Memasuki paruh akhir tahun 2015, penonton film Indonesia tampaknya semakin dimanjakan dengan variatifnya tontonan di bioskop, selain film drama dan horor, bersiaplah untuk menerima hujaman pukulan dari film-film laga. Ada “Gangster” buatan Fajar Nugros, yang akan saya review, menyusul “3” yang disutradarai oleh Anggy Umbara dan “Skakmat” garapan Ody C Harahap. Sebetulnya ada satu film laga yang paling saya tunggu-tunggu kapan rilisnya, tapi kabarnya lenyap seperti tertelan bumi, “Detachment Police Operation’ yang dibintangi oleh Aa Azrax… eh Aa Gatot Brajamusti maksudnya. Kedatangan film action lokal tentu saya sambut dengan suka cita, walaupun terkesan “latah” dengan kesuksesan “The Raid” dan “Comic 8”. Kabar bagus untuk penonton film Indonesia yang memang amat perlu diberikan pilihan, tidak melulu drama batuk darah dan hantu dempulan semen. Saya hargai inisiatifnya untuk mencoba genre yang berbeda, tapi dengan catatan tidak menutup mata soal kualitasnya, jangan malah berakhir seperti “Guardian” yang banyak mukul dan jedar-jedor tapi meleset tak meninggalkan bekas.

“Gangster” yang naskahnya ditulis Jujur Prananto (Pendekar Tongkat Emas) tak bisa disangkal masih memiliki kekurangan disana-sini, terutama storytelling-nya yang agak kurang nyaman untuk diikuti. Padahal Fajar Nugros di “7 Hari 24 Jam” dan “Adriana” bisa menyampaikan cerita dengan begitu baik, sehingga saya juga bisa menikmati film sampai selesai dengan senyum mengembang. Tapi agak tak adil rasanya jika “Gangster” harus dibandingkan dengan film drama dan komedi romantis, yang jelas-jelas punya waktu banyak untuk bercerita. Sedangkan untuk “Gangster”, Nugros harus membagi durasinya tak hanya untuk menyampaikan isi cerita tapi juga berantem sekaligus ngelawak, tantangan berat bagi Nugros yang selama ini belum pernah menangani film laga. Saya sebetulnya tidak mau peduli dengan tetek-bengek cerita, ketika berbicara soal film action saya biasanya akan menomorduakan cerita, toh yang saya cari adalah jotos-jotosannya. Sayangnya, walaupun “Gangster” menampilkan koreografi bertarung yang beragam dengan pilihan jurus-jurus yang asyik, tapinya terasa kurang bertenaga di tiap pukulan.

Adegan kejar-kejaran di pasar antara Jamroni (Hamish Daud) dan segerombolan preman berkedok ormas, hingga nantinya mengobrak-abrik rumah makan serta membuat ricuh sebuah pementasan ketoprak, tak hanya memperlihatkan kalau Fajar Nugros adalah sutradara yang kreatif dalam membuat rentetan adegan tapi juga sanggup membuat saya berekspektasi lebih pada “Gangster”. Berbagai gaya tarung yang dipertontonkan pun tidak asal tonjok dan nendang, koreo-nya harus diakui dipersiapkan dengan matang, apalagi ada Yayan “Mad Dog” Ruhian ikutan meramaikan aksi baku hantam di “Gangster”. Mau itu pertarungan secara jantan satu lawan satu ataupun pertarungan satu melawan banyak orang alias bermain keroyokan, koreografi yang ditawarkan “Gangster” tak pernah terlihat monoton. Hanya saja kelebihannya memamerkan ragam koreo dan jurus terkadang terasa kurang maksimal dalam menghasikan efek pertarungan yang meyakinkan. Saya memang melihat orang-orang lempar pukulan, menangkis dan main tendang tapi rasa-rasanya tidak cukup bertenaga, saya tidak bisa ikut merasakan kena pukul, kena sikut, kena tendang, apalagi kena gebukannya Dian Sastrowardoyo yang di film ini terlihat “garang” mengenakan kemeja putih…pukul saya, Cinta.

“Gangster” saya pikir terlihat banyak mau, di satu sisi film ini ingin menampilkan banyak adegan tarung, berdampingan dengan sisi komedinya yang tidak pernah ingin mengalah. Sambil berdesakan diantara orang-orang yang sedang berkelahi dan melucu disaat bersamaan, dihadirkan juga romansa instan yang menambah sesak jalan penceritaan “Gangster”. Apalagi nantinya diselipkan juga kisah masa kecil Jamroni lengkap dengan sederet flashback, dari dikurung sekandang bareng kambing oleh bapaknya yang galak, hingga kisah cinta monyet dengan Sari yang tinggal sejengkal dari rumahnya. Terlalu banyak yang ingin ditampilkan, komedi, aksi laga, romansa dan background story si Jamroni, bukannya malah menambah “Gangster” semakin menarik hingga penghujung durasinya, kenikmatan dan rasa menyenangkan di separuh pertamanya kemudian rontok di paruh kedua. Nugros setidaknya beruntung memiliki jajaran pemain yang tak setengah-setengah saat berakting dan menampilkan aksi beladiri mereka. Khususnya Agus Kuncoro dan Dwi Sasono yang bisa dibilang paling mencuri perhatian, keduanya beberapa kali sukses mengundang tawa di saat yang tepat ketika saya memang butuh dihibur.