor yang lupa akan kodratnya. Alih-alih menjadi film horor yang utuh, Lucy Westenra KW ini nantinya malah tampak seperti iklan layanan masyarakat tentang “Bahayanya Penyalahgunaan Narkoba” berdurasi 90 menit, dengan sisipan horor dan bintang tamu hantu bergaun kain gorden…eh pengantin yang meneror anak-anak muda.

Ketimbang sibuk membuat takut penontonnya, “Demona” justru asyik menjejali saya dengan pesan-pesan terselubung anti narkoba yang menyelip tak beraturan dan di taruh sembarang tempat, tanpa nantinya mempertimbangkan urgensinya di dalam penceritaan yang sedang bergulir. Jika film horor lain berupaya sekuat tenaga untuk mengejutkan penonton dengan beragam jump scare, “Demona” tak perlu trik kampungan tersebut untuk membuat saya pada akhirnya terkejut luar biasa. “Demona” hanya perlu menempatkan seorang bandar obat yang tiba-tiba saja muncul entah darimana dan berceramah panjang lebar tentang bahaya obat terlarang, efek terkejutnya jelas lebih dahsyat daripada film-film horor keluaran Blumhouse. Kejutan-kejutan menggelikan di “Demona” membuat saya overdosis, seperti kebanyakan menelan pil Felicity, apalagi saya sebelumnya sudah dibuat “mabuk” terlebih dahulu dipertontonkan akting buruk Ajun Perwira dan teman-temannya. Pesan moralnya adalah, “Demona” ternyata sama bahayanya dengan narkoba, jadi demi kesehatan saya sarankan simpan uang kalian untuk film lain, atau untuk jajan bakso, atau ditabung, atau dimasukkan ke kotak amal jariyah.