Lagi-lagi film cinta, lagi-lagi Fajar Nugros, saya jadi terkesan pembenci film tema cinta dan Nugros…nga juga. Saya hanya benci film cinta yang tak berusaha kerja keras untuk dicintai balik oleh penontonnya, dan untuk Nugros, saya tampaknya lebih menyukai film-filmnya ketika dia berstatus sebagai penulis skrip dibanding saat duduk di kursi sutradara. Saya suka sekali “Tendangan dari Langit” dan “9 Summers 10 Autumns”, tapi belum menemukan film Nugros yang benar-benar saya sukai, “Adriana” filmnya yang agak meningan, tapi itupun mudah dilupakan. Mungkin saya harus mencicipi “Queen Bee” (2009), kata orang sih film terbaik Nugros, ada yang punya DVD-nya, saya boleh pinjam nga? Hehehehe. Okay, saya tampaknya tak perlu panjang lebar menulis apa yang bakal diceritakan film “Me & You vs The World”, selain karena saya benci untuk spoiler, kalian bisa mencari sendiri sinopsis lengkapnya di internet, bahkan sampai ke ending. Lagipula tidak perlu bakat cenayang untuk mengetahui kemana arah film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Stanley Meulen tersebut. Duduk sebentar, formula klise film ini sudah memberitahu keseluruhan plotnya.

Kalau melihat judulnya yang terkesan menantang, “Me & You vs The World”, tak tahu kenapa filmnya justru bergulir datar, emosi saya tak merasa ditantang oleh apa-apa. Apa yang salah? Skenario yang ditulis oleh Endik Koeswoyo atau sekali lagi Nugros kurang matang dalam mengesekusi setiap bagian skrip jadi tontonan yang…setidaknya bisa membuat saya tertarik. Well, dari segi penceritaan diakui Endik tampaknya sudah berusaha untuk menyimpulkan apa yang ada di buku, ya bagian-bagian krusial yang nantinya jadi jembatan bagi filmnya untuk bercerita dari pertemuan Jeremy (Rio Dewanto) dengan Sera (Dhea Seto), hingga nantinya petualangan cinta mereka harus terhalang konflik dan berakhir di titik yang film ini tuju. Sayangnya “Me & You vs The World” seakan begitu terburu-buru dalam menyajikan kisah cinta yang sebenarnya sudah berulang kali diceritakan. Klise? Bisa dibilang seperti itu, tapi jika saja film ini mau bersabar untuk membangun chemistry yang lebih mendalam lagi, mungkin saya akan melupakan betapa klise cerita yang dihadirkan “Me & You vs The World”. Alih-alih memberi kesempatan kepada Rio dan Dhea untuk menjalin ikatan yang diperlukan, skrip yang ditulis oleh Endik tampaknya mengambil jalan pintas untuk tak menampilkan percikan-percikan chemistry tersebut. Belum lagi ketika Nugros lebih memilih presentasi yang membuat saya tak peduli pada dua karakternya.

Rio dan Dhea harus diakui sanggup menghidupkan “Me & You vs The World”, ya walaupun saya tidak peduli dengan hubungan mereka, setidaknya mereka telah memberikan performa akting yang tidak membosankan. Masing-masing karakter sebetulnya menarik, sayang sekali lagi esekusi Nugros untuk menyatukan kedua karakter tersebut dalam satu frame tidak berjalan mulus. Rio dan Dhea memang terlihat seperti sepasang kekasih yang bahagia, tapi semua hanya ditampakkan dari permukaannya saja, mereka hura-hura berdua, senang-senang menikmati petualangan baru dari hari ke hari, tapi prosesnya begitu instant. Film ini seakan terburu-buru ingin membuat mereka pacaran, meninggalkan chemistry bulukan tak terjamah, wajar jika kemudian saya tak merasakan apa-apa begitu menonton karakter yang dimainkan Rio dan Dhea ketika sedang bersama. Apakah hati saya saja yang tidak peka karena tak bisa tersentuh oleh film ini? Ah tidak, saya pikir memang  “Me & You vs The World” yang sejak awal tidak peka dalam urusannya mempersatukan hati penonton dengan ceritanya. Saya dibiarkan duduk dengan perasaan yang begitu datar, selama satu setengah jam.

Seperti yang saya utarakan di paragraf sebelumnya, masing-masing karakternya sebetulnya menarik—Jeremy dan Sera—terlepas dari nilai nol dalam chemistry, Nugros setidaknya mampu mengarahkan pemainnya untuk bermain apa-adanya. Rio tampaknya sudah begitu mahir untuk urusan memerankan karakter seperti di “Me & You vs The World” ini, berbekal pengalamannya “luntang-lantung” main di berbagai judul FTV ber-genre komedi romantis. Jadi sebagai Jeremy, saya tak punya masalah dengan aktingnya, walaupun seharusnya karakternya diberikan tampilan yang lebih wild lagi. Sedangkan Dhea Seto walaupun di beberapa scene tampak kurang luwes, tapi masih mampu membawakan karakter Sera untuk jadi sosok cewek kutu buku yang pemberontak dengan baik juga. Siapapun bisa saja berubah ketika sudah didekati oleh cinta, sayang perubahan dalam diri Sera tak diberikan porsi yang layak, tiba-tiba saja sudah jadi Sera yang lebih liar. Tidak banyak konflik yang dihadirkan “Me & You vs The World”, sejak awal kita bakal tahu konflik apa yang akan dihadirkan, begitu film ini mempertemukan konflik tersebut dengan penontonnya, saya hanya bisa mengkerutkan dahi. Ada ataupun tidak ada konflik, saya rasa percuma karena toh saya sudah tidak peduli dengan kedua karakternya, dalam artian hubungan cinta mereka. Kisah cinta yang datar telah menaklukkan “Me & You vs The World”, membosankan!