Sudah jadi kebiasaan sejak lama, sebelum menonton sebuah film saya biasanya mencari tahu sedikit info tentang filmnya, apalagi jika filmnya masuk dalam list film-film yang out of radar—tidak banyak orang tahu. Tapi kadang supaya tidak bosan dengan rutinitas saya sendiri, saya sesekali keluar dari kebiasaan tersebut dan menonton tanpa sengaja ingin mengetahui film apa yang akan saya tonton. “Haunter” adalah salah-satu film itu, saya “buta”! tak pernah melihat trailer-nya, bahkan sinopsis pun tak saya baca—beruntung, karena ternyata terlalu banyak kejutan/twist yang diobral sana-sini jika saya nekat mencari tahu “film apa sih Haunter?” di internet. Modal saya hanya nama sang sutradara, Vincenzo Natali (Cube, Splice) dan Abigail Breslin, sudah itu saja hahahahaha. “Haunter” memang tipikal film yang “sedikit lo tahu” yah semakin asyik menonton filmnya, jadi coba jauhi sinopsis, trailer, bahkan kalau perlu tidak perlu baca review saya, takutnya saya terlalu banyak men-spoiler-kan ceritanya, nanti ngambek kena spoiler saya. Ah lagipula twist menurut saya bukan segalanya, hanya bonus, seperti penilaian saya terhadap film-film lainnya, khususnya genre horor/thriller, yang terpenting buat saya adalah bagaimana nantinya “Haunter” menceritakan kisahnya, bakal percuma juga jika twist-nya sebangsat apapun jika filmnya sudah malas bercerita dan tak sanggup menggiring penonton sampai ke akhir cerita, iya toh.
Tanpa harus menunggu sampai akhir film, mereka yang sudah banyak menonton film, pasti bakal tahu “Haunter” itu hasil campuran dari film apa saja, saya tidak akan menyebutkan satu-persatu judul filmnya, tidak penting. Walaupun memiliki formula yang tidak lagi bisa dibilang baru, setidaknya lewat skenario yang ditulis oleh Brian King, “Haunter” tampak begitu percaya diri menggiring penontonnya untuk masuk dalam perangkapnya, paruh awal yang dipenuhi tanda tanya besar terlihat menjanjikan sebuah film yang menarik hingga ke selesai nanti. Seperti film-film Vincenzo Natali sebelumnya, saya memang tidak berharap filmnya akan biasa-biasa saja, dan “Haunter” memang bukan film yang sesederhana itu. Sekali lagi tawaran di paruh awal begitu menarik, wajar jika pada akhirnya saya sukses terjerumus lebih dalam, hanya untuk tahu apa yang ada diujungnya. Awalnya iya setiap saya membuka pintu, Natali masih sanggup mengejutkan saya, sayangnya kejutan tersebut berhenti ketika film melangkah ke paruh kedua, selain tidak lagi ada pintu yang tersedia untuk saya buka, lorong panjang yang saya lalui tak lebih dari sebuah lorong yang membosankan. Sesekali “Haunter” memang punya sisa misteri untuk dipecahkan, beberapa kejutan lain pun disiapkan untuk membuat kita bertahan tidak tertidur sampai ending, namun kejutannya kadang tak datang tepat waktu, terkesan terlambat, jadi memang satu-satunya yang membuat saya bertahan hanya menunggu semua misteri terungkap, dan sang boogeyman yang penuh keriput tersebut akhirnya bosan sendiri dan memilih untuk membiarkan Lisa (Abigail Breslin) menang.
