Sang Jenderal keluar dari mobilnya, dibantu para pengawal dan didampingi oleh dokter pribadinya, berjalan perlahan dengan tongkat di tangan kiri menghampiri Presiden Sukarno. Jas panjang melewati dengkul yang menutupi tubuh kurusnya tak bisa menyembunyikan sakit parah yang diderita Jenderal Sudirman. Berlatar belakang langit Yogyakarta yang bergemuruh bukan karena suara geledek, tetapi berasal dari suara bom-bom Belanda yang menghujam tanah, Jenderal Sudirman meminta Presiden untuk ikut bergerilya bersamanya. Ajakan Sudirman tersebut ditolak, Sukarno memilih tetap tinggal di Yogya untuk melakukan perundingan. Adegan di film ‘Jenderal Soedirman’ tersebut kemudian berlanjut dengan perang gerilya yang dipimpin langsung oleh Sudirman selama tujuh bulan. Taktik perang yang nantinya tidak saja membuktikan kalau TNI masih ada, tapi juga membuat tentara Belanda kewalahan. Penyakit tuberkulosis dan paru-paru sebelah kanan yang tidak lagi berfungsi, tampaknya tidak bisa menghentikan Pak Dirman untuk melanjutkan perjuangannya, sambil tetap asyik menghisap rokok kegemarannya.

Panglima Besar yang tak hanya pejuang tangguh tapi juga perokok berat, bahkan ketika penyakit kronisnya sudah menggerogoti tubuh kurusnya. Viva Westi tidak saja menyajikan sejarah tentang ‘Jenderal Soedirman’ sebagai pemimpin militer yang hebat, tapi juga memperkenalkan kita sedekat mungkin dengan Pak Dirman tanpa embel-embel Jenderalnya, sebagai manusia biasa. Sambil bercerita betapa hebatnya ‘Jenderal Soedirman’ bermain kucing-kucingan dengan Belanda, Westi tak lupa menaruh detil-detil kecil yang kemudian mengingatkan penonton kalau yang ditontonnya juga makan nasi sama seperti kita. Saya menyukai pendekatan Westi, fokusnya tak melulu pada status Sudirman sebagai sosok Jenderal semata, tapi juga menyorot kepribadiannya, membuat kita semakin akrab. Sudirman itu orang baik dan senang bercanda, saya tidak tahu apakah aslinya memang seperti yang diperlihatkan di film, tapi saya akui Westi sudah berhasil membuat seorang Jenderal yang mudah dikagumi sekaligus karakter yang mudah disukai. Well, tak hanya Sudirman, tapi hampir semua karakter yang ditampilkan punya kelebihan untuk membuat penonton pada akhirnya menyukai kehadiran mereka di film.

Adipati Dolken memang tidak mirip dengan Sudirman, setidaknya ada kesamaan dari postur tubuh yang sama-sama cungkring itu. Lagipula menurut saya, akting harus jadi prioritas utama ketimbang dipaksa mirip tapi tidak becus berakting. Tugas departemen make up untuk nantinya membuat si aktor yang memerankan Sudirman, jadi semirip mungkin dengan orang aslinya. Untuk kali ini saya harus mengakui Adipati lumayan sanggup menghidupkan sosok Sudirman dengan baik ketimbang peran-perannya terdahulu. Dibalik tampilannya yang dipermak lebih hitam, pucat dan kucel, Adipati juga memperlihatkan akting yang bisa terbilang penuh penjiwaan ketika memainkan perannya sebagai Pak Dirman. Kekurangan Adipati terletak pada sisi karismatik seorang Jenderal, saya tidak bisa merasakan karisma itu setiap kali melihat Sudirman muncul di layar. Alhasil saya tidak bisa melihat seorang Adipati seutuhnya sebagai sosok Jenderal Sudirman, wujudnya memang Sudirman tapi saya tetap melihatnya sebagai Adipati bukannya Jenderal yang sedang memimpin perang gerilya. Tapi sekali lagi, usaha Adipati sepatutnya dihargai, saya tahu bukan perkara yang mudah untuk memerankan Sudirman.

Untuk film yang punya judul ‘Jenderal Soedirman’, saya tentunya berharap akan ada suguhan adegan perang-perangan yang ditawarkan oleh Viva Westi, harapan tersebut harus kandas dikalahkan oleh keterbatasan bujet. Adegan perang tentu butuh dana yang tidak sedikit, saya terpaksa harus puas dipertontonkan adegan pembuka tentara Belanda membombardir Yogyakarta dan nantinya aksi tembak-tembakan yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Bahkan untuk menghemat bujet, peristiwa ‘Serangan Umum 1 Maret’ yang dikomandani Sudirman hanya sepintas terdengar lewat dialog saja, visualnya hanya bisa dibayangkan di kepala sendiri. Tak bisa banyak menghadirkan adegan perang-perangan bukan berarti ‘Jenderal Soedirman’ duduk diam pasrah tak melakukan apa-apa, batasan bujet kemudian diakali dengan lebih banyak mengisi durasi dengan bercerita. Porsi drama tentu nantinya akan terlihat mendominasi ketimbang bagian peperangan yang hanya segelintir itu. Disajikan untuk tujuan hiburan, ‘Jenderal Soedirman’ tidak melulu menceritakan sejarah dan tampil serius, tapi juga sesekali mampu menghadirkan kelucuan-kelucuan di tengah hiruk pikuk perang gerilya.