Helfi Kardit membuat film action?! Saya sampai kucek mata berulang-kali untuk memastikan saya memang tak salah lihat. Agak sulit percaya—sama dengan saya yang tak percaya ketika Nayato akhirnya bikin film bagus (katanya) atau pada saat KKD memutuskan untuk tobat—bukannya ingin meremehkan kemampuan seorang Helfi, tapi melihat rekam jejak film-film yang disutradarainya, wajar jika kemudian saya ragu. “Suster Keramas”, “Setan Facebook”, “Mati Muda di Pelukan Janda”, “Arwah Goyang Karawang”, apapun genre-nya, mau horor atau komedi, Helfi selalu sukses membuat saya sakit kepala bercucuran darah dari hidung dan kuping. Oke saya memang berlebihan—maaf, kebiasaan blak-blakan kalau sudah mengulas film yang kualitasnya bobrok—tapi soal sakit kepala itu true story (ala film Nayato) bukan mengada-ngada. Bermodal sudah menonton (belum semua) film-film Helfi itulah, makanya saya kaget, shock, terkejut ketika tahu namanya terpampang sebagai sutradara “Guardian”. Sebetulnya ada satu faktor lagi yang membuat saya semakin tidak yakin dengan film ini, nama Skylar Pictures, okelah “Tebus” bisa jadi pengecualian, filmnya bisa dikatakan lumayan (saya juga kasih 3 bintang di review saya), tapi saya tidak pernah lupa dengan “Jinx” dan “Surat… surat apa yah? Oh, Surat Kecil Untuk Tuhan”, tidak lupa betapa buruknya kedua film tersebut. Saya kemudian punya cukup alasan untuk meragukan “Guardian”.

Saya akui “Guardian” tidak meyakinkan, saya sudah jelaskan alasan dangkal saya di paragraf sebelumnya, menonton cuplikan trailer-nya pun tak mempengaruhi apa-apa, keraguan saya tetap tidak bisa “digoyang”. Tapi, pada akhirnya toh saya tetap menonton, karena mungkin “Guardian” bisa menjadi the next “Tebus” bila diberi kesempatan untuk ditonton dulu, siapa tahu keraguan saya itu salah. Well, sayangnya di 10 menit awalnya, film ini justru makin membuat saya kehilangan faith, entah kekuatan apa yang membuat saya kemudian bertahan melahap sisa durasinya, 80 menit yang serasa selamanya. “Guardian” adalah film action hampa yang tidak berasa greget aksinya, iya disana ada pertarungan senjata dan tangan kosong, beberapa mobil yang sengaja dibuat penyok-penyok dan dibuat jungkir-balik pun disiapkan, suara tembak-tembakan serasa tidak pernah ada habisnya. Bahan-bahannya menurut saya sudah disiapkan cukup lengkap, sayang ditangan Helfi, “Guardian” terhidang berantakan dan tak punya rasa. Saya belum sampai ngomongin soal cerita, baru di bagian action-nya yang begitu ambisius, bergelora dan menggebu-gebu tapi salah kaprah begitu diesekusi. “Guardian” terlihat asyik sendiri hancur-hancurkan mobil, menghambur-hamburkan peluru dan berantem sana-sini, namun gagal sampaikan rasa seru ke penontonnya, termasuk saya.

“Guardian” dibuka oleh adegan mobil sedan yang berputar-putar mencari jalan keluar di sebuah pelabuhan, sang pengemudinya tampak kesakitan dengan luka di sekitar dada, seperti habis kena tembak. Sambil berlumuran darah, akhirnya si pengemudi selamat sampai rumah, tapi ternyata dia sudah dibuntuti oleh cewek berjaket kulit serba hitam, seorang pembunuh bayaran yang hanya punya tugas yaitu menghabisi si pengemudi misterius. Setelah berjibaku dalam kamar mandi, sekaligus menghancurkan isinya, termasuk toilet, si pengemudi misterius kita yang kemudian belakangan diketahui adalah suami Sarah (Dominique Diyose) ini, harus rela meregang nyawa di tangan sang assassin. Sarah hanya bisa pasrah ketika menemukan suami tercintanya sudah tergeletak bersimbah darah tak lagi bernafas. Lompat belasan tahun kemudian, Sarah yang kini hanya tinggal berdua dengan putrinya Marsya (Belinda Camesi), terpaksa harus tinggalkan kehidupan normal ketika orang-orang yang dulu mengincar suaminya kembali lagi, kali ini sasarannya adalah putri perempuan satu-satunya. “Guardian” harusnya mampu tampil lebih baik lagi, sayangnya potensi untuk jadi film action yang setidaknya menyenangkan harus babak belur duluan. Padahal dengan menonjokan karakter cewek jagoan, “Guardian” bisa saja jadi film aksi laga yang beda.

Usaha “Guardian” untuk memoles adegan action pantas diacungi jempol, terlalu ambisius memang, jadilah filmnya terkesan memaksa. Saya terkesan saat melihat film ini begitu niat menyiapkan beberapa mobil yang sengaja dirusak, jarang ada di film kita, untuk menghemat bujet, ada sempilan mobil-mobil rekayasa digital. Nah, disinilah letak ambisiusnya, beberapa efek CGI ditempatkan tak sesuai dan terkesan biar terlihat eksplosif dan gila-gilaan, tapi yang saya lihat justru makin membuat filmnya tanggung, mau bagus jelas tanggung, mau jelek juga tanggung, kalau mau norak yah norak sekalian. Kalau memang mobil CGI yang terlempar dari jembatan lalu kemudian dihajar bis transjakarta CGI itu diniatkan menjadi lucu-lucuan, boleh, justru itu salah-satu adegan paling menghibur di film ini. Tapi adegan itu saya tahu adalah bagian dari ambisiusnya film ini, yang malah makin menjatuhkan filmnya. Belum lagi serangkaian adegan tarung yang tak teresekusi dengan baik, ditambah editing-nya yang mengganggu kenikmatan menonton. Iya bisa dibilang pukulan-pukulan yang dihempaskan “Guardian” selalu meleset dan tak meninggalkan bekas. Saya akan maklumi jika ceritanya menggelikan, dengan syarat bagian action harus bisa menutupi, sayangnya, bagian yang ingin ditutupi terlalu banyak, tidak hanya cerita melainkan juga akting dan dialog yang terlalu menggelikan dilihat mata dan didengar telinga. Well, sekali lagi dengan potensi yang begitu menjanjikan, “Guardian” justru asyik sendiri pamer monorail, berisik jedar-jedor-bag-big-bug-badeboom tapi keseruannya kosong dan sejak awal saya tak pernah dibuat untuk peduli pada karakter-karakter di film ini.