Sial betul nasib Shandy Aulia yang selalu dihantui mahkluk gaib dimana pun dia menetap, di “Rumah Kentang” dia diganggu oleh hantu anak kecil yang nakal dan suka bikin berantakan rumah dengan kentang, pindah ke rumah yang ada patung gurita besar di atapnya pun masih juga diganggu jin ambekan, yang kalau sudah marah karena tidak dikasih makan sesajen, bakal seenaknya tuh lempar-lempar perabotan rumah. Mengungsi ke “Samudera Hotel” pun tak membuat kehidupan Shandy jadi lebih tenang, karena malah disamperin Nyi Roro Kidul. Bahkan jalan-jalan ke “Mall Klender” ujung-ujungnya pun malah digodain setan. “Tarot” bakal kembali menempatkan Shandy di rumah besar berhantu yang kali ini diceritakan pernah jadi tempat bunuh diri. Seperti tidak ada kapok-kapoknya, Shandy justru memilih untuk tinggal sendirian di rumah segede gaban tersebut, padahal sudah ada peringatan sebelumnya “akan ada seseorang dari masa lalu, sudah mati dan menuntut balas”, kira-kira seperti itulah. Kecuali Shandy, kita yang nonton pasti tahu apa yang bakal terjadi kemudian, kejadian yang sama terulang lagi di rumah yang di tengahnya ada kolam renang ini. Tidak hanya Shandy bakalan diganggu dedemit lagi, tapi Shandy bakal memamerkan koleksi pakaian tipisnya.

Saya sebetulnya lebih menunggu-nunggu pakaian tipis menerawang yang bakal dipakai Shandy, ketimbang penampakan setannya. Sayangnya di “Tarot” pakaian tersebut tak semenerawang film-film sebelumnya, sambil kecewa saya kemudian beralih (sok pura-pura fokus) memperhatikan horornya yang lagi-lagi memakai formula agak basi milik Jose Poernomo. Tapi setidaknya sekarang saya mengakui formula tersebut (walaupun agak basi) diesekusi lebih baik ketimbang film-film horor hasil kolaborasi Jose dan Hitmaker sebelumnya. Saya melihat “Tarot” lebih peduli untuk berusaha menakut-nakuti penontonnya, dan lebih punya niat untuk membangun atmosfir cekam memanfaatkan setting rumah besarnya. Not bad! Itu kata saya di setengah jam awal “Tarot”, sesuatu yang jarang keluar dari mulut saya ketika menonton film-film horor produksi Hitmaker. “Tarot” memberi saya harapan dan film ini memang punya potensi yang menjanjikan di paruh awalnya. Setidaknya 30 menit awal “Tarot”, saya tak segelisah seperti menonton film-film horor Hitmaker sebelumnya, yang belum separuh jalan sudah berhasil membuat saya tak betah dan ingin pulang—beli tahu gejrot dulu di depan bioskop.

Sungguh disayangkan usaha “Tarot” untuk membangun rasa cekam dan atmosfir seram yang layak di 30-40 menitan awal film, harus dihancurkan oleh cara-cara menampakkan hantu yang terbilang bodoh. “Tarot” dengan bodohnya bunuh diri dan potensinya yang menjanjikan itu seketika mati, harapan saya untuk akhirnya bisa menonton film horor yang layak dari Hitmaker pun ikut terbunuh. Percuma pakai setting rumah besar yang mahal kalau caranya menakuti terlihat murahan, hanya bermodal hantu dengan polesan digital. Saya sebetulnya akan memaklumi pilihan film ini untuk memakai hantu-hantuan CGI, jika dilakukan pakai cara-cara yang manusiawi dan tidak berlebihan. Tapi “Tarot” seperti tidak peduli apa yang dilakukannya itu seram ataupun mengagetkan orang sampai mati kena serangan jantung, yah bodo amat. Buat “Tarot” yang terpenting adalah sudah memberikan penampakan setan celangap dan disorot memenuhi layar. Taruh adegan serupa beberapa kali dan berharap saya bisa mengompol di celana, bahkan bocah umur lima tahun mungkin akan tertawa geli melihat hantu celangap bodoh.

Saya tidak akan berbicara soal lain, chemistry, akting, sinematografi atau design produksinya itu nomor sekian. Mau aktingnya bagus pun, jika “Tarot” gagal saat menghantarkan rasa takut ke bangku penonton, maka yah percuma saja. Untung, akting Shandy Aulia dan Boy William memang sedari awal membuat saya tidak peduli dengan karakter yang mereka mainkan, jadi saya bisa mengalihkan mata saya pada bagaimana film ini menciptakan ketakutan. Saya ingin “Tarot” mampu jadi tontonan yang menyeramkan, saya datang ke bioskop dengan niat tulus mau ditakut-takuti oleh film ini kok. Tapi kenapa “Tarot” yang awalnya baik jadi ikut-ikutan pakai cara lama horor-horor bodoh? Mengandalkan jump scares basi yang menggelikan bermodalkan hantu celangap. Ada apa dengan film horor Indonesia yang belakangan sepertinya tidak percaya diri menakuti penontonnya jika tidak pakai hantu-hantu celangap ini. Hopeless, seperti yang tidak punya cara lain yang lebih kreatif untuk menakuti penonton. “Tarot” yang mengklaim terseram tahun ini ternyata sama jeleknya dengan film-film produksi Hitmaker sebelumnya.