Saya bingung ingin memulai darimana, butuh waktu hampir satu jam bagi saya, hanya untuk memikirkan kata pembuka yang tepat. Saya seperti kehabisan kata-kata, padahal banyak yang ingin saya curahkan ke dalam review “Mencari Hilal”, tapi jari-jari saya terbungkam. Mungkin saya terlalu memaksa paragraf pertama untuk jadi pembuka tulisan yang sempurna, penuh kalimat yang dirangkai indah, tapi sejam berlalu, saya hanya menatap kertas putih yang kosong. Jika saya sulit untuk memulai, “Mencari Hilal” justru tak kelihatan kesulitan menghantarkan isi ceritanya, terkesan ditampilkan apa adanya, sejak opening credit-nya yang terdiri dari gambar-gambar indah itu—termasuk gambar sebuah koper tanpa pemilik yang bersandar pada batang pohon beranting unik—hingga nanti kita berdiri di sebuah menara menatap hilal bersama Mahmud (Deddy Sutomo) dan Heli (Oka Antara). Apa adanya “Mencari Hilal” inilah yang kemudian membuat saya takjub, tak banyak polesan, tak banyak sumpalan drama, bahkan scoring-nya pun tidak ingin terkesan mubazir. Kita akan diajak untuk melihat film yang sederhana, tapi disitulah letak kemewahan “Mencari Hilal”, ketika berhasil menuturkan kisahnya yang sederhana dengan begitu indah, hangat sekaligus mengena tepat ke hati.

Bukankah kita memang diajarkan untuk hidup sederhana oleh agama, tampilan “Mencari Hilal” yang apa adanya seperti ingin langsung memberikan contoh itu. Film yang disutradarai oleh Ismail Basbeth (Another Trip To The Moon) ini tidak ingin terlihat banyak menggurui, caranya berbeda dengan film bertema reliji lain yang kebanyakan begitu menggebu-gebu ingin segera berceramah di depan para penontonnya. Sebaliknya, “Mencari Hilal” ingin tetap tampak sebagai film, bukan terlihat seperti mimbar semata, tetap ada ceramahnya tapi film ini juga tak lupa menyelesaikan cerita secara utuh. Jadi penonton tetap diperlakukan sebagai, yah penonton, karena saya datang ke bioskop untuk menonton film, bukan sekedar mendapat siraman rohani, tapi juga membawa pulang pengalaman dari apa yang sudah saya tonton. “Mencari Hilal” memberikan keduanya, selama 90 menit kita tidak saja diajak mendengarkan petuah-petuah kebaikan yang keluar dari mulut Mahmud, tapi juga merasakan pengalaman yang berharga mengikuti perjalanan napak tilas Mahmud. “Ceramah” Mahmud pun disampaikan tanpa ingin terkesan menggurui siapapun, apa adanya, seperti seorang Ayah yang sedang menasehati anaknya, situasinya pun terkadang dibuat untuk menggelitik, mungkin agar lebih diterima, jadi tidak asal masuk telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri.

“Mencari Hilal” tahu bagaimana menyampaikan ceramahnya, agar nantinya saya pun tidak seperti “dijewer” untuk dipaksa mendengarkan, dan hebatnya film ini tahu kapan untuk berbagi waktu antara bercerita dan berceramah. Mahmud ada waktunya untuk berbicara soal agama, sambil Ismail Basbeth melanjutkan cerita, karena toh “Mencari Hilal” bukan hanya film tentang agama—dimana nanti kita dipertontonkan seperti apa wajah-wajah Islam di Indonesia—tapi juga film yang sedang berusaha menceritakan hubungan Ayah dan anaknya, tentang perbedaan yang pada akhirnya membuat mereka tidak akur, sekaligus bagaimana keduanya berusaha menerima perbedaaan untuk bisa memperbaiki hubungan yang selama ini retak. Perjalanan “Mencari Hilal” bukan soal tempat yang akan dituju, bukan perkara apakah nantinya Mahmud dan Heli berhasil mencapai finisnya, tapi lebih kepada proses untuk sampai ke tempat melihat hilai. Saya sudah ada pada posisi pasrah, dalam artian terserah Ismail Basbeth mau mengakhiri “Mencari Hilal” ini seperti apa, karena bagi saya keistimewaan film ini terletak pada perjalanannya. Cerita yang dibangun setapak demi setapak oleh “Mencari Hilal” tidak saja mulus tanpa cela, tapi juga memberikan sebuah kehangatan, berasal dari chemistry apik yang diperlihatkan oleh Deddy Sutomo dan Oka Antara.

Deddy Sutomo dan Oka Antara, keduanya tidak saja berakting, tapi juga memberi ruh pada “Mencari Hilal” untuk terlihat begitu hidup, hingga saya bisa yakin jika Deddy dan Oka memang sudah seperti Bapak dan anak betulan. Dialognya, tidak terasa seperti sebuah skenario yang dihafalkan, tapi ibarat sebuah obrolan yang tidak sengaja saya dengar melalui jendela bis. Kesederhanaan tidak saja terlihat dari apa yang ditampilkan tapi juga dari apa yang kita dengar, ketika karakter-karakternya sedang mengucapkan dialognya, “Mencari Hilal” tidak pernah terasa berat, dialog sederhana tapi kaya akan makna. Film ini hanya ingin penontonnya mudah untuk mengerti dengan apa yang terjadi, kenapa Mahmud dan Heli tidak akur atau kenapa Mahmud begitu bersikeras ingin melihat hilal, makanya dialog dibuat untuk gampang dimengerti, tak dipaksa untuk indah tapi berusaha untuk jujur apa adanya. Mungkin itulah kenapa “Mencari Hilal” sejak awal terasa begitu dekat, karena film ini juga bisa jujur pada penontonnya, termasuk ketika tampil jujur dalam mempotret wajah Islam di negeri ini. Perjalanan yang terasa begitu istimewa, hingga saya ingin bisa kembali mengulang “Mencari Hilal” hanya untuk dapat merasakan lagi keistimewaannya. Kangen saya sama kesederhanaan film Indonesia akhirnya terobati oleh film ini, terima kasih Ismail Basbeth.