Ada ungkapan “don’t judge a book by its cover”, kecuali untuk film-film horor-nya KKD yang sudah bisa dinilai buruk walau hanya dari judulnya saja (mutlak). Tak fair jika kita menilai bagus atau tidaknya film hanya dengan bermodal menonton cuplikan trailer, yang tujuan awalnya memang untuk membuat kita tertarik atau tidak tertarik menonton. Belum tentu film yang punya trailer menarik itu filmnya juga bagus, sebaliknya terkadang ada film yang trailer-nya biasa saja tapi begitu menarik ketika ditonton film utuhnya. Ada trailer yang justru misleading, filmnya berbeda jauh dengan yang kita bayangkan. Ada film yang lebih jelek dari trailer-nya, ada film yang lebih bagus dari trailer-nya. “Pohon Keramat” sebetulnya bisa dibilang lebih meningan ketimbang potongan-potongan adegan di trailer, yang sukses bikin minat nonton filmnya drop hingga 75%. Tapi setidaknya tak seperti trailer di film-film horor Nayato yang terlalu banyak mengobral isi cerita, alhasil minat menonton pun tersisa 5% saja—diperlukan sebuah mukjizat untuk dapat mengembalikan level minat tersebut ke posisi normal. Dengan sisa 25% tersebut saya memang tak berharap macam-macam dengan “Pohon Keramat”, hanya mau nonton dan tak punya niat lain, apalagi menjelek-jelekkan filmnya.

“Pohon Keramat” dibuka dengan adegan seorang dukun yang sedang sibuk dan asyik sendiri menggantung orang di sebuah pohon besar. Orang-orang tersebut katanya tumbal sebagai syarat untuk memiliki kekuatan yang lebih besar. Sayang sebelum sempat mencoba ilmu barunya, sang dukun sudah keburu dihajar habis hingga tewas oleh warga yang marah. Aneh, padahal katanya dukun sakti tetapi mati juga digebukin pakai kayu, mungkin tumbal si dukun kurang atau dia kena tipu iklan yang bilang “tumbal tiga orang dapat piring cantik…eh kesaktian maha tinggi”, kasihan si dukun. “Pohon Keramat” memang kurang memberikan sedikit detil pada cerita si dukun bernasib malang ini, padahal jika dieksplor lebih dalam bisa memberikan pondasi yang lebih kuat pada jalinan penceritaannya. Seperti “Danau Hitam”, prolognya hanya sekedar numpang lewat, tanpa penjelasan yang layak dan nantinya hanya menyisakan bertumpuk pertanyaan. Cerita tampaknya memang bukan fokus “Pohon Keramat”, walau (untungnya) film ini masih punya sesuatu yang bisa dinamakan cerita, tapi sungguh disayangkan penyampaiannya begitu amburadul dengan jalan cerita yang awalnya baik-baik saja, berkembang menjadi menggelikan di paruh kedua dan makin buruk di paruh akhir.

Saya tak punya masalah dengan konten daur-ulang, cerita klise tentang keluarga yang menempati rumah baru kemudian diganggu oleh hantu. Sudah banyak, iya saya setuju entah berapa ribu cerita yang memakai template seperti itu, tapi kan bukan berarti tidak boleh pakai, tidak ada yang mempatenkan, tak ada larangan untuk mengubahnya. Jadi sah-sah saja “Pohon Keramat” menceritakan lagi kisah soal keluarga yang diganggu hantu di rumah baru, masalahnya baru muncul saat film ini mengembangkan cerita dari template tersebut, termasuk bagaimana film nantinya menempatkan seorang dukun yang doyan cengengesan di opening film, sebagai sebuah prolog yang keberadaannya jadi terkesan untuk menuh-menuhin durasi saja, patut dipertanyakan dan tanpa kejelasan latar belakangnya. “Pohon Keramat” terlihat normal pada paruh pertama, begitu juga karakter-karakternya yang dimainkan sewajarnya ala akting di film-film televisi. Potensinya mengarah ke tempat yang menjanjikan, saya kira “Pohon Keramat” ini akan jadi horor yang menyenangkan, walaupun belum terlihat bagian menyeramkannya. Pada bagian paruh awal ini, George Hutabarat (Bidadari Pulau Hantu) sedang berada di jalur yang benar, dengan upayanya membangun atmosfir, menciptakan rasa cekam dan mengontrol hantu-hantu untuk tak (terlalu) narsis.

Sejujurnya “Pohon Keramat” mempunyai beberapa adegan yang terbilang cukup menyeramkan, termasuk satu adegan yang tampaknya sulit saya lupakan, ketika sosok hantu yang terselimut gelap tiba-tiba mengintip dari balik celah pintu yang sedikit terbuka. Potensi seram tersebut akhirnya terkubur sendiri oleh adegan-adegan lain yang targetnya meleset dari tujuan awalnya membuat saya takut dan akibatnya begitu fatal untuk “Pohon Keramat”. Ketika atmosfir seramnya begitu drastis turun dari yang masih bisa membuat bulu kuduk menegang, sampai pada akhirnya hanya bikin saya terkantuk-kantuk dibuat bosan, saat rasa cekam lama-lama mulai mengendurkan ikatannya, “Pohon Keramat” justru tak ingin mencari cara lain untuk menyelamatkan filmnya sendiri. Film ini seperti sudah kehabisan trik untuk menakuti penonton di separuh durasinya, tampak putus asa kemudian memunculkan cara-cara menakuti yang sangat menyedihkan. Alih-alih memberi rasa takut, saya malah tak tahan ingin melempar botol bekas minum ke wajah-wajah hantunya yang dipoles seadanya—mengingatkan saya pada hantu-hantu di film horor 80-an. “Pohon Keramat” pun makin ambruk di paruh akhir, belum lagi para pemainnya yang makin bingung harus akting seperti apa, satu-satunya yang masih terlihat sangat wajar adalah Alejandro yang bermain sebagai Dafa. Saya sebetulnya ingin sekali menyukai “Pohon Keramat”, mengingat film ini juga punya 1-2 adegan yang menyeramkan, tapi ketika diingat-ingat lagi lebih banyak adegan yang mengesalkan sekaligus menggelikan ketimbang seram.