Buat sebagian orang, khususnya mereka yang merasa terwakili karakter Dinda (Adina Wirasti) di film ini, pertanyaan “Kapan Kawin?” bisa jadi adalah momok yang menakutkan, mungkin lebih menyeramkan ketimbang bertemu kuntilanak yang nyasar minta diantar pulang ke pohon mangga. Di negeri yang punya kultur “mewajibkan” adanya pernikahan, mereka yang sudah melewati fase-fase “kelas berapa sekolahnya?”, “kuliah dimana?”, “sudah lulus?”, “sekarang kerja dimana?”, lalu “sudah punya pacar?”, pastilah suatu ketika bakalan berhadapan dengan fase kehidupan berikutnya yang mempertanyakan “kapan menikah?”. Sebagian orang ada yang cuek, sebagian lagi menghindari acara-acara kumpul keluarga, karena tak mau terus diteror oleh pertanyaan “kapan kawin?”, sebagian (lagi) yang telah terlanjur dipaksa ikut, harus rela diberondong pertanyaan bertubi-tubi, layaknya tentara sekutu yang digempur oleh pasukan pertahanan Jerman ketika mendarat di pantai Omaha pada saat “D-Day”. Jika dulu sempat ada iklan rokok yang angkat isu “kapan kawin?” dengan melontarkan jargon lucu “maybe yes maybe no” lewat mulut Ringgo Agus Rahman. Sekarang, disutradarai Ody C Harahap (Cinta/Mati) isu tersebut kembali terangkat dalam sebuah film bertema komedi romantis.

Dibilang banyak, kita memang punya banyak film komedi romantis, namun akan jadi sedikit jumlahnya jika di-filter mana judul yang benar-benar berkesan untuk saya. “7 Hari 24 Jam” yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo dan “Test Pack: You Are My Baby” yang sama-sama dibintangi Reza Rahadian, adalah contoh film komedi romantis yang tak hanya mengandalkan wajah ganteng-cantik doang dan jago akting, tapi juga chemistry yang klop. Judul-judul yang gagal membuat saya terkesan memang kebanyakan kesandung masalah yang terulang, mengacuhkan satu bumbu penting dalam resep film komedi romantis, yaitu chemistry. Percuma jika sebuah film memiliki pasangan yang bisa akting tapi ketika disatukan dalam satu frame justru terasa hambar, karena lupa menambahkan chemistry barusan. Tak mudah untuk bisa romantis sekaligus menampilkan unsur komedi, terlihat kocak di hadapan penonton, banyak film-film komedi romantis kita “tidak lulus” pun karena hanya bisa menangani salah-satunya, atau lebih parahnya lagi gagal meramu keduanya. Kebanyakan film-film tersebut terlalu memaksa untuk kocak dengan segala cara yang ujung-ujungnya justru garing total, kadang melupakan bagian untuk romantis atau sebaliknya. Terlalu ingin dipandang romantis, tapi berujung obral gombal murahan ditambah lupa bikin ketawa.

“Kapan Kawin?” tampaknya sudah belajar banyak dari kesalahan-kesalahan film-film komedi romantis yang gagal, sekaligus mempelajari bagaimana melakukan semuanya dengan benar dari film-film yang sukses. Well, tak ingin banyak basa-basi “Kapan Kawin?” sejak awal sudah tegas menggarisbawahi main plot-nya dan memang nantinya setia tak ingin mambawa cerita kemana-mana, mencoba untuk tetap di jalurnya. Walaupun bagian konklusinya terkesan menggampangkan dan tambahan “sesuatu” di paruh akhirnya begitu instant, maksa dan tiba-tiba, tetapi kesalahan tersebut nantinya seakan tertutupi oleh kelebihan film ini dalam soal menyampaikan ceritanya, ditambah chemistry apik yang diperlihatkan oleh Reza Rahadian dan Adina Wirasti. Dinda dan Satrio nantinya tidak saja harus bekerja keras untuk meyakini kedua orangtua Dinda, bahwa mereka sedang berpacaran, tetapi juga kedua orang yang memainkan Dinda dan Satrio, yakni Reza dan Adina harus juga meyakinkan kita para penonton bahwa mereka berdua sedang terikat oleh sesuatu bernamakan cinta. Yah cinta itu menghampiri perlahan, sambil kita nantinya diberikan waktu yang cukup untuk mengenal siapa Dinda dan siapa itu Satrio dibalik casing-nya yang esentrik dan idealis kalau sudah berbicara urusan akting—idelisme yang nantinya harus berkompromi dengan uang 5 juta.

Ditengok dari segi ceritanya, “Kapan Kawin?” memang sederhana dan tidak ingin neko-neko ketika nanti mengembangkannya. Alurnya begitu bersahabat dengan jalinan cerita yang bergulir apa adanya, ada dramatisasi tapi memang diperlukan untuk beberapa adegan tertentu demi menegaskan apa yang ingin disampaikan sutradara lewat adegan tersebut. Adegan yang memperlihatkan Satrio menolong Gatot (Adi Kurdi), ayahnya Dinda yang berakting sakit itu misalnya. Komedi dan romansa berjalan bergandengan, walaupun bagian lucunya lebih dominan, tetapi kedua porsinya ditampilkan dengan takaran yang pas. “Kapan Kawin?” nantinya tahu kapan waktu yang tepat untuk menggelar lawakannya dan waktu yang pas untuk menyetel bagian yang serius, masing-masing punya waktunya. Nah, kedua unsur pun, komedi dan romansa tersebut tidak dipertontonkan untuk memaksa saya untuk tertawa maupun terenyuh melihat aksi Dinda dan Satrio, mau itu saat sedang ngelawak atau serius. Disinilah “Kapan Kawin?” jadi istimewa, bagaimana film ini memperlakukan karakternya, bisa dikatakan sebelum Dinda dan Satrio jatuh cinta, saya lebih dahulu dibuat jatuh cinta oleh mereka. Reza Rahadian dan Adina Wirasti tidak saja menghadirkan performa akting yang luar biasa, mereka berdua juga mampu hadirkan chemistry yang begitu manis hingga saya akhirnya lebih peduli sekaligus yang terpenting adalah jatuh hati dengan keduanya.