Holy-fucking-shit! saya sampai kehabisan kata-kata kasar begitu credit title film muncul, spontan saya pun berdiri sambil bertepuk tangan bahagia, bersorak gila tak peduli penonton lain bilang saya “norak” atau apapun. Perasaan yang pernah saya rasakan ketika menonton “The Raid” di tahun 2011 silam (opening INAFFF), kembali berkecamuk sesaat setelah saya selesai menonton “Berandal”. Setelah sebelumnya tayang di Sundance Film Festival, bersama dengan “Killers”-nya Mo Brothers, saya beruntung bisa menyaksikkan film arahan Gareth Evans ini lebih dulu ketimbang tanggal rilis resminya di Indonesia, apalagi saya menonton versi yang tanpa sensor. Wah! senang bukan main ketika bisa melihat semua kegilaan itu tanpa harus terganggu guntingan lembaga sensor, termasuk mendengar kata “ng*ntot” beberapa kali hilir mudik diantara dialog-dialog yang keluar dari mulut para pemainnya. Well, entah berapa kali kata “bangsat”, “anjing” dan “taik” saya ucapkan bertubi-tubi merespon epiknya adegan-adegan perkelahian yang kali ini tak saja berlebih dalam soal kuantitas, tapi juga ragam perkelahian yang semakin bervariasi, ditunjang oleh koreografinya yang makin memukau. “Berandal” lebih dari sebuah kata bangsat, terlalu banyak ke-awesome-an dan ke-epik-an dalam 2 jam setengah durasinya. Saya datang untuk cari kesenangan dan “Berandal” ternyata memberikan lebih banyak kegilaan yang membuat saya bahagia.

Ini film yang hanya punya satu tujuan: bikin lo girang-mampus begitu keluar dari bioskop, kayak anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru. Yup, film ini memang menawarkan itu, banyak “mainan” baru yang dibawa oleh Gareth untuk dihancurkan, diremukkan, ditabrakkan, ditembaki, dibanting-banting, dipukuli, dilempar, dikoyak-koyak, digilas, dijedotkan, ditebas, ditendangi dan disayat. Ya, di “Berandal”, penonton akan diajak melihat setting yang lebih luas dengan skala yang jauh-jauh lebih besar dari “The Raid”, kita tidak saja disodorkan aksi-aksi baku-hantam dalam ruangan tapi juga dijalanan yang ramai orang dan lalu lalang kendaraan. Belum kenyang dengan orang saling pukul-pukulan, Gareth juga ajak adrenalin saya untuk melaju ngebut, ketika film ini juga menyeret-nyeret paksa saya untuk masuk ke dalam mobil dan dibawa melihat aksi kejar-kejaran mobil dari kursi belakang, adegan car chase yang segila adegan berantem-berantem-an. Didukung oleh bujet yang tentunya lebih besar dari “The Raid”, “Berandal” betul-betul digenjot untuk jadi sajian dengan level menghibur yang maksimal, namun  tanpa dibebani film ini harus lebih menggila dari film pertama, biarkanlah “The Raid” dengan kegilaannya sendiri, “Berandal” dengan kegilaan barunya.

Jika “The Raid” dibiarkan bergerak dengan pace yang cepat, menyesuaikan plot-nya yang memang tentang serbu-menyerbu itu, tak menyisakan ruang bercerita yang cukup (memang tidak perlu). Maka di “Berandal” ada ruang yang disisakan, karakter-karakternya dibiarkan untuk memperkenalkan diri, ada lebih banyak interaksi lewat dialog tidak hanya dengan jotos-jotosan, gebuk sana gebuk sini. Yah, walau pada akhirnya memang tak semua punya porsi yang adil, durasi yang sudah direnggangkan hingga 148 menit tetap harus berbagi dengan jualan utama di film ini, yaitu action hantam-menghantam-injak-menginjak. Jadi wajar ketika ada beberapa karakter baru yang kelihatan numpang lewat tak banyak tampil, ya contohnya Ryuichi yang dimainkan Kazuki Kitamura. Mungkin Ryuichi dan geng Jepang-nya memang disiapkan untuk film ketiga, jadi sengaja tidak ditampakkan terlalu banyak. Porsi terbesar tetap diberikan pada Rama (Iko Uwais), yang kali ini harus berjibaku diantara dua keluarga mafia yang saling berbagi kekuasaan. Berstatus sebagai polisi yang sedang menyamar guna melindungi dirinya sendiri dan keluarganya, sekaligus demi misi untuk membongkar praktek korupsi para petinggi kepolisian serta politisi busuk, Rama harus rela dijebloskan ke dalam penjara agar nantinya bisa dirangkul oleh salah-satu keluarga mafia incarannya.

