Shandy Aulia hanya punya satu wish di hari ulang tahunnya yang ke-23, kepingin mata batinnya terbuka dan bisa melihat setan, tapi setelah permintaan terkabul dan satu demi satu hantu menampakan diri, Shandy langsung jejeritan berharap dirinya tak pernah main di film macam “Mall Klender”. Sedungu karakter Karina yang dimainkan oleh Shandy—untuk ketiga kalinya main di film horor produksi Hitmaker Studios, setelah sebelumnya “Rumah Kentang” dan “Samudera Hotel”, yang kemudian ganti judul jadi 308—sedungu itu juga film yang memiliki judul internasional “The Mall” ini nantinya membeberkan horor sekaligus plot cerita. Saya sebetulnya tak peduli “Mall Klender” mau membangun pondasi cerita kayak apa, termasuk (lagi-lagi) memboyong premis sekelompok anak muda kota yang tidak punya kerjaan, datang ke tempat-tempat yang dipercaya angker untuk cari setan. Lalu dengan konyol, Shandy yang terobsesi mempunyai acara investigasi alam gaib ini menerima tantangan dikunci dalam mall selama 24 jam. Beserta teman-temannya, Shandy ditantang untuk membuktikan kalau mall yang pernah makan korban ketika kerusuhan Mei 1998 tersebut, memang banyak penunggu alias berhantu. Alasan bodoh untuk ketemu setan, tapi baiklah saya akan ikutan saja apa mau film ini, toh saya datang untuk ditakuti bukan cari cerita bagus.

Jadi apakah “Mall Klender” menyeramkan? Well, harus diakui saya sudah begitu lama tidak merasa merinding menonton film horor Indonesia, baru-baru ini ada “Kemasukan Setan” dan saya menyesal tak sempat mencicipinya di bioskop. Oke, balik lagi ke pertanyaan awal, apakah “Mall Klender” seram? Dibuat merinding bukan berarti saya langsung memberikan status seram begitu saja, dengan hanya dua adegan seram, film ini justru pantas dimahkotai film horor gagal. Jujur, saya ingin “Mall Klender” berhasil, saya ingin setidaknya ada satu saja film horor lokal yang betulan horor diantara tumpukan judul horor terbelakang. Sayangnya saya kembali dikecewakan, walaupun dirasa lebih baik ketimbang produksi Hitmaker sebelumnya, “Mall Klender” harus jatuh di lubang yang sama. Horor instant yang tidak mau capek-capek bangun atmosfir yang cukup untuk menopang setiap trik menakuti-nakuti yang ada dalam filmnya. Padahal “Mall Klender” punya banyak potensi untuk memberikan rasa tidak nyaman dan paranoid ke kepala penonton, sayangnya setiap pojokan dan lorong mall tidak dimanfaatkan secara maksimal. Yah, mengambil lokasi dari beberapa pusat perbelanjaan untuk dijadikan setting Mal Klender, saya sebetulnya sudah membayangkan banyak hal seram di kepala sendiri, begitu melihat mall kosong lengkap dengan tiap lantainya yang sepi dan lorong-lorong yang gelap. Namun film yang juga diramaikan oleh Tasya Kamila, Denny Sumargo dan Igor Saykoji ini lebih memilih untuk menyempilkan adegan-adegan yang tak perlu, hanya untuk tujuan jadi lucu atau jadi dramatis.

Bayangan saya sirna akan film horor yang layak, layak untuk saya pada akhirnya berlindung dibalik kedua telapak tangan. Dua adegan seram yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya tak mampu menutup-nutupi horor basi yang disodorkan “Mall Klender”. Tanpa penampakan yang menggebu-gebu pun, film ini harusnya bisa memberikan rasa takut yang maksimal, jika sekali lagi mall segede itu dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Beberapa kali “Mall Klender” tampak punya niatan untuk membangun atmosfir dan memberikan nuansa tidak nyaman, tapi banyak hal yang menyebabkan upaya tersebut kandas di tengah jalan. Padahal scoring-nya sudah disetel dengan mood yang tepat, yah tidak terlalu berisik seperti film-film horor lain yang biasanya bikin kuping saya keluar darah. Tak banyak waktu untuk membangun atmosfir, “Mall Klender” kemudian tidak mampu men-deliver ketakutan yang dirasakan para pemainnya, pada akhirnya upaya untuk ciptakan nuansa spooky, creepy, apapun namanya selalu gagal. Percuma jika film tampak sudah susah-susah menciptakan feel horor yang diperlukan tapi aktingnya jeblok hanya teriak-teriak kosong. Mungkin harusnya kamera tak perlu menyorot para pemainnya, sudah fokus saja mengambil gambar-gambar mall, tapi seangker dan seseram apapun lokasi yang jadi latar belakang film, kita butuh seorang pemain untuk berbagi rasa takut, membuat filmnya kemudian terasa real. “Mall Klender” tak bisa melakukan itu, alhasil film ini gagal mengajak saya ikut takut.

Untungnya, “Mall Klender” tak termasuk horor dengan formula “hantunya yang muncul setiap lima menit sekali”, walaupun beberapa penampakan dirasa tidak menakutkan dan punya cara menakuti yang basi. Penampakan hantunya bisalah dibilang manusiawi dan tidak membuat saya harus scan otak setelah menonton, sayangnya sekali lagi penampakan para pemainnya merusak adegan horor yang ada, apapun hantu yang muncul. Belum lagi ketika dialog-dialog yang hilir-mudik di film ini makin membuat rasa takut saya semakin anjlok ke level terendah. Yah, dialog menggelikan yang makin mempertegas kebodohan karakternya. Mautnya duet akting buruk Shandy Aulia dan Denny Sumargo kembali dipertontonkan, hanya berbeda lokasi, dulu hotel sekarang harus berjibaku dengan hantu di mall. Berapa kalipun dipertemukan dengan hantu, berapa kalipun atmosfir itu dicoba untuk dibangun, “Mall Klender” tak lebih dari pengulangan akting-akting buruk Shandy di “Rumah Kentang” dan dirinya dengan Denny di “Samudera Hotel Ganti Judul Jadi 308 Karena Mau Sok Kontroversial”. Adegan di kamar mandi mall itu memang efektif, memanfaatkan ke-parno-an siapapun yang takut dengan toilet. Saya juga berhasil dikagetkan dengan adegan jelangkung-nya, walaupun adegan tersebut sangat-sangat menggelikan. Sayang, kedua adegan yang disiapkan lebih baik ketimbang yang lainnya tersebut harus tertutup karena secara keseluruhan “Mall Klender” tampil mengecewakan dengan presentasi “B3”-nya, BASI urusan horornya, BODOH akting para pemainnya dan BURUK dialognya.