Premis yang cukup menarik dan trailer yang menggiurkan, kedua poin tersebut adalah modal saya untuk datang ke bioskop dan nonton “Comic 8”. Oh, satu lagi, saya penasaran kegilaan apalagi yang akan ditampilkan oleh Anggy Umbara, iya setelah “Mama Cake” yang punya visual cukup nekat sekaligus sok asyik itu, well dalam artian baik. Jarang sutradara kita yang mau berani untuk beda sendiri dan punya semacam signature di film-filmnya, seperti Joko Anwar misalnya. Anggy, dengan dua film di daftar filmografinya, sudah melakukan itu, sekarang bersama “Comic 8” dia seperti ingin mencoba eksperimen yang baru, menambah elemen ini dan itu tanpa meninggalkan signature yang sudah melekat pada film-filmnya. Sayangnya kali ini Anggy seperti terlalu berlebihan untuk tampil asyik, ditambah naskah yang dimiliki “Comic 8” terkesan begitu fokus untuk menyodorkan twist demi twist-nya, alhasil banyak detil kecil yang terlewatkan. Sah saja film ini ingin punya kejutan yang bertubi-tubi, tapi akan jadi sia-sia jika tidak ditopang adanya jalinan cerita yang nyaman untuk dinikmati. Seperti delapan stand-up comedian yang ditumpuk jadi satu untuk saling melempar bacotan lucunya, “Comic 8” pun justru terlihat seperti tumpukan ego Anggy yang dikemas lagi-lagi sok asyik, tak sepenuhnya jelek di mata saya, tapi jelas “Comic 8” mengecewakan.

Dari nama-nama stand-up comedian yang disodorkan oleh “Comic 8”, jujur hanya beberapa nama yang saya familiar, baik tampang dan jokes-nya. Jadi sudah jelas saya datang bukan karena: Mongol Stres, Mudy Taylor, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza dan Arie Kriting. Dari delapan nama tersebut pun, hanya lawakan Mongol yang seingat saya lucu, jadi saya buta sebenarnya akan selucu apa “Comic 8” dengan banyaknya stand-up comedian itu, terlalu Indonesia yang beraninya keroyokan ya. Well, kalau pada akhirnya kocak, tidak masalah, tapi sayangnya, ketika satu-dua orang bisa mengajak saya tertawa (sebentar), yang lain tidak mampu mengikuti, lawakannya bisa dibilang garing, atau selera humor saya saja yang jelek. “Comic 8” justru terbantu oleh hadirnya para cast numpang lewat alias cameo, seperti Indro Warkop, Candil, Joe P Project dan Jeremy Teti. Bahkan ketimbang delapan pelawak utamanya, Agung Hercules justru lebih menyita perhatian dengan dialognya yang absurd, walau lama-lama malah jadi annoying hahahaha. “Comic 8” pun tak ubahnya seperti gago-gado isi stand-up comedian, yang rasanya tidak jelas, dibuang pun sayang.

Paruh awal “Comic 8” sebetulnya menjanjikan, ketika premis perampokan bank sedang diesekusi dan satu-persatu perampok muncul, saya berharap Anggy dan rencananya untuk mengocok perut saya berjalan mulus. Tapi ketika semua telah berkumpul, “Comic 8” seperti kebingungan dengan rencananya sendiri, lawakan yang dihambur-hamburkan terbuang sia-sia, kebanyakan justru meleset, padahal saya sudah siap digelitik oleh para perampok ini. Yah, saya harus mengerutkan dahi ketika satu-satunya yang dirampok justru tawa saya sendiri. Durasinya tak sampai dua jam tapi terasa begitu cukup menyiksa, bisa dihitung jari berapa kali saya tertawa, sisanya hanya guyonan garing yang saya respon dengan tawa kecut nan pahit, help me! please. Sekali lagi saya menyalahkan selera humor saya yang terlewat dangkal, sampai susah sekali untuk tertawa, di sela-sela “sok asyik”-nya Anggy mengumbar adegan tembak-tembakan yang luar biasa konyolnya. Tetapi saya tak terganggu oleh adegan action, karena pondasi “Comic 8” memang sedari awal dibangun untuk jadi komedi, jadi adegan action-nya sudah pada tempatnya, tepat sekali untuk kemudian dibuat sekonyol-konyolnya.

Melompat ke paruh selanjutnya, “Comic 8” mulai memperlihatkan gregetnya, ada keseruan yang tiba-tiba muncul, skenario perampokan bank mulai berkembang semakin tak karuan, setidaknya ketika lawakannya flat, jalan ceritanya tidak ikut gitu-gitu saja, ada yang bisa saya nikmati. Namun semua tidak bertahan lama, di penghujung film, “Comic 8” mulai menampakkan siasat untuk mengelabui saya, film ini sedang mempersiapkan twist-nya, sayang seketika itu juga langsung lupa meneruskan jalan cerita yang tadi sudah bisa saya nikmati. Naskahnya terbebani untuk menjebloskan saya ke dalam twist yang berlapis-lapis, cukup menarik tapi terkesan dipaksakan dengan dukungan detil cerita yang agak berantakan. Twist dengan tambahan penjelasan yang melelahkan, “Comic 8” seharusnya bisa lebih asyik jika tak harus terbebani apapun, twist-nya dan membuat penontonnya jadi mengerti filmnya. Apa yang awalnya menjanjikan di “Comic 8” justru berantakan karena film ini terlalu ingin memaksa jadi lucu dan punya twist berlapis-lapis. Ya pada akhirnya justru mengorbankan naskah cerita yang ditulis Fajar Umbara ini. Sedangkan untuk urusan visual, Anggy benar-benar lepas kendali, apalagi ketika berurusan dengan slow-motion, dieksploitasi secara gila-gilaan. Hingga di akhir film saya sepertinya sudah dibuat mabok oleh slow-mo, saya bukannya tak suka dengan pendekatan visual yang dilakukan oleh Anggy di filmnya kali ini, tapi kok kesan “sok asyiknya” Anggy tidak lagi terlihat asyik. Cukup mengecewakan.