Kata last di “My Last Love” seperti menandakan kalau film yang dibintangi oleh Donita, Ajun Perwira dan Evan Sanders tersebut bakal jadi karya terakhir Nayato yang saya tonton di bioskop. Sebuah titik yang saya bubuhkan di paragraf akhir review “My Last Love” pun jadi penanda yang mewakili kata perpisahan, tak ada basa-basi yang mengatakan saya mau stop review film-film Nayato, hanya tanda titik di review yang saya tulis di tanggal 28 Januari 2012 itulah cara saya katakan “da-dah” pada Nayato, that’s it­—saya selesai. Saya beberapa kali dapat komentar tidak mengenakan, tak perlulah saya bahas satu-persatu, tapi bukan karena saya dimaki orang lantas berhenti menulis review film si sutradara hebat yang piawai membuat film drama dan juga horor tersebut. Makian itu saya anggap fair, orang bisa bilang apa saja tentang saya tapi tak akan bisa membungkam tulisan-tulisan saya di blog. Satu-satunya alasan saya pada akhirnya berhenti adalah saya masih sayang nyawa, bukan sayang uang untuk beli karcis nonton. Untuk film si Nayato saya ikhlas mengeluarkan uang, tapi sekali lagi saya tak mau menghantar nyawa. Keputusan yang kemudian hari saya syukuri, tidak terbayangkan jika saya tetap meneruskan nonton film-film Nayato, bisa punya papan nisan sendiri sekarang, mati gentayangan jadi pocong lalu di-casting main di film Nayato.

Apakah saya kangen dibuat gegar otak oleh film-film Nayato? Jujur, saya kangen. Puasa tiga tahun lebih tak menjamah film Nayato pun berakhir, saya nekat untuk nonton “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan”. Sebuah keputusan yang (sekali lagi) tepat seperti ketika saya mutusin buat tidak lagi menonton dan merasakan yang namanya keajaiban sinematik buatan Nayato. Sekarang, saya pun kembali bikin diri saya sendiri seperti orang tolol—saya nulis review film Nayato lagi—tetapi saya rela dibilang idiot sekalipun demi sutradara yang punya banyak nama alias ini, termasuk nama tersohor Koya Pagayo. Mungkin saya sudah ditakdirkan buat nonton “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan”, dimana Nayato akhirnya kembali ke roots-nya membuat film horor yang tak saja sempurna dalam menyiksa tapi juga dengan brutal membunuh kecerdasan penontonnya. Seperti ada yang bisik-bisik ke telinga saya pada waktu trailer-nya muncul, menyuruh untuk menonton film ini dan ketika saya menengok ternyata memang tidak ada siapa-siapa (kok persis adegan di film-film horor Nayato yah). Bisa nonton “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan” bukan saja sebuah keberuntungan tapi juga berkah, puasa tiga tahun saya tak sia-sia karena Nayato membayarnya dengan sebuah masterpiece.

Kepuasan yang melebihi menemukan abang tukang otak-otak yang enak pas lagi kepengen banget jajan otak-otak. Pengalaman menonton yang tak ada bandingan dengan film manapun, tidak ada duanya. “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan” tak saja membuat “The Conjuring” dan “Insidious” tampak seperti kartun anak-anak tapi juga sepertinya bisa membuat malu seorang James Wan—inilah sebenarnya alasan dia pada waktu bilang “I’m finished with the horror genre”, karena dia tahu hanya akan dipermalukan oleh Nayato. Diadaptasi dari novel ‘Tujuh Hari di Vila Mencekam’, Nayato nantinya benar-benar mengeluarkan seluruh kesaktiannya dalam urusan horor-hororan dan menakuti-nakuti. Film ini seperti merangkum apa yang pernah dibuat oleh Nayato, lengkap dengan semua signature style-nya yang bisa ditonton di “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan”. Sebut saja trik adegan mimpi ala Nayato yang fenomenal itu, “Inception”-nya Nolan jadi terlihat cemen apabila dibandingkan dengan mimpi berlapis yang diperlihatkan di “Hantu Jeruk Purut” (2006), di “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan” Nayato pun kembali pamer kelihaiannya bermain dengan mimpi. Bukan film Nayato jika tidak ada gelas dan adegan orang menuang air ke gelas, hanya Nayato yang bisa membuat saya takut sama gelas, tidak saja di film tapi juga sesampainya di rumah saya jadi ketakutan melihat gelas—parno sendiri takut gelasnya gerak—saya jadi phobia gelas.

Rambut berkibar-kibar kena semprotan angin bak iklan sampo, lalu penampakan yang “tabrak lari” pun nantinya akan bertebaran di “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan”. Soal penampakan Nayato tak mau setengah-setengah dan tak mau ikutan arus horor lokal konvensional yang biasanya tongolin hantunya tiap lima menit. Karena tidak ingin mainstream, film baru mulai bergulir setengah jam saya sudah menghitung ada kira-kira 2000 penampakan, itu berarti rata-rata penampakan per detiknya bisa 1-2 penampakan (kalau hitungan saya salah maklumi karena nilai matematika saya tidak pernah bagus). Dengan durasi 82 menit, saya sudah keburu pendarahan otak menghitung berapa total penampakannya, terakhir sih ada di hitungan 7000-an. Melahap kejeniusan Nayato, memang belum afdol kalau belum muntah darah dijejali adegan demi adegan maha dahsyat hasil skrip yang isinya kertang kosong doang—hanya Nayato dan mata batinnya yang bisa lihat tulisan di skrip kosong tersebut. Kuping berdarah juga sudah biasa, karena bagi Nayato efek suara dengan volume paling berisik begitu penting, semakin berisik makin benar, walaupun pada akhirnya membuat dua kuping saya pindah tempat ke jidat. “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan” pun menyajikan twist berlapis-lapis, walaupun sudah ketahuan duluan dari sinopsis spoiler yang sengaja disebarkan, takut kalau-kalau penonton tidak mengerti dengan twist di filmnya. Masterpiece! Inilah love letter dari Nayato untuk dirinya sendiri, sebuah homage ke film-film Nayato sebelumnya. Begitu “menyenangkan” hingga saya pingin bunuh diri.