Dengan cakupannya yang lebih luas, tidak hanya menawarkan action semata tapi juga formula crime-thriller didalamnya, “Berandal” dilebur jadi sebuah suguhan hiburan yang maksimal, dan Gareth tampak tidak ingin setengah-setengah dalam menyajikan semua kegilaannya kali ini. Gila, yah gila sekalian, brutal yah brutal sekalian, bangsat yah bangsat sekalian, bisa dibilang yang membatasi kegilaan Gareth di “Berandal” hanyalah durasinya, jika belum mentok berarti kegilaan itu belum akan berhenti. Bangsatnya film ini pun bukan hanya terlihat dari tiap-tiap adegan perkelahian yang sudah disiapkan, atau car chase yang menggila itu, tapi juga bagaimana film ini membungkus setiap adegan dengan sinematografi yang, well sama bangsatnya. Kameranya kadang begitu liar mengikuti liarnya gerakan tarung yang sedang dipertontonkan, ada kalanya juga Matt Flannery dan Dimas Imam Subhono selaku sinematografer seperti sedang main-main lempar kamera kesana-kemari untuk usahanya hadirkan camera-work yang brengsek. Apakah saya sudah bilang jika koreografinya semakin memukau? Entah itu adegan yang menampilkan kerusuhan di penjara ataupun adegan pamungkas satu lawan satu, koreo-nya betul-betul disiapkan untuk memancing saya ikut juga menciptakan keributan di kursi bioskop, bersorak-sorai girang sambil mengucapkan seribu kata “manis” yang tak pantas didengar oleh anak kecil.

Saya sebetulnya tak peduli jika “Berandal” punya cerita atau tidak, apalagi punya dialog cerdas-bermoral dan akting kelas oscar, saya tak peduli dengan semua itu. Mengingatkan saya dengan kekacauan yang dibuat “Yellow Sea” dan kebrutalan “Outrage”-nya Takeshi Kitano dalam mengaduk-ngaduk intrik dan konflik, sejak awal ekspektasi saya memang bukan film yang akan saya ingat karena ceritanya bagus, “Berandal” harus saya ingat karena sudah membuat saya babak belur dan bersimbah darah kegirangan, adegan demi adegan perkelahian bangsatnya telah sanggup menghantam saya bertubi-tubi dengan keras, hingga gegar otak hilang ingatan dan hanya mengingat betapa awesome-nya “Berandal”, saya mau seperti itu. Well, nyatanya “Berandal” menginjak-nginjak ekspektasi saya tersebut, film ini justru tak sekedar memberikan ingatan betapa menyenangkan dicabik-cabik oleh kedua palu Hammer Girl, tapi juga memberikan kepuasan batin tersendiri. Agak personal ketika saya kemudian membicarakan “13 Ghosts II” dan “14 Ghosts II” milik Nine Inch Nails, begitu senangnya saya saat bisa mendengar kedua track dari album “Ghost I – IV” tersebut di akhir film, di film yang notabennya adalah film Indonesia. Gila, seperti mimpi saja. Musik yang dibuat keroyokan oleh Fajar Yuskemal, Aria Prayogi dan Joseph Trapanese pun sanggup mengimbangi setiap adegan di “Berandal”, membuat setiap adegan yang harusnya epik jadi semakin epik karena scoring yang seimbang takaran bangsatnya. Sudahlah, “Berandal” tak perlu dibaca reviewnya, ini film yang harus kalian tonton sendiri untuk rasakan sensasi menyenangkan dari setiap bacokan, tendangan, gebukan dan hantamannya. Bangsat!