Saya pikir “Haunter” masuk dalam daftar film yang pantas untuk ditonton sekali, menghilangkan rasa penasaran dan setelah itu mungkin dilupakan begitu saja. Saya akui dari segi cerita, film ini berani menawarkan sesuatu yang berbeda dari film-film horor yang sekarang kebanyakan bermain di zona aman. Mengajak kita untuk meluangkan waktu ikut berpikir “ada apa dan kenapa”, lalu secara sengaja membiarkan kita untuk kebingungan. Seperti yang saya bilang, “Haunter” punya sesuatu yang menarik dan menjanjikan, tapi kemudian kehilangan daya tariknya begitu tiba waktunya untuk memecahkan misteri demi misteri, yang diawal coba ditumpuk. Mungkin saya terlalu berharap “Haunter” bisa memberikan rasa takut yang lebih, karena jujur saya tidak merasakan apa-apa ketika film ini mencoba beberapa kali menakuti saya dengan trik-triknya yang terkesan cheesy tersebut. Beberapa berhasil “mengusap-usap” bulu kuduk saya, sisanya hanya percobaan yang gagal. Horor sepertinya memang hanya sekedar tambahan, karena fokus si film adalah menawarkan sekotak misteri berbungkus thriller yang menegangkan. Jadi jika kalian mencari horor berisi hantu yang menakuti-nakuti, film ini tidak sepenuhnya menawarkan itu, ada bagian horornya tapi tidak banyak. Sebaliknya jika yang kalian cari adalah thriller yang menantang nalar untuk ikut berpikir, ya “Haunter” mungkin akan jadi film yang cocok ditonton sambil makan malam…atau cemilan ringan…atau apapun terserah!
Saya agak sulit untuk benar-benar menyukai “Haunter”, tapi tidak sejelek itu, iya kekecewaan saya memang bertumpuk layaknya film ini menumpuk misteri demi misterinya, tapi dibalik itu “Haunter” punya beberapa kelebihan yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Saya menyukai camera-work di beberapa adegan, boleh dibilang sinematografinya punya andil dalam membangun mood yang tepat, kita jadi bisa ikut merasakan apa yang karakternya rasakan, bingung ataupun sedang ketakutan. Menyatu dengan setting yang dibuat sedemian rupa, shot demi shot-nya mampu membangun atmosfir mencekam yang dibutuhkan, walaupun secara tiba-tiba semua hancur karena ulah “Haunter” yang maunya instan pakai polesan CGI dimana-mana. Kekecewaan terbesar saya memang terletak pada pemakaian CGI yang hasil akhirnya terlihat murahan, seketika mood saya drop, kok bisa-bisanya “Haunter” mempercayakan semuanya pada CGI, di beberapa bagian CGI-nya justru terlihat kasar. Alih-alih membuat segalanya lebih mencekam, apalagi seram, “Haunter” jadi terlalu memaksakan filmnya hanya untuk terlihat palsu. Untungnya, ada yang membuat saya teralihkan oleh CGI yang buruk, berkat para pemainnya yang berakting di luar kewajaran, termasuk juga Abigail Breslin yang saya akui cukup bisa membawakan karakter utama sampai akhir film. Aktingnya membuat kita jadi punya rasa peduli pada karakter Lisa yang dia mainkan, lawan mainnya Stephen McHattie (Pontypool), jelas kembali memperlihatkan performa akting yang bangsat, kebalikan dari apa yang saya rasakan pada Lisa. Saya masih akan bilang “Haunter” pantas untuk ditonton jika kalian memang penasaran dan mau melihat Abigail Breslin yang sudah tumbuh dewasa bermain film horor…setidaknya cukup sekali, tidak ada salahnya, kan.
Tri Fajar
Terima kasih udah kasih peringatan terlebih dahulu, film kayak gini menurutku daya tariknya terletak pada bagaimana filmnya menyembunyikan misterinya, jadi kalau sudah terungkap, ya sudah. Tapi untunglah penyajiannya terasa menarik jadi walaupun misterinya sudah terungkap, masih menyisakan hal yg lain yakni bagaimana konflik dalam filmnya bisa terselesaikan. Dan di sinilah Haunter terasa masih kurang, konfliknya terlalu fokus ke keluarganya Lisa padahal sepertinya inti ceritanya di keluarga Olivia, seharusnya konflik di keluarga Olivia lebih digali, pasti lebih menarik.
Gara2 dulu terpesona ama filmnya Nicole Kidman di The Other, aku jadi rada ragu kalo nonton film twist horror.