Saya mengenal pertama kali nama Ifa Isfansyah di “Garuda di Dadaku”, seorang sutradara yang menurut saya mampu membuat film tidak hanya untuk ditonton oleh mata, tapi juga mengajak perasaan dan hati untuk ikut bergabung menonton bersama. Jadi ketika selesai menonton film-film Ifa, saya tidak hanya membawa pulang “apa yang sudah saya lihat” tapi juga “apa yang sudah saya rasakan”, dan percayalah yang nomor dua itu lebih lama membekas. Perasaan menyenangkan itulah yang saya rindukan dari film-film Ifa, makanya semenjak film buatan 2009 tersebut, saya tak mau terlewatkan pengalaman menonton film Ifa di layar besar alias bioskop. Apapun statusnya, sebagai sutradara atau penulis skrip, ketika ada nama Ifa Isfansyah disana, ada kewajiban untuk menonton filmnya. Ketika duduk di bangku penyutradaraan, Ifa mampu mengemas sebuah keserdehanaan cerita menjadi tontonan yang begitu istimewa, itu terlihat saat Ifa menyutradarai film-film anak seperti “Garuda di Dadaku” (2009) dan “Ambilkan Bulan” (2012). Kita sekali lagi tak saja diajak menonton, tapi diajak serta untuk “main” ke dalam film, masuk dalam kehidupan karakter-karakternya tanpa dipaksa-paksa.

Ifa Isfansyah tahu cara menceritakan filmnya, cara bertuturnya khas, dan mampu mempresentasikan adegan demi adegannya dengan alur yang mengalir nyaman sekaligus asyik. Semua bisa terlihat di “Sang Penari” (2011) dan “9 Summers 10 Autumns” (2013), di kedua film tersebut Ifa seperti membuktikan apa yang telah saya sebut di paragraf awal, filmnya begitu mementingkan rasa. Memanipulasi perasaan penonton tak mudah, tapi Ifa tahu betul bagaimana caranya membuat kita hanyut terbawa emosi, dengan takaran drama yang apa adanya tanpa ingin berlebih-lebihan. Jadi ketika saya mendengar “Pendekar Tongkat Emas” bakalan dipegang oleh Ifa Isfansyah, saya tidak saja girang, tapi sekaligus penasaran akan jadi apa film silat-silatan di tangannya. Filmnya sendiri akan memfokuskan cerita pada sebuah tongkat berlapis emas maha sakti, yang nantinya diperebutkan oleh dua kubu pendekar, pendekar yang memang pewaris sebenarnya dan pendekar lain yang mengklaim dialah yang berhak atas tongkat emas yang katanya punya kekuatan tak tertandingi tersebut. Untuk ranah film bertema dunia persilatan, saya sebetulnya tidak ingin bawel soal cerita, buat saya yang terpenting adalah bagaimana esekusi adegan berantem-berantem-baku-hantam-adu-jurus-nya. Ah, tapi karena ini film Ifa Isfansyah, mau tak mau saya juga ingin film yang katanya berbujet 25 milyar ini memiliki cerita yang bisa membuat saya peduli.

Sayangnya, “Pendekar Tongkat Emas” tidak seperti yang saya kira, terlepas dari keindahan Sumba yang disodorkan berlebih, film ini justru tidak terasa layaknya film-film Ifa sebelumnya. Kedua mata saya memang dimanjakan, tapi kali ini kok emosi saya dibuat menganggur. Padahal film ini punya durasi panjang untuk bisa mengantarkan emosi kepada penonton, sekaligus membangun ikatan antara kita sebagai penonton dan filmnya, chemistry itu justru terasa tipis dan hampir pudar menjelang di akhir film. “Pendekar Tongkat Emas” lebih tahu caranya memukul ketimbang bercerita, karena tak seperti film-film Ifa sebelumnya, entah kenapa 112 menit malah terasa begitu menyiksa. Cara bertutur dari babak ke babak tak semulus koreografinya, apalagi ketika kita sampai di pertengahan film, saat tema martial art bergeser sementara menjadi drama, yang memang justru lebih terasa dominan di film daripada unsur gebuk-gebukannya. Saya tidak bilang “Pendekar Tongkat Emas” tak boleh ada drama, drama di film silat-silatan juga perlu untuk membuat kita juga peduli pada karakternya, tak hanya jurus-jurusnya saja. Tapi sayangnya, bagian drama justru jadi titik terlemah film yang diproduseri oleh Mira Lesmana dan Riri Riza ini. Drama yang membosankan dengan alur cerita yang sulit untuk dinikmati, ketika durasinya makin habis, saya malah kehabisan alasan untuk bisa sepenuhnya suka dengan “Pendekar Tongkat Emas”.

