Saya senang saja ketika tahu “Insidious” berlanjut ke film ketiga, di satu sisi ada keinginan yang besar untuk melihat sampai sejauh mana Leigh Whannell mampu mengembangkan dunia yang sudah dia bangun di dua film sebelumnya, terutama berkaitan dengan konsep alam gaib versinya atau The Further. Namun di sisi lain, saya juga tidak mau “Insidious” hanya akan bernasib sama dengan “Paranormal Activity” ataupun “SAW”, makin bertambah jumlah filmnya tapi semakin kosong dan mudah untuk dilupakan. Ada perasaan was-was apakah chapter ketiga akan sama seramnya ketika tidak lagi dipegang oleh James Wan, apakah Leigh mampu (setidaknya) untuk mempertahankan standar yang sudah dibuat James? Karena sudah pasti Leigh juga punya visinya sendiri dan cara menakut-nakuti yang beda. “Insidious: Chapter 3” nantinya akan mengajak kita melompat ke masa sebelum peristiwa yang menimpa keluarga Lambert. Elise Rainier (Lin Shaye) diceritakan pensiun dari bisnis percenayangan, tapi kemudian terpaksa kembali berurusan dengan alam gaib dan orang yang sudah mati, untuk membantu menyelamatkan Quinn Brenner (Stefanie Scott) dari “parasit” yang ingin mengambil jiwanya.

Apakah film horor selalu dimulai dengan sesuatu yang bodoh? Jawabannya “iya”. Pergi ke kabin dan membaca buku yang seharusnya tidak dibaca, pindah rumah walaupun sudah tahu pernah ada satu keluarga yang tewas secara mengenaskan di rumah tersebut, atau pergi ke tempat paling angker hanya untuk menusukkan boneka Jelangkung di kuburan keramat. Elise Rainier sudah bilang kepada Quinn untuk jangan lagi memanggil orang yang sudah mati, tapi Quinn tetap berusaha ingin berbicara dengan almarhumah Ibunya, ternyata yang datang bukan ibunya melainkan makhluk jahat yang berasal dari The Further. Biarkan kebodohan film horor terulang dan jadi contoh agar kita tidak melakukan kebodohan yang sama, termasuk memanggil-manggil mereka yang sudah mati untuk diajak komunikasi. Quinn harusnya kirim-kirim doa supaya arwah mamah-nya tenang di alam sana, bukannya malah memintanya untuk muncul dengan bantuan cenayang. “We Are Still Here” memberikan contoh lain tentang akibat buruk memanggil orang yang sudah mati, alih-alih arwah anak Paul dan Anne yang terpanggil, mereka justru kedatangan para penghuni ruang bawah tanah. Nasi pun sudah jadi bubur, Quinn sudah terlanjur mengundang “tamu” lain yang tak pernah diundang.

Rasa was-was saya diawal ternyata bisa ditepis oleh “Insidious: Chapter 3”, saya akui jika dibandingkan dengan dua film sebelumnya, film yang jadi debut Leigh Whannell dalam penyutradaraan ini akan punya sedikit masalah dalam mengeja kata S-E-R-A-M. Tapi setidaknya Leigh Whannell masih punya insting yang lebih baik ketimbang John R. Leonetti di “Annabelle”, yang begitu ingin terlihat seperti James Wan ketika berurusan dengan jump scare dan adegan menakuti. Beda lagi dengan Leigh yang justru terlihat memiliki gayanya sendiri dalam mengesekusi setiap adegan horor di “Insidious: Chapter 3”. Walaupun hasil akhirnya kelihatan tidak maksimal dan kurang seram, tapi melihat cara Leigh menakut-nakuti, saya pikir film ini masih layak untuk masuk dalam kriteria horor yang menyenangkan. Saya menikmati momen-momen ketika “Insidious: Chapter 3” mulai menjambak dan menyeret saya paksa untuk duduk di kamar Quinn, melihat penampakan dan ikut merasakan ketakutan yang dialami Quinn. Leigh seperti juga James Wan tak ingin menipu penontonnya dengan cara-cara yang murahan, itulah kenapa saya masih menyukai “Insidious: Chapter 3”, walaupun punya kekurangan, tapi Leigh masih tunduk pada aturan yang sudah dibuat di dua film sebelumnya: jangan pernah membohongi penonton!

Trik jump scare di “Insidious: Chapter 3” pun masih terbilang mengasyikkan dan sanggup mengagetkan, padahal saya sebelumnya sudah bisa menebak serta tahu akan dikagetkan. Sayangnya cara Leigh menakut-nakuti tidak diiringi bangunan atmosfir yang cukup kuat untuk menopang segala jump scare yang dimunculkan. Hasilnya langsung terasa setelah “Insidious: Chapter 3” selesai menakuti, tak ada perasaan takut, hanya jantung yang masih terasa berdegup kencang. Leigh tidak mampu menciptakan suasana mencekam yang seharusnya menempel sejak saya menginjakkan kaki di apartemen keluarga Brenner tinggal. Rasa cekam itu justru mampir ketika saya bertamu di rumah Elise Rainier, saya bisa merasakan sedikit bergidik saat Elise mengajak kita masuk ke ruangan bertuliskan reading room di pintunya. Dibandingkan dua film sebelumnya, “Insidious: Chapter 3” jelas terasa mengalami penurunan kualitas keseraman, tapi setidaknya Leigh masih berikan kita cerita yang benar-benar menarik, termasuk ketika membicarakan soal dunia lain yang kita kenal dengan sebutan The Further. Selain mempertahankan cerita yang menarik, Leigh ternyata tidak meninggalkan momen-momen hangat yang memang sudah jadi ciri khas di “Insidious”, yang membedakannya dari film-film horor lainnya.