“We Are Still Here” berada di satu atap dengan “The House of the Devil” miliknya Ti West dan “It Follows”, horor rilisan baru dengan presentasi old-school ala film-film horor tahun 70-an dan 80-an. Sebuah homage yang tak saja memperlihatkan bahwa Ted Geoghegan cinta dengan horor bernuansa jadul, tapi juga cara untuk menghormati Lucio Fulci, sang Godfather of Gore yang katanya menginspirasinya. Well, saya sekarang tahu darimana Ted mendapatkan inspirasinya untuk adegan di paruh akhir yang menggila itu. “We Are Still Here” bukanlah horor mahal, tapi Ted tahu bagaimana memaksimalkan resource-nya yang terbatas tersebut, untuk membuat film horor ini jadi kelihatan tidak murahan. Lagipula, mahal atau tidak mahal, bujet besar atau ala-kadarnya, pada akhirnya yang terpenting adalah cara film untuk menakuti penontonnya, apakah mampu memanfaatkan sumber daya dan materi yang ada untuk menghasilkan rasa takut. “We Are Still Here” adalah film horor kecil tapi istimewa, tidak saja ditata rapih dari segi produksi, tapi juga sanggup menghadirkan momen-momen menyeramkan yang sebenarnya. Horor paket combo, dimana kita dapat film yang seram dan gory berdarah-darah.

Cerita di “We Are Still Here” akan terdengar begitu familiar, dimulai dengan satu kejadian tragis yang memaksa pasangan suami istri, Paul (Andrew Sensenig) dan Anne (Barbara Crampton) harus pindah rumah untuk melupakan kematian anak mereka. Memilih tinggal di rumah baru yang letaknya cukup terpencil, sepi jauh dari kota, awalnya seperti sebuah keputusan yang benar untuk Anne yang butuh tempat yang tenang untuk mengatasi kesedihannya. Sayangnya, kedamaian Paul dan Anne tiba-tiba terusik oleh “penghuni” lama yang ternyata masih mendiami rumah yang punya sejarah mengerikan tersebut. Walau alurnya terasa bergerak lamban, “We Are Still Here” bisa dikatakan film horor yang tidak mau lama-lama menyembunyikan kejutannya. Setelah dirasa cukup untuk memperkenalkan kita dengan Paul dan Anne, Ted langsung bergegas mengajak kita untuk turun tangga ke basement, agar kita bisa berkenalan dengan para penghuni yang lebih dahulu tinggal di rumah tersebut. Ted juga buru-buru memberitahu kita catatan kelam yang pernah terjadi dengan rumah tersebut di masa lalu. Awalnya saya memang cukup kaget melihat film ini yang terlalu cepat membongkar banyak hal, apalagi dengan keputusan Ted untuk memberikan penampakan di menit-menit awal.

Saya tipikal penonton yang tidak suka dengan film horor yang terlalu buru-buru memunculkan hantunya, untungnya “We Are Still Here” melakukan itu bukannya tanpa alasan, karena Ted sudah punya rencana lain untuk film horornya. Sebuah rencana yang menjadikan “We Are Still Here” tak saja kelihatan seperti layaknya film bertemakan rumah hantu, tapi juga nantinya jungkir balik berubah jadi film home invasion yang gila-gilaan. Penampakan yang terkesan tergesa-gesa tersebut setidaknya dibarengi dengan usaha Ted untuk membangun atmosfir cekam yang layak. Jadi film ini sudah melakukannya dengan benar, termasuk terlebih dahulu mengajak saya untuk ketakutan ada di rumah yang ditinggali oleh Paul dan Anne, khususnya ruangan bawah tanah. Makanya saya masih bisa memaafkan “We Are Still Here”, terlepas dari penampakannya yang begitu cepat muncul, toh film ini pada akhirnya bisa membuat saya merasa tidak nyaman, tidak betah, merinding dan gelisah, pertanda bagus yang menunjukkan bahwa rumah yang saya masuki memang berhantu dan membuktikan kalau film ini tahu cara menakut-nakuti.

“We Are Still Here” tak sekedar cerdik dalam menakut-nakuti, memberikan saya beberapa jump scares yang mengasyikkan juga, film ini pun lihai dalam meracik plotnya yang berpondasi pada sebuah cerita horor yang sederhana. Puas rasanya ketika film horor bisa membuat saya ketakutan, sekaligus terhimpit dalam rasa cekam. Gilanya lagi “We Are Still Here” tak hanya memberikan saya dua itu: takut dan cekam, tapi juga melemparkan saya ke kubangan penuh darah dan otak yang hancur berhamburan. Di paruh akhir adalah waktunya untuk bersenang-senang, setelah kita diajak ikutan stress bareng Paul dan Anne di paruh sebelumnya. Ted Geoghegan seperti orang yang kesurupan dan lepas kendali, merubah warna film dari yang serba gelap dan kelam jadi lebih cerah dan serba merah. Tak disangka “We Are Still Here” tiba-tiba berubah dari film rumah hantu mendadak jadi film home-invasion berdarah-darah. Saya tentu saja terkejut dengan “keisengan” Ted yang tahu-tahu mengguyur saya dengan darah, saat sedang anteng ditakutin oleh penghuni basement yang menyeramkan. “We Are Still Here” ternyata melampaui ekspektasi, filmnya tidak saja seram tapi juga membuat saya girang bukan main melihat darah muncrat dan kepala benyek. Sayang pas lagi seru-serunya, filmnya malah cepat selesai, gila juga si Ted Geoghegan ini.