Jose Poernomo terbilang lebih produktif tahun ini dalam urusan menakut-nakuti, menyutradarai tiga film horor sekaligus, termasuk “Danau Hitam” yang bakalan saya bahas sekarang. Sebelumnya ada “Nina Bobo” disusul “Rumah Gurita” yang sudah lebih dulu mencoba menakut-nakuti penonton Indonesia. Tahun lalu, Jose hanya menyutradarai dua film horor, yakni “308” dan “KM 97”. Jose juga sempat menyutradarai satu film ber-genre drama berjudul “Moga Bunda Disayang Allah” dan memproduseri satu lagi film horor berbalut komedi di tahun 2013, dengan judul “Pokun Roxy”. Seperti “Rumah Kentang” yang sukses mengumpulkan 400 ribuan penonton dan masuk dalam 10 besar film terlaris di 2012, film-film Jose berikutnya berhasil kembali bercokol di daftar tersebut. Dengan perolehan 300 ribuan penonton, “308” yang sebelumnya berjudul “Samudra Hotel” ada di posisi ke-9 film terlaris di 2013. Dengan perolehan jumlah penonton yang sama, yaitu 300 ribuan penonton, tahun ini “Rumah Gurita” sukses mengklaim posisi ke-10 di daftar film terlaris 2014. Pertanyaannya sekarang, apakah “Danau Hitam” pun mampu jadi yang terlaris dan melompati perolehan penonton yang didapat film rumah yang diatapnya ada patung gurita raksasa tersebut? Kita lihat saja nanti.

Lalu apakah angka 400 ribu atau 300 ribu bisa jadi patokan film tersebut berarti film bagus? Saya setuju kalau ada yang bilang filmnya laku, tapi “film laris = film bagus” adalah pemikiran yang salah kaprah. Film-film Nayato dulu ketika berjaya selalu sanggup menembus angka 400 ribuan, seperti “Akibat Pergaulan Bebas”, bahkan angka fantastis 800 ribuan lewat film “Hantu Ambulance” di tahun 2008 (dengan nama Koya Pagayo). Di tahun 2009, “Air Terjun Pengantin” dengan aksi Tamara Bleszynski melawan dukun bertopeng petruk, jadi salah-satu film paling digemari alias terlaris kala itu. “Arwah Goyang Karawang” dengan mudah dapat 700 ribuan penonton hanya bermodal adegan asli perkelahian antara Mbak Julia Perez vs. Dewi Persik, yang sengaja diselipkan di tengah-tengah film. Nah melihat judul-judul film tersebut, saya kok jadi ingin tertawa kalau ada yang menyebut-nyebut film bagus itu adalah film yang laris. Iyah, ada beberapa judul film bagus yang memang laris manis, sebut saja bunga…eh maksud saya seperti “Berandal” misalnya. Tapi bukan berarti mutlak semua film laris itu bisa disebut film bagus, saya berani bilang judul-judul film laris diatas adalah film jelek, termasuk “Mall Klender” dan “Rumah Gurita”. Sungguh disayangkan apabila ada anggapan kalau film berkualitas buruk bisa berlabel bagus hanya karena ditonton lebih banyak orang. Jadi bisa dikatakan film yang penontonnya lebih sedikit seperti “Angker”, sudah dipastikan film jelek, terserahlah mau ngomong apa.

“Danau Hitam” jelas mempunyai target untuk jadi film terlaris tahun ini, formula yang dipakai tidak jauh dengan film-film Jose Poernomo sebelumnya. Untuk soal kualitas, saya akui urusan gambar, Jose yang juga merangkap tugas sebagai DOP alias penata kamera sudah sanggup memperdaya mata penonton dengan visual-visual yang indah. Tapi untuk kualitas horor-nya, “Danau Hitam” tidak jauh lebih buruk dari “Rumah Gurita” dan kawan-kawan. Jose memang khatam betul ketika berurusan dengan menempatkan kamera-kameranya agar bisa mengambil angle artistik nantinya, didukung dengan lokasi ciamik dan setting yang dimanipulasi sedemikian rupa agar tampil rupawan saat ditangkap kamera. Teknis mengambil gambar menurut saya memang jadi nilai plus di “Danau Hitam”, tapi apakah Jose juga cermat menggabungkan gambar bagus itu ke dalam film horornya? bisa iya, dan bisa juga tidak. Iya, ketika segala macam setting lokasi berkabut itu memiliki potensi untuk membuat suasana di “Danau Hitam” menjadi mencekam, ditambah sudut pengambilan gambar yang tepat, di bagian ini tehnik Jose saya anggap bisa diterima. Well, satu hal lagi yang patut diapresiasi di film ini yaitu tata suara-nya, sound design diperhatikan betul agar nantinya pengalaman menonton bisa lebih nyaman dan manusiawi tanpa harus se-berisik “Rumah Gurita”. Okay, sampai di dua bagian tersebut—gambar dan suara, saya suka apa yang dilakukan “Danau Hitam”, setidaknya memperlalukan penonton secara manusiawi.

Sayangnya film yang diramaikan oleh Nadine Chandrawinata, Denny Soemargo, Ganindra Bimo, Maria Selena dan Daniel Topan ini tak banyak berbicara saat tiba waktunya untuk menakuti penontonnya, termasuk saya. Tidak seburuk film-film Jose sebelumnya, tapi masih tetap buruk. Apalagi saya sudah dibuat mabuk lebih dulu oleh ratusan jam dubstep sebagai musik pengiringnya, seperti tak cukup ada di pembuka film, iringan musik ajeb-ajeb ini akan dimasukkan tanpa memikirkan apakah cocok atau tidak. Saya suka dubstep tapi “Danau Hitam” hanya ingin sok asyik, itu yang membuat film ini gagal sebelum horornya muncul. Sepertinya film harus punya adegan yang cocok dipasang musik dubstep, jadi tidak penting saat film justru memerlukan durasi lebih untuk atmosfir yang perlu dibangun atau rumah yang perlu banyak dieksplor. Coba kalau “Danau Hitam” peduli sedikitlah dengan atmosfir, setidaknya jump scare-nya yang basi (mungkin) bisa tertutupi. Karena film ini menjanjikan pengalaman yang mencekam, dari lokasi dan setting-nya, namun karena kehabisan durasi untuk main-main tidak penting dan adegan ratusan jam dubstep tadi, maka bagian horor dikemas terburu-buru. Belum lagi saya sama sekali tidak diberi waktu untuk peduli dengan karakter-karakternya. Jadi, “Danau Hitam” hanyalah horor ajeb-ajeb yang jauh dari kata seram, sekali lagi saya harus melambaikan tangan, saya menyerah, buruk.