Untuk orang yang menyukai film horor, buat saya tidak ada yang lebih “horor” daripada menonton film drama Indonesia. Terkadang apa yang dipertontonkan lebih menyeramkan ketimbang penampakan-penampakan di film horor. Apapun ceritanya—biasanya sih tidak jauh dari tema perselingkuhan dan cinta segitiga dengan tambahan penyakit kronis—formulanya tetap itu-itu aja, mengandalkan seribu adegan nangis-nangisan untuk menguras paksa emosi penonton, dengan hasil nihil. Film drama kita paling jago untuk urusan menyiksa, cerita bisa nomor dua, bagian krusialnya tentu saja mengeksploitasi kemalangan dan menjejalkan nasib sial bertubi-tubi pada karakter utamanya. Cara instant untuk mendapatkan simpatik penonton, seperti halnya rumus penampakan setan lima menit sekali di film horor. Sebuah jalan pintas yang pada akhirnya hanya mengorbankan cerita, mengabaikan karakter pendukung dan menyia-nyiakan durasi film. Memang tak semua film drama kita seburuk itu, tapi kebanyakan menganut “ajaran” serupa, dimana penonton tidak dianggap sebagai manusia, lalu apa? Entahlah.

Alasan diatas tersebut yang kadang membuat saya berpikir empat kali untuk beli tiket, nonton film Indonesia ber-genre drama. Tapi ujung-ujungnya bakalan saya tonton juga dan berakhir dengan penyesalan—tidak ada kapoknya. Kan saya tak pernah tahu bagus atau tidaknya film tanpa dicoba dulu, syukur-syukur tebakan saya salah dan ternyata filmnya diluar perkiraan malah bagus. Walau seringnya sih saya bernasib sial dan ketemu film yang hanya bikin mood saya berantakan untuk seminggu ke depan. Ketika bioskop adalah salah-satunya cara untuk kabur dari tayangan televisi yang menggelikan, harapan saya justru dibuat pupus saat film bioskop ternyata hanya mengadaptasi formula sinetron, mempertontonkan versi layar lebar dari episod-episodnya yang dangkal. Pengalaman sinematiknya jelas tidak ada, saya malah membawa pulang pengalaman buruknya saja. Sekali lagi tak semua film drama kita dibuat seburuk itu, film seperti “Assalamualaikum Beijing”-lah yang membuat saya kembali ke bioskop, karena saya masih percaya dari puluhan film drama yang bikin saya pusing kepala, nantinya akan ada film yang bisa memperbaiki wajah cemberut saya dan mengembalikan senyum. Nah film yang dibintangi Revalina inilah salah-satu film tersebut.

“Assalamualaikum Beijing” akan memperkenalkan kita dengan Asmara (Revalina S Temat) yang gagal menikah karena calon suaminya, Dewa (Ibnu Jamil) ternyata selingkuh sekaligus menghamili perempuan lain. Kesempatan untuk move on dan melupakan patah hatinya datang ketika Asma—panggilan akrab Asmara—dapat tawaran kerja di Beijing, berkat bantuan Sekar (Laudya Cynthia Bella), sahabat Asma yang sudah lebih dahulu bekerja disana. Tak disengaja ketika sedang jalan-jalan Asma bertemu dengan Zhongwen (Morgan Oey), yang nantinya tidak saja menjadi pemandu Asma pergi ke satu tempat ke tempat lain untuk urusan kolom tulisannya, tapi juga orang yang akan memandu hati Asma untuk melupakan rasa pahit masa lalu. Tak dipungkiri “Assalamualaikum Beijing” memiliki kandungan cerita yang bisa dibilang tidak lagi baru, temanya lagi-lagi berputar di soal cinta segitiga, tapi yang membedakan film ini dengan film lain adalah kemasan serta bagaimana film yang diadaptasi dari buku karangan Asma Nadia ini menuturkan ceritanya. Memang tidak sempurna dengan beberapa kekurangan, tapi kemudian tertutupi karena film ini peduli untuk bercerita bukan hanya bikin nangis.

Seperti di “Tampan Tailor”, Guntur Soeharjanto dan Alim Sudio lagi-lagi mampu menyertakan hati dalam filmnya. Itulah kenapa “Assalamualaikum Beijing” jadi terasa berbeda dari film drama lainnya. Didukung oleh penampilan akting manis dari Revalina dan performa yang tak kalah baiknya dari Morgan Oey, yang dapat ciptakan chemistry yang pada akhirnya membuat saya peduli dengan hubungan keduanya. Film ini kemudian sanggup memberikan apa yang tidak bisa diberikan oleh film sejenis, yaitu mempersilahkan penonton untuk menikmati cerita tanpa harus disiksa oleh rentetan adegan tangis-tangisan. Sebagai pemicu, adegan yang tujuannya untuk mengajak penonton ikut tersentuh memang diperlukan, drama tidak akan lengkap dengan adegan macam itu. Di “Assalamualaikum Beijing” pun kita bakal menemui beberapa adegan sedih-sedihan yang sengaja ditempatkan agar kita lebih peduli pada cerita dan karakternya. Tapi adegan tersebut tersaji wajar dengan takaran drama yang serba pas, walaupun sekali lagi menjejalkan kita dengan cerita salah-satu karakternya yang sakit parah. Mungkin kalau film lain saya akan menyerah duluan dipertontonkan adegan orang batuk darah, tapi untungnya “Assalamualaikum Beijing” tidak pernah punya niatan untuk merusak tatanan drama yang telah dibangun dengan cukup baik, hanya untuk alasan klise “jualan”, mengobral adegan nangis dan batuk darah semata.