Setelah awal yang menjanjikan, pertengahan film yang membosankan, dan saya kehabisan alasan untuk menyukai “Pendekar Tongkat Emas”, paruh akhir tentu jadi penentu, apakah keseluruhan film bisa diselamatkan. Saya akui ketika bicara soal visual dan teknis, film ini memang bagaikan jawara di dunia persilatan, tapi tak bisa menutupi kelemahannya yang terlihat begitu jelas. Saya ingin menyukai “Pendekar Tongkat Emas” secara sepenuhnya, apalagi ketika melihat sendiri film ini dibuat tidak main-main, termasuk design produksinya yang sukses memukau mata saya. Saya juga tidak punya masalah dengan urusan akting, Eva Celia sudah melakukan pekerjaan dengan sangat baik, begitu pula dengan Nicholas Saputra, Reza Rahadian, Tara Basro dan terlebih Christine Hakim yang luar biasa sebagai Cempaka, pendekar paling disegani di dunia persilatan. Satu-satunya yang masih mengganjal adalah karakter Angin yang diperankan oleh Aria Kusumah, sebagai karakter yang seharusnya cukup penting, tidak hanya pada perkembangan cerita nantinya, tapi juga pada karakter sentral yang dimainkan Eva Celia, si Angin kok rasa-rasanya disajikan “setengah matang”. Konsekuensinya, karakter Angin jadi karakter yang paling cepat disingkirkan dari memori kita, dalam artian karakter yang mudah dilupakan, kecuali untuk bagian yang mengingatkan Angin dengan Aang si pengendali angin dari serial kartun “Avatar” hehehe.

Kayaknya baru sekali ini, saya keluar bioskop dengan perasaan tidak tenang dan seperti ada yang mengganjal, karena biasanya saya selalu tersenyum puas begitu selesai menonton film-filmnya Ifa Isfansyah. “Pendekar Tongkat Emas” jadi yang pertama sukses membuat saya diselimuti perasaan kecewa, ekspektasi terkubur dan paruh akhir yang harusnya jadi penentu pun tak cukup banyak punya tenaga lagi untuk mengalahkan rasa kecewa saya. Lalu bagaimana dengan aksi laganya, well setidaknya saya terhibur saat film ini mulai menampilkan (lagi) adegan para pendekar yang saling adu jurus. “Pendekar Tongkat Emas” untungnya tidak lupa dengan kodratnya sebagai film silat. Stok jurusnya cukup variatif dengan sederet koreografi yang telah lebih disiapkan secara matang. Hasilnya adegan tarungnya bisa ditampilkan dengan mulus dan asyik dari gerakan satu ke gerakan lainnya, dari jurus yang satu ke jurus yang lain. Hanya terkadang tidak didukung editing yang pas, dimana beberapa pertarungan terlihat jadi tidak utuh. Namun saya tak bisa bohong setiap kali “Pendekar Tongkat Emas” mulai memamerkan adegan tarungnya, saya memang benar-benar terhibur. Well, sebagai film yang semenjak awal memang di-treatment untuk jadi film hiburan, film ini tidak saja sudah beri saya tontonan yang menghibur, tapi sekaligus mengingatkan betapa saya kangen menonton film Indonesia dengan genre silat-silatan, yang memang sudah sangat langka sekarang ini.