Baru beberapa hari lalu saya sempat merekomendasikan “Mari Lari” ke seorang teman yang kebetulan menyukai olahraga lari, dan hari ini (kira-kira seminggu setelah saya menonton) filmnya sudah menghilang alias turun layar, termasuk di bioskop langganan film Indonesia (biasanya di bioskop ini film Indonesia punya umur tayang sedikit lebih panjang ketimbang bioskop lainnya). Saya tidak tanya lagi apakah teman saya itu sempat menonton atau tidak, semoga saja sudah. Oh film Indonesia, kian hari nasibnya makin susah, film horor murahan yang biasa laku dengan jumlah penonton ratusan ribu, sekarang pun tampak kesulitan, yah apalagi film sejenis “Mari Lari”. Film Indonesia memang tak bisa ditebak, apakah bisa laku atau tidak, apakah bisa 300 ribu penonton atau malah tidak sampai 50 ribu, saya sudah lama menyerah menerka-nerka jumlah penonton. Film seperti “Viva JKT48” yang berpotensi menjaring banyak penonton—melihat jumlah fans JKT 48 yang besar dan tersebar di pelosok negeri—ternyata tak berdaya ketika harus berurusan dengan penonton kita yang malas dan sulit untuk diajak nonton film Indonesia, pada akhirnya jumlah penonton tetap jeblok. Mereka yang suka JKT 48 belum tentu suka ke bioskop, mereka yang gemar lari pun tampaknya tak banyak yang punya running plan ke bioskop nonton film Indonesia.

Seminggu tayang di bioskop itu sudah beruntung, dengan tambahan kebijakan bioskop kita yang sama sekali tak menolong, terhitung sadis—hari pertama dan kedua tak banyak penonton, siap-siap disikat—dan jumlah layar yang nayangin film Indonesia pun dibatasi, kecuali jika filmnya laris seperti “Berandal” atau tak disangka-sangka tahunya meledak seperti “Comic 8”, tidak saja jumlah layarnya yang ditambah tapi juga pindah ke studio yang lebih besar kapasitasnya. Bioskop juga tak bisa melulu disalahkan, mereka yang punya “lapak” akan mikir untung, buat apa jualan film yang sudah tak ada penontonnya, lebih baik turunin filmnya dan ganti film lain, toh setiap minggu film Indonesia yang baru sudah mengantri. Lalu siapa yang salah? Penonton atau jaringan bioskop, biar adil semua memiliki dosanya masing-masing untuk film Indonesia, penonton yang tidak cepat-cepat nonton (termasuk saya) dan bioskop yang sadis soal kebijakan tayang. Trus film-film yang punya kualitas buruk pun patut ditunjuk jadi biang kerok, berapapun jumlah film Indonesia yang bisa dinilai bagus dan berkualitas, toh sampai hari ini saya masih menemui orang yang bilang film Indonesia tak pantas untuk ditonton di bioskop karena horor esek-esek semua. Miris, melihat setiap kamis akan ada 3 film baru yang saling “gontok-gontokan” berebut penonton, sambil harap-harap cemas semoga tidak dipaksa turun di minggu berikutnya.

Lebih miris lagi, saya menonton “Mari Lari” sendiri, benar-benar saya sendiri di dalam bioskop (ditemani mbak penyobek tiket yang duduk di kursi paling depan sambil menunggu penonton yang tak kunjung datang), padahal bioskop tengah ramai bukan main. Pilihan mayoritas penonton tertuju pada dua film Hollywood, ada  “How To Train Your Dragon 2”  dan “22 Jump Street”, sedangkan ketika saya tiba di loket pembelian tiket, belum satupun kursi berwarna merah yang artinya belum ada penonton. Well, sayang sekali “Mari Lari” yang mengusung tema unik tentang olahraga lari, justru ditinggal “lari” penonton yang lebih memilih studio sebelah. Yup! “Mari Lari” ini unik, walau beberapa kali ada film Indonesia dengan tema olahraga—biasanya sepakbola—tapi Delon Tio berani mengangkat sesuatu yang belum pernah dicoba filmaker lain, yaitu lari. Di tengah maraknya olahraga lari, khususnya di Jakarta, dimana setiap minggu selalu ada event yang berkaitan dengan lari, termasuk maraton, “Mari Lari” muncul di saat yang tepat. Sayangnya merilis film dengan membawa tema atau sesuatu yang sedang digandrungi atau nge-hype saja belum cukup, sekali lagi penonton kita sulit ditebak apa maunya. Sayang sekali film semacam “Mari Lari” yang jelas-jelas menarik dan berkualitas harus ditonton oleh hanya satu orang kala itu, saya sendiri, menyedihkan.

“Mari Lari” tak hanya ingin mengajak penonton untuk mulai lari dan hidup sehat, tapi juga menawarkan cerita yang asyik untuk diikuti, dan tanpa sadar kita juga diajak untuk masuk ke dalam dunia Rio Kusumo (Dimas Aditya). Rio adalah loser diantara karakter lain, seorang salesman yang tak pernah menyelesaikan apapun dalam hidupnya, termasuk kuliahnya yang tak selesai-selesai. Ninit Yunita sekali lagi begitu cemerlang dalam urusan tulis-menulis cerita, begitu mudah dicintai dan sama seperti yang dia lakukan dalam “Test Pack”, cerita yang ditulis olehnya begitu terasa personal, dekat dengan penontonnya, itu yang membuat saya lalu sangat menikmati “Mari Lari”. Cerita dengan mudah mendapatkan tempat yang khusus di hati saya, sederhana, menyentuh dan membuat kita peduli pada tokoh utama. Di tangan Delon, tiap babaknya kemudian dipresentasikan dengan sama baiknya dengan cerita yang ditulis Ninit, saling mendukung, menjadikan film ini menarik sejak start hingga finish. Apalagi ketika lari tak saja tampak jadi sesuatu yang sangat-sangat menarik (hingga saya ingin segera bangun pagi esok hari dan mulai lari), tapi ditampilkan sebagai sebuah metafora yang membungkus nilai-nilai filosofis yang hendak film ini sampaikan. Maraton tak saja jadi bagian yang menghibur tapi juga menggambarkan apa yang ingin dicapai dan diperjuangkan oleh karakter Rio, untuk pertama kalinya dia ingin menyelesaikan apa yang dia mulai. “Mari Lari” tetaplah film ringan yang menghibur, di luar pesan-pesan yang ingin disampaikan ke penonton dan itu wajar dan sah-sah saja, terserah kepada penonton pesan apa yang ingin mereka ambil, karena toh film ini tak memaksa untuk jadi film yang penuh pesan moral dan menggurui sepanjang durasinya. Didukung juga oleh sisi teknis yang ciamik dan performa akting yang mumpuni, termasuk chemistry yang klop antara Dimas Aditya dan Olivia Lubis, “Mari Lari” adalah film yang jempolan dalam menggabungkan semua elemennya, salah-satu film favorit saya di tahun 2014, menyenangkan.